Friday, August 20, 2010

Aku pindah..

Hidup adalah soal seberapa banyak kita sanggup berucap 'pernah'.

- pernah muda
- pernah pacaran
- pernah sakit
- pernah kaya
- pernah miskin
- pernah sekolah
- pernah senang
- dan sekian penggal kisah pernah lainnya

Berwarna tidaknya hidup, miskin atau kayanya hidup, bermakna tidaknya hidup, adalah lebih pada seberapa banyak deret 'pernah' tertulis dalam catatan list hidup kita. 

Dan, untuk menambah bilangan 'pernah' dalam catatan hidup yang tidak seberapa, aku memutuskan untuk pindah rumah. Bukan rumah tempat raga meneduh setelah panas, tetapi rumah tempat menyemai bibit benih pikir, ucap, dan aneka semai jiwa lainnya.

Mari, tetaplah berkunjung, kawan. Tak ada suguh yang menghindang. Tetapi, kepenuhan jiwa dan kedamaian jiwa, selalu terulur menyambut tiap kunjungan yang datang menyapa.

Selamat bertamu. Mari berkunjung. Ini alamat baruku: www.sugiarno.com

Nuwun

Wednesday, June 30, 2010

‘Apa yang membuatku meragu?’

‘Aku tak kuasa memanah rembulan sebagai hadiah ulang tahunmu. Tiada jua kuasa aku sekadar menariknya mendekat, menghangati kita menikmati makan malam. Padan fisikku juga tiada seindah Yusuf yang elok ragawinya memukau memakukan angin. Pun aromaku tidaklah semendayu parfum yang membuat manusia tanpa sadar menarik busana menelanjangi dirinya.’

‘Tak ada yang mampu aku janjikan. Tak ada juga yang mampu aku bangun sebagai wujud suci pemujaanku kepadamu. Aku hanyalah hamba yang melata. Tiada kukuh menopang raga. Pincang menapaki bumi. Jangan pernah membayangkan aku menari menggendong busung ranum ragamu. Bahkan, berjalanku pun aku mengundang iba.’

‘Aku tak akan pernah mampu mengejarmu berlari. Apalagi mengikuti lengok gemulai jemarimu menarikan tetarian India. Kakiku tiada mampu membentuk sudut memutar tubuh melafalkan irama salsa. Menegakkan tubuhku saja aku kepayahan. Apalagi menopang ragamu menyusun formasi tari yang teramat kamu suka.’

‘Aku bukanlah manusia utuh. Ragaku meranggas. Jiwaku melepuh. Aku menapaki kemarau bahkan ketika langit masih deras mengguyurkan hujan.’

‘Pergilah selagi sempat. Tak perlu hiraukan aku.’

...demi Undakan Kehidupanmu

Aku tak ingin melihatmu mencintaiku.
Maka, biar aku buat hatimu merimbun oleh benci.
Biar kusemai belukar angkara membelit mengakar di jantungmu.
Biar juga kutabur racun hingga bening jiwa yang mengaca di matamu, menjadi buram, keruh oleh gemeretak jengah mengembun menjadi tirai dendam.

Biarkan
Aku membuatmu
Membenciku

Akan juga aku panggul gada untuk menghancurkan istana pemujaan yang pernah engaku bangun untukku. Biar kucuri panah sakti Krisna untuk kuayunkan menghujam menanggalkan matahari pesona hingga tiada lagi kau dapati rembesan hangat sinar kasihku. Tak cukup itu, akan kugambar juga langitmu menghitam penuh dengan pekat arang murka.

Meski hanya setitik bibit, tak akan aku biarkan bayang baikku menggantungi hati dan ingatanmu.

Aku tidak hanya akan menghilang. Lebih dari itu, aku akan menabur dendam. Bukan di ladangku. Tetapi di jiwamu. Bukan juga kepadamu. Tetapi, kepadaku.

Apapun akan kulakukan untuk merobohkan pohon cintamu kepadaku. Tak mengapa bila aku harus meruntuhkan rapi gigi ini. Lalu menggantinya dengan cula badak atau taring serigala. Tak mengapa juga bila aku harus melarung semua yang pernah ada pada diri tubuhku. Bibirku pun tak akan lagi meletup manis seperti dahulu. Bergumpal butir garam telah aku oleskan melumuri permukaannya. Biarlah aku tanggung aroma asin itu. Asal saja tak lagi tercium aroma madu dari letup ucap ataupun tawaku.

Apapun akan kulakukan. Demi hadirnya dendammu kepadaku.
Aku tak akan merontak menanggungkan pekat anyir comberan. Meski harus membumbung mengetuki pintu-pintu awan, akan kulakukan, asal dari sana dapat turun butiran hujan yang akan membasuh habis asmaramu kepadaku.

Seperti apa yang aku ucap kepadamu, telah tiba saat bagiku untuk menjadi batu. Tidak hanya guyur semen yang menggumpali ragaku, bahkan, hatiku pun telah aku tabur segentong air raksa. Ia tak hanya sekadar membantu, tapi juga membujur menguap rasa. Tak perlu juga aku bercerita derita yang aku rasa kala air keras itu meremasi tiap-tiap pori hatiku. Tak mengapalah aku meregang, terajam oleh siksa.

Selama apapun itu mampu menghadirkan kebencianmu kepadaku, tak akan aku berpikir lama untuk melakukannya.

Aku tidak melarangmu untuk mencintaiku, hanya, aku lebih suka bila kamu justru membenciku. Dan meski kutahu, wujudmu adalah rupa malaikat yang menyamar, aku akan bersetia memuja siang menjadi malam, melarung malam merupa bening siang, demi mampu menumbuhkan titik benci di hatimu.

Hadirkanlah benci di cakrawalamu. Karena sejatinya, dari sanalah, akan terjulur undak-undak tangga penerus kehidupanmu.

Monday, June 28, 2010

Kembang atau Darah

Aku tidak akan berbalik, untuk kemudian melenggang pulang. Bukan. Itu bukan watak yang aku kenal. Hanya perintahkan aku untuk melakukan, maka, bila bukan berita keberhasilan, akan engkau dapati longsongan jasad atau pun kubangan darah penghabisan.

Memanah rembulan, aku dapat melakukannya meski hanya dengan satu mata terpejam.
Mengepak mengarung laut berlomba dengan hiu dan lumba-lumba, kaki dan tanganku terbiasa mencabik air laut menarik tubuh melaju menjadi pemenang.

Dan, bila sekarang, engkau memintaku untuk menanjak memahat rimbun pepohonan yang menjulang, aku akan merenggangkan otot menapakinya. Aku tidak menjanjikan apapun, hanya kesungguhan hati dan kepenuhan diri mencapainya.

Kamu dengar bukan, tidaklah berita kemenangan yang aku janjikan. Itu adalah sesuatu yang berada di luar kuasaku. Aku hanya memasrahkan darma bakti pikir dan ragaku, karena itulah yang berada dalam kuasa dan kendaliku. Tidakkah itu lebih dari sekadar stempel janji yang biasa engkau temui?

Aku tidak akan menggelandang untuk pulang.

Aku juga tidak akan berontak untuk menghindar.

Hanya, kirimkan saja perintahmu. Lalu, biarkan aku mengendus langkah untuk menciumi aroma keberadaan apa yang kamu mau itu.

Apabila bukan kembang, maka adalah darah yang akan terkirim kepadamu.

Monday, June 21, 2010

Darahku dan Darahmu

Setelah masa berbilang, merentang hingga mengecupi bilangan sekian, mungkinkah malam ini letup itu akan mewujud?

Setelah deret-deret hasrat yang berbaris membentuk jejak hingga menjulang merupa undakan mengukir kenangan, akankah bulan malam ini menjadi paku yang menghentikan desir jiwa yang sekian terlontar mengembara mencari rupa?

Sekian lama dada mengembang memancangkan tonggak-tonggak pancang menjerat dengung rasa yang merupa dengkur ombak, akankah rintik gerimis malam ini menjadi baik-bait mantra memberai kukuh lipat jiwa tersebut?

Langit memang telah meramal akan datangnya malam dimana terdengar lenguh yang bersimpah peluh dan darah. Hanya, apakah warta yang tergantung sekian puluh tahun di antara pucuk-pucuk awan yang menjaga pintu langit itu akan turun ke bumi dan merupakan wujudnya malam ini?

Terlebih, apakah memang benar, bahwa taring dirinya yang kecil sekelumit gigi kelinci, merupakan jawab atas ramalan akan tajam cakar naga yang digambarkan mampu merobek dada dan merenggut keseluruhan jiwa ini? Lihatlah. Bahkan untuk mencakar merobek kancingku pun dia tidak sanggup.

Lalu, kenapa juga musti malam ini?

Kenapa tidak malam kemarin, ketika sinar-sinar temaram kamar presidensial suite memenjara raga kami?

Atau, beberapa minggu lalu, saat tubuh kami mengambang di antara kedap kabin pesawat yang menumbuhkan sayap di punggung-punggung ini? Andai di malam itu bercak ini meletup, tidakkah indah, atau mungkin begitu indah, ketika suara pagut yang tercipta merupa hujan yang mencurah dan membungkus seluruh telinga yang ada di bumi?

Lalu, kenapa harus malam ini?

Biarlah tanya-tanya itu menggantung meranum dalam tangkai-tangkai dahan pohon cinta kita. Tak mengapa juga bila tiada pula mengapung jawab atas kail-kail prasangka yang menancapi laut teduh hamparan cinta kita.

Satu yang aku tahu, tak pernah terbit sesal, apabila memang darahku harus mengalir bercampur dengan darahmu. Malam ini.

Monday, June 14, 2010

Malam itu... (2)

Masih aku baui aroma rambut itu. Hingga sekarang, bahkan, berpuluh jam sejak tubuhku memahati tubuhnya. Aroma kulitnya pun masih pekat membungkus ragaku. Meski peluk tangannya tidak mengada bersamaku sekarang, sungguh, hangat yang tercipta dari kalungan manja tangannya, seperti bayang yang tak pernah mau beranjak hilang.


Malam itu, diantara dentum musik yang sesekali memantuli air pantai Ancol, duduk berdampingan, aku mengeja rasa bersamanya. Setelah bersorak menatapi layar raksasa bergambarkan aneka kaki berlarian mengejar bola, aku mengajaknya beranjak menjauhi kursi-kursi cafe tepi pantai itu. Jembatan yang memanjang menghilang di kedalaman pantai, seperti tangan yang kemudian merengkuh kami menapaki ketenangan bibir pantai. Dingin yang segera menyergap, menjadikan alasanku melepas jaket, untuk menutupi raga indahmu tidak melepuh oleh remas nakal udara pantai.

Lalu, menggandengmu, aku melangkah menapaki nada-nada rasa yang begitu indah dimainkan oleh tangan-tangan malam.

Entah berapa kali aku menenggelamkan wajah meresapi semerbak harum rambutmu. Seolah tak kuasa aku merenggut kepalaku menjauh. Ia begitu ingin menetap disana. Menyusupkan dirinya dalam belai-belai lembut tiap-tiap helai rambut indahmu.

Malam yang menanggungkan gelap pun tak cukup mampu untuk menghanguskan senyummu. Seolah, wajahmu tidak hanya memantulkan cahaya rembulan. Wajahmu, sungguh, adalah sumber cahaya itu sendiri. Hingga bersamamu, malam itu, aku tak lagi menanggungkan takut akan gelap. Seberapa dalam aku mendaki, bersama cahaya yang menaungi wajahmu, malam tak akan kuasa menyesatkan diriku.

Hingga kemudian, aku terus menggandeng tanganmu. Melangkah semakin dalam. Menapaki tangga-tangga malam. Hingga tak lagi terdengar dentum musik hingar bingar di tepi pantai. Dalam tangga rasa kesekian, tak lagi terdengar suara apapun, hanya desah nafas dan letup jantung hatimu. Saat itulah, aku melepas genggam tanganmu. Jariku menapai undak-undak bahumu. Menyusup di antara derai harum rambutmu. Hingga menyembulkan diri menyangga bahu-bahu ranum ragamu.

Jauh di atas kedalaman malam, hanya terbungkus senyap, dalam keheningan yang mengambang menelan aneka rupa suara, hatiku pun bersejajar dengan hatimu. Entah berapa lama aku rengkuh ragamu. Entah juga berapa lama mereka terpejam merasai tiap degup yang berdetak berbarengan. Hingga tanpa sadar, ketika mata jiwa dan mata raga membuka, kecap-kecap bibirmu mengambang pekat di antara celah bibirku.

Lalu, gelap makin merapatkan raga kita. Detak bunyi jiwa pun merupa gamelan mengiringi prosesi persandingan batinku dan batinmu. Meski masih banyak lagi undak yang musti didaki, tetapi, damai malam itu, cukup menerbitkan bara sedikit mengusir dingin yang sekian waktu menggigil di ceruk-ceruk lembah hati.

Aku masih merasai desir itu. Aku masih merasai dekap itu. Seperti halnya aku masih menyimpan kecap suara ciuman malam itu.

Friday, June 11, 2010

Ketika Dunia dilanda Cemburu

Wabah itu telah datang. Menumpang angin, wabah itu berkelana, menyusup ke setiap celah-celah pintu dan jendela. Mengalih rupa, ia pun masuk ke ruang-ruang cafe, resto. Berbekal semprot minyak wangi, ia juga mewujudkan diri dalam jamuan khidmat nonton bareng ala ballroom mewah hotel berbintang sekian.

Tak ada yang kuasa menolak wabah piala dunia. Bahkan, andai ia tidak menjangkiti anda, maka lingkungan yang telah tercemar akan menebarkan baunya penuh menciprati tubuh dan aroma anda.

Dari mata mulai membuka, memencet remote, ruang-ruang kotak televisi penuh sesak pernik piala dunia. Lihatlah kaos seragam tim nasional negara peserta yang membungkus raga ayu para presenter berita. Melangkah keluar, wajah-wajah ruang publik coreng moreng tertempeli aneka rupa wujud ekspresi wabah piala dunia. Membuka koran pagi dan sore hari pun, kertas penuh sesak tertindih gambar-gambar merupa bola.

Tak lagi tersisa tempat yang aman. Tak tersedia lagi ruang yang steril. Udara telah terjangkit. Semangat telah terletup. Wabah telah tersebarkan.

Lazimnya wabah, piala dunia pun membawa serta pelbagai gejala buruk khas penyakit. Kamar-kamar tidur akan menjadi sedikit sepi satu bulan ini. Para istri akan mencemburui bola. Hingga mungkin, mereka akan menggambar wajahnya menyerupai bola agar suaminya juga melirik dan bersedia ‘menendangnya’.

Ruang-ruang kantor terancam menjadi sedikit lengang. Mata yang meredup setelah begadang, emosi yang tuntas meletup merayakan kemenangan ataupun meratapi kekalahan, akan membuat ruang kerja menjadi redup. Kantor dan rumah pun bertukar peran. Bila selama ini rumah menjadi charger untuk menyalakan gairah menyongsong pekerjaan. Maka, 1 bulan ini, waktu siang di kantor merupakan saat istirahat, pemulihan untuk menyiapkan emosi dan semangat menantikan pertandingan di waktu malam. Konsentrasi dan keriuhan pun berpindah ruang.

Bagi sepasang pacar, persiapkan juga hati anda untuk mendua atau didua. Wabah piala dunia akan mencerabut kemesraan dan perhatian yang biasanya melimpah. Sediakan perhatian, atau silahkan cuek saja sekalian. Membiarkan pasangan mengecupi layar televisi pun tidak akan membuatnya menjadi hamil atau terjangkiti dosa, kok.

Saran saya untuk para pasangan, mulailah membiasakan diri dengan bau wabah piala dunia. Tidak usah dicemberuti, cemburui, apalagi memaki atau melempar sandal ke layar televisi. Biarkan juga bila pasangan anda sedikit sinting selama sebulan ini. Toh, itu tidak akan berlangsung lama. Paling 1 bulan. Atau, bila Anda jeli, kenali tim kesayangan pasangan anda. Diam-diam doakan agar tim pasangan tercinta tersebut cepat tersingkir. Mengopek koper lebih awal. Sehingga pasangan anda segera kembali melirik anda.

Tapi, jangan tanya ya apa tim kesayangan saya. Nanti malah anda semua mendoakan diam-diam agar tim saya kalah dengan amat sangat segera.

Mari menikmati sajian piala dunia. Sambil juga jangan lupa, sesekali pindah channel anda untuk menengok kesehatan Gayus, menanyakan perkembangan kabar dana aspirasi, atau mendoakan untuk kesembuhan KPK yang mulai sering sakit-sakitan.