Tuesday, January 30, 2007

Selembar Tiket untuk Cinta


‘Beri aja dia selembar tiket ke Singapura, pasti akan beres,’ ucap papa sambil menghisap cerutu kesukaannya. Mama yang sedang menuang kopi ke cangkir, tiba-tiba meletakkan teko ke meja. Lalu serius menatap papa. ‘Maksud papa?’. Mama sudah duduk manis di samping papa. ’Ya kita kirim Kiki ke Singapura. Kita sekolahkan, atau carikan kerja di sana. Atau suruh tinggal sama mbaknyunya.’ Papa menjetikkan abu cerutu ke asbak putih yang ada di meja, sebelum meneruskan ucapnya. ’Pasti semua akan beres.’
’Maksud papa,’ mama kelihatan belum yakin dengan ucapan papa. ’Maksud papa cara yang kita lakukan untuk si Bulan dulu juga kita terapkan untuk si Kiki.’ Wajah mama kelihatan serius. Lima tahun yang lalu, mama dan papa terpaksa mengirim Bulan ke Singapura gara-gara Bulan susah dibilangin untuk tidak deket-deket dengan Dendi. Entah apa yang membuat mama dan papa demikian kompak menolak Dendi. Padahal kalau dilihat, Dendi juga cakep, baik, dan kaya. Segala cara sudah dicoba oleh mama dan papa. Tapi Bulan tetep kekeh. Jangankan bergerak, bergeming sedikitpun Bulan tidak lakukan. ’Saya tidak setuju, pa.’ Mama tiba-tiba berucap dengan keras. ’Ide macam apa ini. Saya tidak akan setuju si Kiki dikirim ke Singapura.’ Kali ini giliran papa yang mengeryitkan dahi. ’Mama ini gimana? Bukankah mama yang bersikeras tidak mau Kiki berhubungan dengan Joni.’ ’Iya, sih pa. Tapi bukan ini solusinya.’ Muka mama kelihatan makin cemberut. Mama tidak begitu dekat dengan Bulan, jadi ketika mama dan papa terpaksa ngirim bulan ke Singapura, hati mama tidak demikian berat. Tapi si Kiki, dia kan anak kesayangan mama. Jangankan pisah dengan jarak yang beratus-ratus mil seperti itu, Kiki pergi camping aja mama bingungnya setengah mati. Khawatir gimana makannya lah, gimana tidurnya, gimana mandinya. Mama memang demikian sayang dengan Kiki, hingga mama lupa bahwa Kiki sudah 19 tahun. Sudah bisa suka sama laki-laki.
’Jadi mama gak setuju nih,’ ucap papa sambil mencubit pipi mama. Mama dan papa sudah 27 menikah, tapi mereka tetap romantis. Entah apa rahasia mama hingga papa bisa sedemikian takluk. ’Iya,’ ucap mama sambil melengoskan kepalanya. ’Iya apa? Iya setuju atau iya tidak setuju.’ Muka papa jadi lucu kalo lagi bingung. ’Yang jelas dong ma. Papa bingung nih.’ Mama yang sudah kembali memegang teko untuk kembali menuang kopi, lagi-lagi meletakkan tekonya. Wajah mama nampak gusar. Hidung mama yang mancung nampak kembang kempis. Bila sudah begini, tanpa perlu sepatah katapun, kita semua sudah maklum, bahwa mama sedang dilanda amarah. ’Mama tidak setuju. Kiki tidak akan ke Singapura,’ ucap mama keras. Tuh kan, betul, mama memang sedang marah.
’Trus gimana, berarti mama sudah setuju Kiki pacaran dengan Joni?’ Papa kelihatan serius dengan ucapannya ini. Bukannya tambah adem, udara di sekitar kepala mama sontak menjadi tambah panas. ’Tidak....’ Mama tiba-tiba menjerit. ’Tidak akan pernah mama memberi restu sama si Joni.’ ’Kita sewa preman saja. Biar mereka gebuki si Joni.’ Cerutu yang ada di mulut papa melompat ketika papa tersedak kaget. ’Pasti si Joni akan jera dan berhenti berhubungan dengan Kiki.’ Wajah mama tiba-tiba menjadi ceria. Setan mana yang memberi ide gila pada mama hingga berpikiran seperti itu.
’Ma, tapi apakah itu..’ Belum sempat papa menyelesaikan ucapannya, mama sudah menyerang kembali. ’Sudah pa. Mama akan telpon Bondan sekarang.’ Sebentar kemudian mama telah berada di samping meja telpon. ’Halo Bondan.’ ’Iya tante. Ada pekerjaan apa buat saya?’

[]

’Mama panggil saya?’ ucap Kiki pada mamanya yang sedang berlenggok-lenggok di cermin mencoba gaun baru. ’Iya, duduk sayang.’ Mama melepas gaun yang sedang ia coba sebelum kemudian duduk di dekat Kiki. Mama menatap Kiki sebentar. Senyum mama mengembang bersamaan dengan tangan mama yang bergerak membelai rambut Kiki. Kiki memang anak yang manis. Tidak salah bila mama demikian menyayanginya. Rambut Kiki yang lurus terawat, nampak berpedar mengelilingi wajah cantiknya. Meskipun mama dan papa adalah pribumi asli, tapi wajah Kiki sangat terkesan oriental. Demikian imut dan cantik. Siapapun yang berada di dekat Kiki, pasti akan gemas dan kecantikan dan keimutannya. Kulit Kiki juga putih. Bersih terawat. ’Kiki benar-benar gadis yang sangat manis,’ demikian selalu puji mama untuk Kiki kepada teman-teman arisannya. Hal ini lah yang membuat mama terbelalak kaget dan berteriak histeris ketika mengetahui Kiki berpacaran dengan Joni. Joni adalah teman sekampus Kiki. Dibanding dengan anak-anak teman arisan mama, Joni memang bukan siapa-siapa. Joni hanya pemuda biasa. Terlalu biasa malah. ’Ia adalah anak kampung. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari dia,’ demikian selalu yang dibilang oleh mama tiapkali ada yang menyebut nama Joni.
’Mama punya sesuatu untuk kamu, sayang,’ ucap mama sambil membawa tubuh Kiki rebahan di pahanya. ’Mama ada hadiah buat Kiki?’, jawab Kiki dengan heran. ’Iya.’ ’Tapi Kiki kan tidak sedang ulang tahun, ma?’ Kiki nampak menatap mata Mama. Hubungan mereka memang dekat. Jadi mama terkadang hanya mencandai Kiki. Tapi kali ini, mata mama kelihatan serius. Mama kemudian nampak merogoh sesuatu dari laci meja. Sebentar kemudian, mama telah menyodorkan sebuah amplop pada Kiki. ’Apa ini, ma?’, tanya Kiki penasaran. ’Buka sendiri dong. Nanti kalo mama kasih tahu, bukan surprise namanya.’ Mama ada-ada saja, batin Kiki. Karena tidak ingin dilanda penasaran lebih lanjut, Kiki pun membuka amplop berwarna coklat tersebut.

[]

Kiki bergelanyut manja di boncengan motor Joni. Meski mama selalu berpesan agar Kiki pergi kuliah pake mobil, Kiki tetep memilih untuk naik angkot. Meski harus berdesak-desakkan ketika berangkat, tapi Kiki rela. Bayangan pulang kuliah dengan diantar Joni naik motor, membuat penderitaan di angkot tidak terlalu berarti buat Kiki. Padahal 1 tahun yang lalu, ketika Kiki belum ketemu Joni, Kiki tidak akan meninggalkan rumah bila tidak ditemani dengan si kuning, mobil kesayangannya. Takut kulitnya terbakar lah, takut rambutnya menjadi keringlah, dan sejuta ketakutan laen akan dengan sigap digelontor oleh Kiki sebagai alasannya.
’Ki, udah sampai,’ ucap Joni lembut sambil menyentuh tangan Kiki yang melingkar di pinggangnya. Kiki memang paling suka merem ketika dibonceng Joni. Joni sering protes dengan kebiasaan Kiki ini. Ia takut kalo Kiki tiba-tiba ketiduran dan tidak bisa berpegangan dengan erat. ’Tidak apa-apa kok Jon. Aku hanya ingin merasakan kedamaian tiap kali bersama kamu,’ demikian Kiki selalu bilang tiap kali Joni bertanya kebiasaannya tersebut. ’Kita kan tidak punya waktu banyak untuk bersama. Jadi aku ingin menikmati tiap kebersamaan kita dengan sepenuh hati.’’Meski itu dengan memejamkan mata tiap kali aku bonceng?’ kata Joni masih heran dengan kebiasaan Kiki. ’Iya.’ ’Oke deh. Tapi janji ya. Jangan ngantuk kalo aku bonceng. Ntar kamu jatuh lagi,’ ucap Joni sambil membelai rambut Kiki. Bila sudah begini, Kiki akan memeluk Joni erat. Semenjak Joni berterus terang kepada mama tentang perasaanya kepada Kiki, mereka berdua menjadi susah bertemu. Hanya ketika waktu-waktu sela di kampus dan ketika Joni berkesempatan mengantar Kiki pulang, mereka bisa bersama. Maka, tiap kali perjumpaan itu terjadi, baik Joni dan Kiki benar-benar ingin menikmatinya sepenuh hati.
’Ki, kita sudah sampai.’ Joni mengulang ucapannya karena Kiki tidak segera menanggapi dirinya. Tangannya kembali menyentuh tangan Kiki pelan. Dan lembut. ’Ki,’ Joni kembali berucap lembut. Joni baru hendak menyebut nama Kiki lagi ketika ia merasakan tangan Kiki bergerak. ’Sudah sampai ya, yank.’ ’Iya, turun gih.’ Joni melepas helm yang menutup kepalanya. ’Masih kangen, yank,’ rajuk Kiki dengan manja. Kiki tetap tidak mau turun dari boncengan Joni. Joni memalingkan kepalanya. Lalu melepas helm yang menutup kepala Kiki. Dipandanginya Kiki dengan berjuta sayang yang berluruhan dalam jiwa. ’Kamu harus pulang, Ki. Nanti mama kamu nyariin,’ ucap Joni sambil merapikan rambut Kiki yang kusut tertindih helm. ’Biarin.’ Telunjuk Joni bergerak lembut menyentuh bibir Kiki. ’Kamu gak boleh ngomong seperti itu. Bagaimanapun, mereka adalah orang tua kamu.’ ’Tapi kenapa mereka jahat sama kamu?’ tangan Kiki bergerak menyentuh telunjukku. Matanya nampak berkaca-kaca. ’Mereka pasti punya alasan untuk itu, Ki.’ ’Iya. Karena mereka sayang sama aku. Karena mereka pedul sama aku. Tapi kenapa mereka tidak mau mengerti perasaanku. Karena mereka ...’ Kiki tidak sempat menyelesaikan perkataannya. Tangis pelannya telah memaksa Joni menarik Kiki dalam dekapannya. ’Aku sayang kamu, Jon,’ ucap Kiki lirih.
Beberapa waktu lamanya, Kiki larut dalam pelukan Joni. Joni menghentikan motornya tepat di depan portal di kelokan jalan menuju rumah Kiki. Sesekali nampak sepeda motor berlalu melewati mereka. ’Tidur nyenyak ya, Ki. Jangan begadang. Kasian kan murid-murid kamu.’ Kiki hanya mencubit lengan Joni mendengar sindiran tersebut. Joni membimbing wajah Kiki dari dekapannya. ’Aku sayang kamu, Ki,’ ucap Joni lembut. ’Sangat sayang.’ Udara seperti berhenti dalam takzim ketika kepala Kiki bergerak mendekat Joni. Sesaat keduanya bertemu dalam ciuman yang dalam. Hangat. Penuh dengan tumpahan keintiman rasa sayang. ’Met bobo, switi. Jaga diri ya, ucap Joni kemudian. ’ Kiki masih rekat menatap wajah Joni. Bekas air mata nampak masih tersisa di sana. Malam semakin tenggelam. Kiki mendekatkan kepalanya ke arah Joni. ’Sekali lagi boleh ya, yank?’

[]

Joni menarik nafas berat. Ia nampak terduduk di salah satu sudut bandara. Ia sama sekali tidak pernah berfikir ia dan Kiki harus berpisah dengan cara seperti ini. Tidak ada pertemuan yang terjadi. Tidak ada nafas yang bisa dibaui. Tidak ada rasa yang dibagi. Hanya sepucuk surat yang dibawa oleh Indah, teman sekolah Kiki. Ada sebentuk rasa marah menjalar di hati Joni. Tapi sebuah tarikan nafas panjang kemudian menghalau rasa itu pergi. Lagi-lagi Joni menghela nafas panjang. Semua telah pergi. Semua telah berlalu. Tak ada lagi yang tersisa. Selain setitik air mata yang bersembunyi di ujung kelopak mata Joni.

[]

...dan sayang, dari sini kita akan mulai langkah kita berdua. Akan kemana kita sekarang? (from the one who loves you). Dan surat itu pun terlipat. Terdiam. Terkungkung dalam keheningan yang panjang.

Friday, January 26, 2007

Ketika Pesta (HARUS) Usai...


Mendung tipis menggelanyuti langit manja. Meninggalkan sepasang kekasih yang sedang berciuman dalam udara membeku. Di sebuah sudut kampus tua. Di antara reruntuhan dedaunan berserakan. Hasrat mereka bertemu dalam kepekatan yang mendalam. Mereka adalah sepasang mahasiswa. Besok mereka berdua akan diwisuda. Dan mereka akan kembali ke rumah masing-masing. Ciuman sore ini adalah ciuman terakhir mereka. Perjumpaan yang penghabisan. Sebelum laku dunia merenggut masing-masing jiwa. ’Kita married saja.

Sementara, di dalam bilik sebuah cyber cafe, sepasang mata bersitatap dalam makna keterdiaman. Kegelisahan penuh berloncatan dalam beku udara yang diam. Bibir mereka tidak bergerak. Tapi mata mereka, jelas mengisaratkan pemilik jiwa yang sedang merana. Lalu, pasangan itu pun luruh dalam sebuah ciuman yang hampa. Bibir mereka menyatu. Tapi kesedihan telah menumpulkan syaraf-syaraf bibir mereka. Nafas mereka nyaris tersengal. Tapi tetep saja tidak ada rasa yang tercipta. Di depan mereka, tergeletak diam di depan monitor, selembar tiket penerbangan ke Singapura. Ini adalah ciuman terakhir. Sebelum si wanita pergi ke Singapura.

Jauh bermil-mil dari cyber cafe, sebuah telpon berdering. Saat itu hujan sedang menderu pelan. Menyisakan aroma dingin yang menebal menyengat. Isak tangis seorang wanita muda terdengar menyembul dari balik ujung telpon. Ia baru menikah beberapa bulan yang lalu. Pastinya ia sangat bahagia. Suaminya, lelaki klimis yang selalu rapi tiap kali pergi bekerja, juga sangat mencintai dia. Apalagi semenjak mereka mempunyai anak. Seolah, dalam tiap laku dan larik nafas yang mereka buat, tiada yang bisa dibaca selain ungkapan rasa bahagia. Hujan semakin tercurah seiring tangis wanita muda itu yang semakin menderu. Tak ada suara terdengar dari ujung telpon satunya. Hanya tangis wanita muda itu yang senantiasa terdengar. Sambil sesekali diselingi beberapa potong ucap. Keheningan makin jauh menyeret malam. Udara semakin terbujur dalam kaku tak berujung. Dari balik ujung telpon, terdengar desah helai nafas memberat. Terdengar kemudian suara wanita muda itu, ’Abang, aku ingin bercerai.’ Tak ada balasan suara dari ujung telepon satunya. Hanya keheningan yang semakin menganga. Menenggelamkan malam itu dalam sebuah keterdiaman tak berujung.

Di bilik sebuah rumah sakit, suara lolongan mengaum membelah. Sedih yang sedari tadi mengintip, meletup dalam sebuah tangis membuncah. Kabar itu baru saja datang. Tentang anaknya yang tidak terselamatkan. Tentang ketakutan yang kini benar menjadi kenyataan. Perempuan muda itu menjerit. Mematung ia menatap pintu ruangan. Sementara di dalamnya, seorang suster baru saja menutupi tubuh sesosok bayi mungil.

Di tepian pantai di suatu sore. Seperti biasanya, sore itu langit kembali memerah. Matahari yang menua, bergerak pelan menyentuh bibir senja. Angin mengalun pelan. Meninggalkan kilau menyentuh pucuk-pucuk air yang beriak diam. Dingin yang makin mengental, membuat lelaki itu menaikkan kerah bajunya. Sudah sedari tadi lelaki itu berdiri mematung di sudut pantai. Matanya menerawang jauh. Menatap hamparan biru laut tak berujung. Sesekali ia menyeret langkahnya yang berat. Memungut benda-benda yang ia lihat bergerak mendekati bibir pantai. Hari ini adalah sore yang ke-25 lelaki itu mengakrabi senja yang menua seperti ini. Tapi, seperti sore-sore sebelumnya, ia tak kunjung jua bisa mengusir sesak yang meringkuk dalam jiwa. Matahari telah mencium senja, ketika sebuah dering telpon mengusik lamunan lelaki itu. ’Ada yang ketemu?’ ’Maaf mas, nihil.’ Terdengar suara telepon ditutup. Lelaki itu nampak tergesa memasukkan ponsel ke kantongnya. Dan mendadak ia berlari. Sebelum kemudian ia melolong dalam sebuah teriakan membahana. Dalam malam yang mulai merayap, lelaki itu menarik sesuatu dari dompetnya. Gambar seorang wanita cantik. Rambutnya sebahu. Dengan senyum manis mengembang menghias. Tangan lelaki itu bergerak menyusur. Menyentuh lembut bibir wanita dalam foto. Nampak tautan emosi mengenangi tatapan matanya yang merindu. Jari lelaki itu kemudian bergerak menyentuh larit nama yang tertulis di bawah wajah cantik itu: Prameswari. Sementara di atasnya, wanita cantik dalam balutan seragam pramugari itu tetap tersenyum. Begitu manis. Begitu cantik.

Dalam waktu yang semakin menua, kita tidak pernah tahu kapan semua akan berakhir. Ketika ciuman yang kita berikan pada kekasih, ternyata akan menjadi ciuman terakhir. Ketika lambaian tangan yang kita berikan, ternyata akan menjadi lambaian terakhir. Dan mungkin, kita tidak bisa memberesi tenda, mencuci piring, menggulung tikar, melepas tamu yang pamit pulang, dalam pesta kita sendiri.

Karena kita tiada pernah tahu, apakah ini pesta terakhir?

Wednesday, January 24, 2007

Siapa butuh agama?



Aku tidak mengenal Mr. O. Sumpah. Meski ia dikenal sebagai pencipta lagu, aku pun baru mengetahui wajah dan namanya baru 5 detik yang lalu. Ketika sebuah infotainment menayangkan wajah dan statementnya. Didampingi lelaki berjenggot dan bersurban, mbak narator bilang dia adalah seorang habib, Mr. O melakukan bantahan bahwa dirinya akan menikahi Sheila, wanita berkulit putih, berambut panjang, yang telah hamil 5 bulan.


Seperti aku bilang di atas, aku tidak kenal siapa itu Mr. O, juga si habib, apalagi si wanita Sheila. Aku hanya terpesona dengan ucapan dari si Mr. O itu. Di infotainment tersebut disebut bahwa Mr. O dan Sheila sudah hidup satu atap selama 1 tahun. Tanpa ikatan perkawinan. Dan kemudian Sheila hamil. Nah, dalam statement yang dikeluarkan, si Mr. O mengatakan bahwa dirinya urung menikahi Sheila (betul ya nikah, karena kalo kawin kan mungkin mereka sudah), karena dia dan Sheila mempunyai keyakinan yang berbeda. Mr. O beragama Islam dan Sheila bukan beragama Islam. Dengan mata menatap mantap, Mr. O dengan gagah berucap bahwa pernikahan beda agama tidak diperbolehkan dalam ajaran Islam. Si Habib pun kemudian nimbrung dengan berstatemen bahwa karena tidak diperbolehkan oleh agama, maka apabila mereka tetap menikah dan kemudian berhubungan badan maka dapat dikatakan mereka melakukan perzinaan. Meski hidup satu atap, si Mr. O ini juga meragukan bahwa bayi dalam perut Sheila adalah buah hasil karyanya. Lewat si habib, Mr. O ini menantang untuk melakukan tes DNA. Dahsyat gak.


Aku tidak dalam kapasitas memberikan penilaian benar tidaknya statemen dari si Mr. O dan si habib. Yang sedikit mengusik ketenangan jiwa ini adalah, lagi-lagi dan lagi-lagi, kita terbiasa untuk memetik penggalan ajaran agama demi kepentingan kita sendiri. Ajaran agama diperlakukan seperti onggokan pakaian dalam gantungan lemari. Ketika dibutuhkan sebagai pelindung, kita comot pakaian itu. Dan ketika kita tidak lagi membutuhkannya, kita buang pakaian itu entah kemana.


Okelah kita bersepakat bahwa perkawinan beda agama tidak dibenarkan dalam Islam. Tapi, hidup satu atap dengan wanita yang bukan muhrimnya apakah merupakan praktek yang dihalalkan dalam Islam? Menimbun benih dalam perut wanita yang bukan istrinya, apakah merupakan salah satu ajaran Islam?


Sekali lagi kita disuguhi tontonan gratis: ketika kepepet, agama dicatut untuk dijadikan pelindung. Dan ketika kenikmatan deras mengguyur, entah ditekuk kemana ajaran agama tersebut.


Sambil bersiap untuk mandi, aku hanya berucap: astagfirullah.

dream.work.die.



And that’s it. Selesailah sudah. Semuanya. Segalanya. Hanya menyisakan diri terpekur di depan monitor. Dengan segelas kopi kosong di sebelah kiri. Tak ada lagi cerita yang terbaca. Kepala ini sudah kosong. Tak menyisakan apa-apa. Hanya lorong panjang kegelapan. Semua sudah terberai. Hangus. Mencair meleleh. Terhisap masuk dalam jiwa, yang juga telah menghitam kelam.
Tak tersisa yang bisa dilakukan. Selain kelebatan kenangan. Potongan pengandaian. Dan jejak-jejak yang menyeringai menjauh. Tertawa lepas dalam busuk kemenangan. Tubuhku masih teronggok di sini. Jiwaku masih terpakar di sini. Hanya kepalaku yang masih bergerak. Merangkak pelan. Melambai. Menuju tungku penggosongan.
Entah sejak kapan ini bermula. Semua tiba-tiba meloncat keluar dari tempatnya. Rentetan rencana yang terjalin indah, terberai entah karena apa. Masing-masing dari mereka melesak keluar. Berlari entah kemana. Meninggalkan deret indah terukur rencana yang terbungkus rapi dalam jilid dokumen kerja. Benar waktu itu tangan ini melambai. Mengais mereka. Mencoba membawa mereka kembali pulang. Tapi, ternyata, semua sia-sia.
Hingga di sinilah aku sekarang. Teronggok sendirian. Dengan kepala yang mulai menggosong. Dan jiwa yang menggelapar dalam pegap kematian.

Tuesday, January 23, 2007

Untuk Cha..

Pagi yang indah.
Cahaya kuning menyusur pelan di antara hamparan tumpukan awan yang melambai.

Tapi, rupanya, selarit kesedihan sedang mengiris hatiku.
Kesedihan memang kerap melahirkan kesedihan.
Dan pagi ini, aku telah membuat seorang teman berlalu dalam hening kesedihan.

Cha, ...
Aku hanya mencoba melakukan yang terbaik.
Maaf bila itu justru melukai kamu.

Friday, January 19, 2007

Tidurlah Zaki…



Aku menarik Yasin menjauh dari meja. Lewat ekor mata, sesaat aku menangkap reaksi dr. Rudi yang terkejut dengan tindakanku. Tapi ini benar-benar keputusan yang penting. Dan aku tidak ingin Yasin di kelak kemudian hari mengutuk dirinya karena mengambil keputusan ini. Jadi aku berkeyakinan dr. Rudi pasti bisa memahami ketidaksopananku tersebut.


‘Kamu serius menyetujui operasi itu.’ Ucapku setelah berada di ujung ruangan. Yasin tidak segera menjawab. Kelihatan jelas ia sebenarnya tidak terlalu yakin dengan keputusannya tadi. ’Kita bisa kehilangan dia di meja operasi. Resikonya sangat besar. Dr. Rudi bilang chance-nya cuman 70:30.’
’Kalo tidak operasi, apalagi yang bisa kita lakukan, mas.’ Kepala Yasin mendongak menatap aku. Campuran antara lelah, bingung, dan don’t know what to do nampak jelas menghias wajahnya yang keras.
‘Tidak ada.’ Jawabku pelan. Sarat dengan aroma putus asa. ‘Cuman resiko operasi ini terlalu besar, Sin.’ Aku berhenti sejenak karena tidak sanggup untuk meneruskan kalimat berikutnya. ‘Kita bisa kehilangan Zaki malam ini. Bila tidak dioperasi, kemungkinan kita masih bisa melihatnya dalam beberapa hari.’
‘Mas tega melihat Zaki menangis menahan sakit seperti itu.’ Jawaban Yasin sungguh di luar dugaanku. Tidak biasanya ia bisa berpikir benar seperti itu. Sorot matanya tiba-tiba menjadi tajam. ‘Aku tidak tega mas. Aku tidak kuat. Dia masih 40 hari dan musti menanggung derita yang pasti sangat menyakitkan itu. Aku tidak sanggup membayangkan betapa menderitanya dia, mas.’ ’Jadi, kamu tetep setuju untuk melakukan operasi?’ ’Iya mas. Seperti kata dokter tadi, pilihan yang termungkin di antara kemungkinan terburuk.’


Sebentar aku kembali menatap wajah Yasin. Usianya masih muda. 22 tahun. Dan sekarang, ia musti menghadapi masalah, yang aku yakin, ia belum siap sama sekali untuk menjalaninya.

[]

Zaki Zam Zami Kamal. Bayi tampan berusia 45 hari. Ia adalah keponakanku, buah cinta antara Yasin, adikku, dengan Laila, cewek yang masih 1 kampung dengan kami. Zaki terlahir sebagai bayi prematur. Berat waktu dilahirkan hanya sekitar 1,8 kg. Tapi, Zaki adalah bayi yang sangat tampan. Mix wajah tampan ayahnya dan wajah ayu ibunya benar-benar jelas menurun pada dirinya. Meski prematur, Zaki dilahirkan dengan cara normal. Seperti kelahiran-kelahiran lain di kampung kami, seorang bidan dan dukun bayi menemani proses kelahiran Zaki ke dunia ini.
Aku tidak sempat menemani Yasin melewati malam menegangkan itu. Aku baru mengetahui berita kelahiran itu pada siang harinya. Ibu menelponku. Mengabarkan berita gembira ini. Dan beberapa hari setelah mendengar berita itu, aku baru bisa menatap wajah imut keponakanku. Zaki adalah keponakan keempatku. Sebelumnya dua kakakku telah menikah. Yang satu sudah punya 2 anak, sedangkan satunya lagi punya 1 anak.


Sejak kunjunganku pertama itu, aku belum lagi pernah melihat Zaki. Ada beberapa kali aku pulang ke rumah ibu, tapi selalu tidak berkesempatan pergi mengunjungi Zaki. Meski rumahnya hanya terpaut sekitar 1 km dari rumah ibu. Hingga kemudian, suatu siang di hari Minggu, hpku bersuara. Aku sedang berada di bengkel menambal ban motorku saat itu. Terlalu singkat untuk sebuah pesan. Begitu melihat nomor flexi, intuisiku mengatakan itu pastilah ibu yang menelpon. Dan benar saja. Sedetik kemudian, begitu tombol ok aku tekan, suara panik ibu nampak melaju bergemuruh seperti badai. ’Gi, Zaki dibawa ke rumah sakit.’ Aku tidak segera menjawab. Bapak bengkel baru saja menunjukkan ban yang berlubang karena tertusuk paku. Aku menganggukkan kepala ketika bapak bengkel mengangkat ban ke arahku. Menandakan aku sudah mengerti apa yang terjadi dengan ban motorku.
’Zaki?’ aku mengulang kata itu pelan. Kali ini aku beranjak menjauh dari bengkel. Paling tidak agar tidak diganggu dulu dengan tatapan bapak bengkel. ’Iya Zaki. Anaknya Yasin. Keponakanmu.’ Suara ibu nampak terdengar pilu. Ia seperti bisa menangkap kepayahanku yang tidak tahu nama keponakannya sendiri. Waktu menengok bayi itu, dia kan memang belum diberi nama. Dan setelah itu, tidak jua ada pemberitahuan mampir kepadaku tentang nama dia. Jadi, dari mana aku tahu kalau Zaki adalah nama keponakanku. Dalam hati, aku mengutuk diri sendiri atas kelalaian ini.


’Zaki kenapa emangnya bu?’ aku berkata setelah sempat beberapa saat terdiam. ’Ia tidak bisa buang air besar dan buang angin. Perutnya jadi membesar kayak orang kembung gitu.’ Suara ibu nampak terdengar terburu-buru. Setelah menyadari kebodohanku yang ini, aku spontan bertanya, ’Di rumah sakit mana? ’Rumah sakit umum Demak.’ ’Ok bu. Nanti malam aku ke sana.’ Tut.. tut.. tut...

[]

’Ok, deh. Jadi keputusan kamu tetap bulat. Kita menyetujui Zaki untuk dioperasi?’ Aku tidak segera mendapat jawab dari Yasin. Baru beberapa saat kemudian ia mengangguk pelan. ’Meski kita bisa kehilangan dia malam ini?’ ’Iya’ ’Ok, mari kita kembali ke dokter Rudi.’


Dokter Rudi berpostur tinggi besar. Melihat wajahnya yang berseri, usianya mungkin sekitar 35 tahun. Senyum simpul selalu hadir di antara deret gigi putihnya. Dokter Rudi kelihatan masih berbincang dengan Laila ketika kami sudah kembali berada di depannya. Aku baru saja hendak berucap maaf atas kelakuanku yang tiba-tiba pergi tadi, ketika Dokter Rudi telah mendahului berucap. ’Jadi bagaimana?’ Pengalamannya menjadi dokter rupanya telah membuatnya paham dengan kondisi psikis orang-orang yang akan berhadapan dengan meja operasi. Buktinya, tanpa ada yang memberitahu, Dokter Rudi bisa menebak apa pembicaraanku dengan Yasin barusan. Aku pun segera mengesampingkan basa basi yang telah aku persiapkan. ’Iya dok. Lakukan saja operasi jika itu memang yang terbaik.’ Sesaat aku lihat ke arah Yasin dan Laila. Mereka tidak berucap apa-apa. Tapi dari matanya aku bisa merasakan mereka berkata, ’Lakukan yang terbaik, mas.’


’Ok, saya perlu ayah dan ibu dari Zaki untuk menandatangani pernyataan ini.’ Dokter Rudi menyerahkan selembar kertas dan polpen berwarna hitam. Sekilas aku baca surat itu. Surat tentang pernyataan pemberian ijin untuk melakukan operasi. Bergiliran Yasin dan Laila membaca surat itu. Aku hanya menganggukan kepala ketika kemudian mereka melihat ke arahku. Dan malam itu, tepat pukul 10.36, orang tua Zaki telah mengiklaskan Zaki untuk dioperasi. Sebuah pertaruhan yang tidak main-main. Mengingat Zaki baru berusia 40 hari. Tuhan, selamatkan keponakanku. Zaki.

[]

Kerumunan orang itu kian menipis. Hingga kemudian hanya tersisa aku seorang. Aku menatap tanah yang masih basah itu. Sebuah rumah mungil baru saja kami bangun untuk Zaki. Keponakanku tersayang. Tidurlah Zaki. Maafkan paman untuk tidak selalu bisa bersama kamu.

Sunday, January 14, 2007

Saat Cinta Menyentuh Hati Kita




Hari ini aku terbangun dengan cairan cinta menggenang di pelupuk mataku. Dan ketika kubuka mata, bening getah cinta pun merayap. Bergulir menggelinding ke dalam retina mataku. Bening cairan cinta lalu mengubah dirinya menjadi tangan-tangan mungil bersepuhkan hangat menenangkan. Mengusap kelopak yang masih mendekap erat bola mataku.
Aku lalu beranjak menggelajar sajadah. Mengecup pucuk-pucuk hangat pertemuan dengan Kekasih. Dan ketika aku telah merampungkan perjumpaan dengan Kekasihku, cinta telah mengubah dirinya menjadi laksa air menyejukkan. Ia menelusuri seluruh lekuk tubuhku. Menawarkan kesegarannya mengusir penat yang menggantung. Menyalakan kilau tajamnya untuk menghela perompak-perompak yang menawan cerah jiwa. Cinta telah membungkus diriku dengan aroma wangi. Dan mengguyur diriku dengan kesegaran jasmani.
Aku, kemudian, mulai mengepak diriku dalam balutan busana untuk bekerja. Ketika sepatu aku pasangkan, cinta melesak ke bawah. Mengepakkan sayapnya. Mendekap erat tiap-tiap sisi bawah sepatuku. Cinta mengangkat tubuhku. Menerbangkan diriku dalam langkah-langkah riang. Penuh senandung menyegarkan. Betapa elok perjalanan di pagi hari ini. Dengan cinta menempel di sepatuku, setiap persentuhanku dengan tanah, dengan rumput, adalah perjalanan pulang ke pangkuan kekasih yang telah 2 tahun aku tinggalkan.
Dan ketika aku memasuki bus, cinta telah berbaring membentuk empuk merdu kursi. Melindungi diriku dari penat dan lelah. Menjauhkan diriku dari bau-bau jiwa yang tiada pernah dipeluk oleh cinta. Pun ketika bus oleh jalan yang berlubang, cinta dengan cepat mengantupkan kedua tangannya. Melingkar di pinggangku. Memberikan dekap hangat melegakan.
Dalam perjalanan bisu tanpa teman, cinta mengubah dirinya menjadi burung perkutut. Sayapnya terjulur ke depan. Membentuk elok saxospon. Lalu, mengalirlah nada-nada indah itu. Mengusir sepi yang menyeringai. Menghadirkan sesosok teman hangat. Menghalau rasa sunyi sepi.
30 menit pun berlalu. Perjalanan pun usai. Cinta melompat turun ketika kakiku menggapai aspal depan kantorku. Cinta mengubah dirinya menjadi rumpai-rumpai yang menjulur. Melambai keluar dari gerbang kantorku. Membentangkan tangannya. Menyambut, dan berucap lembut: selamat datang.
Cinta lalu menyusup ke dalam bibir para penjaga pintu. Wajah-wajah sangar yang terbiasa kaku, yang terbiasa terbalut dalam sinis penuh selidik, pergi sudah. Pagi itu, cinta telah memangkas wajah-wajah itu menjauh. Dan menghadirkan sejuta arjuna berbaris. Menenggelamkan dunia dalam senyum penuh aroma cinta.
Cinta yang telah tersebar, rupanya masih saja tersisa di setiap sisi sepatuku. Langkah masih saja ringan. Penuh dengan senandung bahagia. Dan, aku pun sudah terduduk di belakang mejaku.
Cinta. Andai kita tak lagi punya apa. Cukup saja ada cinta di hati. Cinta akan memberi lebih dari apa yang kita ingini. Karena cinta akan selalu ada di sana. Selalu.

Kenapa Kita Musti Mencinta..




Mereka yang tidak menyukainya menyebutnya tanggung jawab,Mereka yang bermain dengannya, menyebutnya sebuah permainan,Mereka yang tidak memilikinya, menyebutnya sebuah impian,Mereka yang mencintai, menyebutnya takdir.
Kadang Tuhan yang mengetahui yang terbaik, akan memberi kesusahan untuk menguji kita. Kadang Ia pun melukai hati, supaya hikmat-Nya bisa tertanam dalam.
Jika kita kehilangan cinta, maka pasti ada alasan di baliknya. Alasan yang kadang sulit untuk dimengerti, namun kita tetap harus percaya bahwa ketika Ia mengambil sesuatu, Ia telah siap memberi yang lebih baik.
Mengapa menunggu?Karena walaupun kita ingin mengambil keputusan, kita tidak ingin tergesa-gesa.Karena walaupun kita ingin cepat-cepat, kita tidak ingin sembrono.Karena walaupun kita ingin segera menemukan orang yang kita cintai, kita tidak ingin kehilangan jati diri kita dalam proses pencarian itu.
Jika ingin berlari, belajarlah berjalan duhulu,Jika ingin berenang, belajarlah mengapung dahulu,Jika ingin dicintai, belajarlah mencintai dahulu.
Pada akhirnya, lebih baik menunggu orang yang kita inginkan, ketimbang memilih apa yang ada.Tetap lebih baik menunggu orang yang kita cintai, ketimbang memuaskan diri dengan apa yang ada.Tetap lebih baik menunggu orang yang tepat, Karena hidup ini terlampau singkat untuk dilewatkan bersama pilihan yang salah, karena menunggu mempunyai tujuan yang mulia dan misterius.
Perlu kau ketahui bahwa Bunga tidak mekar dalam waktu semalam,Kota Roma tidak dibangun dalam sehari,Kehidupan dirajut dalam rahim selama sembilan bulan,Cinta yang agung terus bertumbuh selama kehidupan.
Kebanyakan hal yang indah dalam hidup memerlukan waktu yang lama, Dan penantian kita tidaklah sia-sia.
Walaupun menunggu membutuhkan banyak hal - iman, keberanian, dan pengharapan - penantian menjanjikan satu hal yang tidak dapat seorangpun bayangkan.
Pada akhirnya. Tuhan dalam segala hikmat-Nya, meminta kita menunggu, karena alasan yang penting.
Dalam menunggu itulah, terbangun rumah cinta ini. Tempat mengungsikan segala resah jiwa. Tempat merebahkan lelah jiwa. Tungku perapian yang akan selalu memantik gelora semangat jiwa.

Menyelingkuhi Membaca




Selain tidur, dan tentu saja makan, kegiatan apa lagi yang bisa dibilang sangat mengasikkan? Jawabannya, saya yakin, pasti sangat beragam. Ada yang menyebutkan jalan-jalan, hang out bareng temen (ya pasti lah, sejak kapan JJS bareng sohib yang ngerebut perhatian doi itu menyenangkan), nonton film (kalau listrik pas gak mati. Kayak kemaren, pas enak2 nonton liga Inggris, ekh, listrik mati tanpa permisi. Kagak ninggalin surat wasiat lagi. Hehe.. gak nyambung ya. Bodo.) Untuk yang keranjingan ma bau keringat, tak sampai hitungan 2 detik, pasti langsung berucap mantap: olahraga. Atau untuk yang udah bosen dibilang punya kulit putih, akan langsung nendang ke depan sambil berdemo lantang: jemur kulit di terik matahari. (hihi, yang bego itu aku ato dia ya. Masak ngitemin kulit dibilang aktifitas mengasyikkan. Trus buat apa juga dibuat laboratorium Nivea kalo gitu).

Sebenarnya, jawaban atas tanya di atas mau dibuat berbuih-buih ampe 30 paragraf pun bisa. Kita belum nyebutin nusuk diri pake jarum, nanem logam di pantat, maen bola (hore... kalo ini pastinya memang sangat sangat mengasikkan), ato seabrek kegiatan lain. Tapi, jujur saja nih, jawaban-jawaban yang diberikan tidak akan bisa mengubah jawaban yang sudah saya punya. Lho, kalo gitu? Hehe. Iya, emang. Pertanyaan di atas hanya sebagai sekadar formalitas belaka. Pancingan untuk menarik perhatian. Bukan pancingan tuk dapat ikan lho. Jadi, sebelum saya bertanya kepada sampeyan mengenai apa kegiatan yang paling mengasikkan, selain tidur dan makan, sebenarnya, saya sudah mempunyai jawaban versi saya sendiri. Jawaban yang paling benar dan paling bisa dipertanggung jawabkan. Setidaknya menurut saya. Haha...

Penasaran kah sampeyan akan apa sejatinya jawaban saya? Apa keasyikan versi saya yang karenanya darah menjadi halal untuk dikucurkan. Yang deminya mengarungi laut dan menunggangi gunung hanya dianggap seperti melompat ke atas tempat tidur. Hehe, gak nyambung banget ya. Sebentar. Ada baiknya ada atur posisi duduk Anda dulu. Atau kalo berduaan ma doi, Anda sempatkan tuk melihat bibir dia. Hehe, jangan mupeng, mas. Maksudnya untuk ngecek masih ada gak bibir doi. (Jadi inget pas masa-masa pacaran dulu. Sebenarnya sih saat ini saya juga masih berada dalam masa-masa pacaran. Tapi karena tidak ada yang dipacarin, ya udah, nganggur dulu aja. Habis mo gimana lagi. Ini teori fisika murni mas, ada aksi ada reaksi. Ada pacar ada pacaran. Ada selimut ada tiduran. Hehe... lagi-lagi dan lagi-lagi tidak nyambung).

Hoi..... lalu apa jawabannya, mas. Dubrakk... hehe, maaf. Jadi kelupaan. Tapi sabar dikit napa. (bingung ya. Gini lo ceritanya. Karena kelamaan jawab, tadi ada sepatu melayang ke arah saya, trus ngebentur hidung saya. Jadi terdengar bunyi dubrakk itu). Berdarah? Gak lah. Orang hanya boongan. Hehe..

Ok, deh. Sekarang aku kasih tahu apa keasikan itu. Apa gerangan kenikmatan yang bisa menarik semesta bumi bersenandung mengiringiku. That’s WRITING, sweety. Yup, menulis. Menulis adalah pekerjaan paling cool di dunia ini. Dengan menulis kita, kita bisa menjadi Tuhan, dai, selebriti, seniman, atau penjahat kriminal perang sekalipun. Menulis menyediakan berbagai formasi pekerjaan yang bisa kita isi sesuai dengan kehendak dan minat kita. (Jadi Anda tidak perlu berdesakan lihat lowongan koran untuk ngecek formasi apa yang tersedia). Dan bila, ternyata, tulisan Anda jelek, tidak akan ada seorang pun juga yang akan menghina apalagi merendahkan Anda. (tentu saja, persyaratan ini berlaku apabila Anda tidak mencantumkan identitas di bawah tulisan Anda, anonim. Bila Anda cantumkan identitas, dan ternyata tulisan Anda jelek, ya bisa saja akan ada bungkusan hadiah yang mampir ke tempat sampenyan. Hadiah berupa jam? Jangan senang dulu. Mungkin aja telur busuk. Hehe.

Jadi, ternyata, selain mengasikkan, menulis juga merupakan kegiatan yang aman. Dan yang paling penting, merupakan media yang tepat untuk melatih kadar kejantanan kita. (termasuk juga kebetinaan gak ya? Tau akh). Kita bisa dengan gagah mengakui sebuah tulisan adalah karya kita. Atau kita bisa meringkuk berlindung di balik rangkaian tulisan itu dengan menuliskan Anonymous di bagian bawah tulisan kita.

Dengan menulis, kita juga menilai kadar penghayataan kita akan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. (gila, tinggi banget ya? Hehe..) Maksudnya, tulisan yang kita buat bisa menjadi alat lie detector yang paling ampuh untuk menguji kadar kejujuran kita. Apakah kita cukup jujur dengan mengakui bahwa tulisan yang kita buat hanyalah hasil kutipan, ataukah tulisan itu memang milik kita yang kebetulan muncul pas kita lagi ada di kamar mandi. (hehe.. jadi gak mungkin tulisan itu dimiliki orang lain. Habis, siapa juga yang mau mandi dengan saya).

Singkat kata singkat cerita, pendekar pun berhasil memenangi pertempuran... (nglantur lagi, kan. Susah memang, kalo teledor sudah jadi kebiasaan. Ya kayak ini ni. Suka nglantur dan kagak nyambung. Hehe..) Maksudnya, singkatnya, menulis merupakan kegiatan yang sudah teruji sebagai aktifitas yang menyenangkan. Sudah murah, --bahkan bisa gratis bila Anda menggigit jari sebelum menulis (maksudnya tak perlu keluar ongkos untuk tinta), melatih kejujuran, mendadar kejantanan, mengasikkan, dan bila beruntung, menghasilkan uang. Uang? Tak pernah ngebayangin ada makhluk yang demikian mendominasi dunia kalau bukan uang. Uang merupakan alat indera keenam. Yang tanpanya, kita tidak akan bisa merasakan kelima indera lainnya. (kalimat yang terakhir ini hasil mengutip lho. Tadi dah lupa kalimat siapa itu.)

Jadi, kenapa Anda masih di sini? PULANG... PERGI... Hehe.. tidak sekejam itu kali. Segeralah timbulkan niat dalam diri Anda untuk mulai menulis. Tentang apa saja. Dengan gaya apa saja. Tak usah memikirkan banyak hal tentang tulisan Anda. Bodo amat bila ternyat tulisan kita belum bagus. Setidaknya ini merupakan proses untuk mendapatkan tulisan yang bermutu. (Sama seperti ketika kita akan nembak cewek yang kita suka. Serba deg-degan. Takut. Cemas. Khawatir. Tapi begitu tembakan sudah dilancarkan, apapun hasilnya, kita bisa berlega. Karena akan segera ada keputusan dari dia yang bisa menjadi pedoman tindakan kita selanjutnya. MAJU atau MUNDUR. Hehe.. Kalimat bijaknya adalah, ’Lebih enak berada dalam penolakan, daripada berkubang dalam keasyikkan yang tanpa kepastian’.

Tak usah berpikir banyak. Tak usah banyak mikir. Cukup ambil alat yang mau Anda gunakan untuk menulis. Dan, mulailah MENULIS. Tulisan kita masih jelek? BODO amat. Tulisan kita cukup bagus? TETEP MENCOBA. Tulisan Anda sudah bagus? Hehe.. Coba tolong periksakan mata Anda.

Parkir nan Menjengkelkan






23.00
Malam merangkak perlahan. Lampu kamar telah aku matikan. Tinggal menyisakan kerlip teduh bedlamp yang aku letakkan disebelah tempat tidur. Beberapa menit lalu, Empat Mata baru saja usai. Dan biasanya, kalau tidak ada tugas yang musti diselesaikan, aku akan mempercepat waktu tidurku. Terdengar kemudian suara komputer sedang booting. Mendengarkan musik, aku pikir, tidak terlalu buruk untuk dilakukan.

23.20
Tak ada yang salah dengan malam ini. Warna malam tetap hitam. Langit pun tetap bertemankan dengan bintang dan bulan. Udara yang berhembus tetep tidak jelas: panas yang bertumbukan dengan rasa dingin. Membuatku selalu berhadapan dengan dilema tidak berkesudahan: kaos putih bertuliskan ’sailor’, ataukah singlet cream bergambar logo chelsea. Yang satu terkadang tiba-tiba membuat tubuh merasa gerah, sedangkan satunya lagi seringkali tiba-tiba mengundang dingin untuk mendekap merapat. Seperti malam-malam sebelumnya, suara mendayu Andrea The Corrs tetap setia menemaniku. Hanya bedanya, bila biasanya ia menyanyi sendirian, malam ini, aku buat bergantian dengan mas Opick. Beberapa saat tadi, tiba-tiba aku merasa agak oleng, jadi sepertinya perlu disuntik dengan guyuran nada-nada surgawi mas Opick.
Lalu, apa yang membuat malam ini terasa agak berbeda dengan jutaan malam sebelumnya? Perasaan gak ada yang beda, deh. Tapi tiap kali aku berpikir malam ini memang sama dengan malam lainnya, seperti ada sesuatu yang menendang kepala ini. Seperti ada senyawa dalam otak ini yang tidak berterima kalo aku tidak memikirkan malam ini agak berbeda dengan malam lainnya. Tapi apa ya? Apa. (hehe.. tau ah. Gelap).

23.30
O iya. Aku lagi kesel. Malam ini menjadi beda, karena sore tadi aku telah beresolusi untuk membuat kekesalan ini tumpah mengotori warna malam. Jadi malam ini tidak akan hanya dominan dengan hitam, tapi juga warna ungu. Ungu? Iya, karena Ungu adalah my fave band. Haha.. apa hubungannya ya. Ngaco.
Aku lagi kesel ma sistem perparkiran di sekelilingku. Di kota semarang tercinta ini. Bayangin, hidupku, barangkali juga hidup Anda semua, ternyata dihantui oleh parkir. Dari bangun tidur, hingga kembali ke tidur lagi, selalu saja aku berinteraksi dengan abang-abang tukang parkir. Lebih parah dari sekadar rutinitas minum obat. Dan celakanya, frekuensinya lebih sering dari aku berkata ’i miss u’ kepada the one. (haha.. bukan mengacu kepada sang terpilih dalam The Matrix, lho. Meski Keanu Reeves emang cakep, tapi aku masih normal, mas).

05.15
Aku awali pagi dengan membuka mata. (Geblek ya. Tentu saja lah harus buka mata dulu. Baru bisa beraktifitas. Hehe..) Setelah mengecap nikmat pertemuan dengan Kekasihku, aku segera memakai pakaian olahragaku. Enam kali mengitari lapangan stadion Tri Lomba Juang sambil menghirup udara pagi, sepertinya bukan pilihan yang buruk. Apalagi jika dapat bonus pemandangan indah mbak-mbaknya yang cantik. Hehe... Seperti dah janjian saja, nyampe di stadion, aku langsung disambut dengan mas tukang parkir. Harap dicatat, ini perjumpaan pertama dengan mas tukang parkir hari ini.

06.05
Bener juga. Setelah 5 kali muterin lapangan, padahal tadi janjinya 6 kali lho, badan dan mata ini terasa segar. Sedikit gerakan angkat barbel yang terletak di sudut stadion, membuat badan menjadi bertambah segar. Olahraga pagi itu diakhiri dengan melakukan 1 kali victory lap mengelilingi lapangan. Maksud sebenarnya sih untuk.... (haha.. tau aja sampeyan).

06.25
Selesai dari stadion, aku pun berkendara ke arah simpang lima. Setelah berbasah-basah ria, sepertinya akan sangat nikmat bila bisa menyeruput bubur kacang hijau. (bener gak ya menyeruput. Soale terkadang buburnya panas minta ampun. Jadi apa bener kuat menyeruput). Begitu memarkir motor, bergegas seseorang menghampiri. Dan, catet, ini adalah yang kedua aku memberi senyum kepada mas tukang parkir. Sebenarnya batin ini sudah menjerit-jerit mangkel sih. Tapi, daripada mengotori kelezatan bubur ayam mang yang biasa mangkal di depan Masjid Baiturrahman ini, aku ikhlaskan saja.

06.35
Setelah memberikan recehan 500 rupiah, aku pun mengarahkan motorku ke arah jalan Pahlawan. Sepuluh hari pencarian AdamAir yang sia-sia, membuat aku penasaran untuk mengikuti perkembangan hasil pencarian di hari ke-11 ini. Setelah menyelesaikan setengah putaran simpang lima, aku pun segera melihat wajah ibu yang selalu memakai rompi kompas berwarna biru itu. Aku sempat menghentikan motor sih, tapi karena ibunya datang menghampiri, jadi aku tidak meninggalkan motor. Aku sempat jadi parno sesaat. Parkir lagi nih, batinku. Tapi, ketika pandanganku menyapu sekeliling, tidak kelihatan sosok lelaki dengan topi dan peluit terkatung-katung di lehernya. Di penghentian yang ke-3 ini, aku aman. Horee..... Headline berita pagi itu, ’Teknologi canggih gabungan beberapa negara yang dikerahkan untuk mencari keberadaan AdamAir yang hilang, ternyata dikalahkan oleh jaring seorang pencari ikan bernama Bakrie.’ Aku mendesis, hebat juga si Bakrie ini.

06.55
Sesampai di kos, sebelum mengguyur badan dengan air, aku menamatkan berita yang kalo aku editornya, akan aku beri judul David merobohkan Goliath.
Setelah merasa cukup tampan dalam balutan busana kerja, aku pun segera bergegas meraih tas dan kunci motor. Tapi, sebentar. Axe, rexona, ponds... kayaknya dah semua deh. Dan ketika aku dekatkan hidung ke kerah baju, sudah tercium aroma khas axe pulse. It’s time to work, babe. Terkadang aku heran juga, beberapa semprotan axe saja bisa berpengaruh banget terhadap hariku. Pernah aku kelupaan memakainya, dan sepertinya my whole day ran so bad.

07.20
Aku mengarahkan motorku ke wonodri. Pagi itu aku ingin sarapan di warung 2 kembar. Masakannya enak, dan tempatnya lapang. Model prasmanan lagi. Waktu pertama kali dulu ke sini, dan ngebaca nama warungnya, aku hanya bisa mengelus dada. Orang kita itu emang serba males ya. Pengennya serba praktis. Namain warung saja, pake istilah 2 kembar. Begitu predictable. Pasti istrinya bapak yang punya warung kemarin hamil, trus melahirkan, dan keluar 2 bayi kembar. Lalu untuk mengabadikannya, dibikinlah jadi nama warung. Warung 2 kembar. What an Indonesian. Aku jadi inget ama wartel ibu kos. Wartelnya diberi nama wartel 2 putri. Maklum, waktu ngebuka wartel, dia baru punya 2 anak, kesemuanya cewek. Jadi wartelnya diberi nama wartel 2 putri. Dan sekarang, dia punya anak lagi, cewek juga, yang berarti sekarang ada 3 putri. Aku sempet ngebencandain dia, ’Ada yang akan selamatan ganti nama wartel baru nih. 2 putri jadi 3 putri.’ Bukannya ngeiyain atau gimana, eh malah dianya ngeplak pundakku. Kontan waktu itu aku kebat kebit. Hehe.. maklumlah. Ibu kosnya masih muda. Jadi.... begitu deh. Haha... Tapi gak tau, sampai sekarang nama 2 putri tete tidak diganti 3 putri. Mungkin si ibu ancang-ancang untuk ngebuat putri yang ke-4 kali. Jadi sekalian nunggu tuk ganti namanya. Hehe..

07.30
Setelah menghabiskan sepiring nasi dengan sayur kangkung dan setumpuk ikan teri, dan tentu saja menyeruput teh anget, aku bergegas keluar. Begitu aku memasukkan anak kunci ke tempat kunci, tiba-tiba aku merasa ada yang menarik motor dari belakang. Dan begitu aku tengokkan kepala, thara.... seorang laki-laki memakai topi, berkaos hitam sambil memakai jaket kuning, nampak menatapku. Lumayan kaget juga aku. Kalo tidak segera melihat peluit yang menggantung di lehernya, pasti aku dah berteriak karena kaget. Berpindah deh recehan 500 rupiah dari kantongku ke tangan dia. Catet, tadi adalah tukang parkir yang ke-3 dalam hari ini.

07.50
Roda motorku dengan mulus menyentuh ujung pojok tempat parkir kantorku. Setelah merapikan rambut dengan menyisir seadanya, melepas jaket hitam kebanggaan, aku melangkah gagah ke dalam kantor. Dua orang satpam yang bermarkas di samping tempat parkir melempar senyum hangat. Huh.. kadang aku berpikir, apakah senyum ini juga diberikan kepada setiap orang yang datang. Atau bukan karena segan terhadap aku saja. Akh, bodo ah. Ketika aku mengamati mereka, ternyata, ada peluit yang tergantung di pundak mereka. Aku menjadi sedikit lega setelah aku perhatikan, warna peluit itu adalah putih, bukannya kuning. Jadi paling tidak, aku bisa menghemat recehan 500 rupiah. Haha.. tapi, jangan-jangan, jatah untuk uang parkir ini telah dirapel menjadi dana yang dikurangkan dari daftar gaji yang diterima tiap bulannya? Atau.. akh, tau. Kerjaan masih banyak. Dan nanti saja aku tanyakan hal ini sama Ibu Susi, si ibu Manajer Personalia.

09.30
Bos ngomel-ngomel. Tipografi buku yang aku usulkan dibilang norak. Huh.. padahal dia saja tuh yang tidak pernah meng-up grade selera. Susah kadang bekerja dengan orang kolot. Hehe.. sori yo bos.

10.45
Hp yang aku letakkan dekat cangkir kopi bergetar. Terlalu pendek untuk sebuah panggilan. Aku tekan tombol OK, dan segera muncul tulisan, ’Nanti lunch di warung bu Kamto. Ada kabar penting. Aden’. Duh, paling mo ngobrolin masalah tambalan hati yang mulai terkoyak lagi. Basi Den.

12.00
Aden dah nongkrong di tempat parkir. Sebenarnya, kantor dah menyediakan menu makan siang di kantin sih. Gratis. Tapi bukan berarti kami benar-benar tidak bayar. Uang makan kami tiap bulan musti dipotong setengahnya untuk keperluan makan siang ini. Tapi, yang nyebelin, menunya sangat-sangat tidak variatif. Dan rasanya juga, minta ampun, sangat tidak enak. Sebenarnya kami dah protes ke personalia agar diganti catering. Tapi karena, denger-denger, pemilik katering sekarang masih ada familiy dengan big boss, usulan protes yang kami layangkan berhenti di tengah jalan.
Bener saja, Aden kembali bercerita tentang Mariana. Cewek itu benar-benar bre#####. Hihi.. ini versi Aden, lho. Masak 5 kali ditembak, 5 kali pula dia tidak mati-mati. Alias selamet terus.
Setelah menyelesaikan pembayaran, kami pun segera menghampiri motor yang terparkir di depan warung. Udara benar-benar panas. Dan ketika tanganku menyentuh jok motor, whuiihh, kayak nyentuh penggorengan ketika ngebantu nenek masak. Sesaat aku ragu-ragu untuk menaruh pantat di atas jok, tapi gimana lagi. Masak mau naik motor sambil berlari di sampingnya. Gak lucu banget ya.
Dan, god, lagi-lagi, ketika anak kunci telah masuk ke lubang kunci, seseorang berlari menghampiri. Gak usah dijelasin. Dari tatapannya saja sudah kelihatan apa yang dia mau. Males banget aku merogoh-rogoh saku untuk mencari receh 500 rupiah. Tapi tidak ketemu. Dengan menahan murka di dada, aku buka dompet. Tapi tidak juga kujumpai recehan itu. Jadi deh, aku mengulurkan lembar 5000 an. Setelah menerima uang itu, masnya langsung berlari ke dalam warung. Rupanya ia tidak punya kembalian. Jadi uang itu ditukar dulu ma mbok warung. Duh gusti, sumpah, gonduk banget aku. Gak tau apa panasnya udah gak ketulungan kayak gini. Melihatku belingsetan, Aden malah menunjukkan wajah innocentnya. Huh... awas ya, batinku menggerutu. O ya, catet, ini perjumpaanku yang keempat dengan gerombongan tukang parkir nyebelin. Bayangin coba, gak ada karcis yang disobek. Gak ada ucapan selamat siang. Apalagi, boro-boro bilang terima kasih.

16.45
Jam kantor selesai pukul 16.00. Dan sekarang, tahukah di mana aku berada? Aku di Matahari Supermarket. Ketika mandi tadi pagi, aku baru sadar ternyata sabun mandiku tinggal sebesar foto ukuran 2x2. Itu berarti alamat aku musti beli sabun baru. Kebetulan juga axe pulse kesayangan dah mo habis. Masak dah disemprotkan 5 kali, tapi baunya gak wangi-wangi. Setelah memasukkan juga cemilan kesayangan, Astor dan biskuit Togo, hihi.. mungkin karena warnanya hitam jadi dikasih nama Togo, aku bergegas ke kasir. Mbaknya lumayan cakep lho.
Seperti pada pemberhentian sebelumnya, di Supermarket ini pun aku kembali berurusan dengan parkir. Bedanya adalah, bila parkir yang tadi-tadi cuman 500, di tempat ini menjadi 1000. Bila tadi tidak ada sobekan karcis yang diterima, sekarang ada. Bila tadi parkirnya di tempat panas, sekarang di tempat yang adem (iyalah, di dalam gedung). Tapi masalah senyum dan ucapan terima kasih? Sama saja. Tetap tidak aku dapati. Huh..

17.10
Aku lagi ngadem di kamar. Komputer aku nyalain. Dan sekarang aku sedang berkompetisi ria dengannya. Aku lagi memainkan permainan lempar-lemparan antara anjing dan kucing. Aku gak tau apa judul permainannya. Yang bisa ngelempar dengan telak, dan menghabiskan nyawa musuhnya paling dulu, itulah yang menang. Pas aku baca di nama permainannya, cuman tertulis: asu mbe kucing.exe. Pastilah ini bukan nama game sebenarnya. Aku dapat game ini dari temen. Jadi mungkin oleh dia, nama game ini sudah dirubah. 3 kali sesi permainan, 2 kali kemenangan. Lumayan kan? Hehe.. gak terlalu buruk lah.
Tapi aku musti nge-pause permainan ini dulu, karena ibu kos minta dianter ke dokter. Anaknya yang paling kecil demam.

17.25
Wajah ibu kos nampak lega ketika dokter bilang bahwa ini cuman demam biasa. Gak perlu terlalu dikhawatirkan. Paling dengan diminumi obat secara teratur, akan segera sembuh, demikian bapak dokter berucap. Kami pun segera meninggalkan klinik tersebut. dr. Ismail melempar senyumnya ketika kami pamitan. Dan... God! Kenapa musti ada dia lagi. Recehan 500 rupiah kembali berpindah tangan. Senyuman dan ucapan terima kasih? Mimpi kali. Catet ya, ini parkir yang ke-5.

17.50
Aku mengarahkan motor ke apotek terdekat. Bila tadi kami periksa di dr. Ismail, berarti apotek terdekat adalah apotek yang ada di depan RS. Karyadi. Setelah menukar resep dengan segepok obat, dan tentu saja menyerahkan uang sebagai pembayaran, kami pun bergegas menghampiri motor yang terparkir dengan anggun. Bisa tebak apa yang terjadi? Hehe.. iya. Lagi-lagi terjadi transaksi senilai 500 rupiah. Dah yang keberapa? Mantap.. ini yang ke-6.

18.30
it’s dinner time. Horee... kebetulan anak-anak kos lagi gak pada ada acara malam ini. Jadi kami bisa keluar bareng-bareng. Dulu sih, waktu mae Puji, kakaknya ibu kos, masih tinggal di sini, kami gak perlu ribet-ribet tuk cari makan. Mae Puji buka warung di sini, jadi kami selalu dimanjakan dengan masakan-masakan enaknya. Tapi beberapa bulan yang lalu, mae Puji melahirkan. Jadi dia musti pulang ke desa untuk merawat anaknya. Hik..hik... jadi sedih kalo keinget mae Puji. Habis dia baek banget. Dah kayak ibu sendiri.
Kami memilih untuk makan di Warung si Boy. Buat yang belum tahu, ini adalah warung yang terletak di sepanjang jalan Kusumawardani. Bila Anda melaju dari arah Jl. Imar Barjo, akan ditemui pertigaan. Kalo kanan ke kampus Undip, dan kalo ke kiri ke jalan Kusumardani. Susuri aja terus jalan ini. Sekitar 200 meter di sebelah kiri, akan ditemui warung si Boy. Ada tulisannya gede kok di depan. Jadi gak bakal nyasar.
Aku memilih bebek goreng, Aris dah sejak berangkat jatuhin pilihan ma Gurame goreng, dan Arif sepertinya ngiler waktu ngeliat menu ayam bakar. Untuk minum, selera kita gak jauh-jauh beda, paling praktis dan menyegarkan: es teh manis. Sekadar saran untuk yang mo ke warung ini, jangan datang sendirian, karena bakal sakit ati. Kebanyakan yang datang adalah pasangan muda-mudi. Jadi bila Anda nekad sendirian, maka siap-siap untuk menggelar tahlilan esok harinya. Hehe... suicide gitu.
Makan pun selesai. Perut telah menjadi kenyang. Berarti ini saatnya pulang. Kami dengan malas beranjak dari tempat duduk. Setelah menyelesaikan pembayaran, kami segera menyerbu tempat parkir. Duh, ritual ini lagi. Aku pun mengulurkan lembar 1.000 an. ’Gak usah,’ dan masnya menarik kembali uang receh 500 yang dia ulurkan sebagai kembalian. ’Sekalian aja 2 motor,’ dengan malas aku menjelaskan ketika aura kebingunan nampak belum mau keluar dari wajah bingung masnya.
Sebelum menstarter motor, aku bilang ke Aris, ’Kita ke rental kaset dulu.’

19.20
Aku segera menghambur ke rak di ujung. Itu adalah tempat koleksi DVD terbaru. Tapi, beberapa saat kemudian hanya raut muka kecewa yang bisa aku tampilkan. Masnya yang jaga hanya bisa tertawa melihat senyum Judasku. ’Lum ada yang baru,’ serunya dari balik tumpukan VCD yang baru dikembalikan. Yach, alamat garing deh malam ini, runtukku dalam hati. Setelah berba bi bu bentar, aku pun segera cabut. Aku melihat jam, 19.40, berarti rental Erlangga masih buka. Asyik, ke sana akh.
Aku kena parkir lagi deh. Tapi, yang agak bikin adem di rental ini adalah, mas yang jaga parkir berbaik hati ikut ngedorong motor keluar dari kerumunan. Tapi, itu tetep juga gak ngebantu banyak sebenarnya. Recehan 500 rupiah tetap berpindah tangan. Aris dan Arif, yang menungguiku di seberang jalan, hanya bisa nyengir ketika aku merogoh-rogoh kantong mencari recehan. Dasar, kenapa juga tadi aku tidak menitipkan motor kepada mereka.

19.50
Aku nyampe di rental Erlangga. Seperti biasa, mas Maheri menyambutku dengan sapaan khasnya. Seperti biasa juga, ia nampak sibuk mengedit video. Dan tanpa ngelihat pun aku bisa tau video apa yang sedang dia edit. Pasti video resepsi pernikahan. Tapi iseng juga aku ngelongok ke monitor untuk mastikan. Dan, hehe.. bener kan. Arif menatapku heran ketika aku cengengesan tanpa sebab. Bodo ah, batinku.
Aku pun segera menuju ke rak yang terletak dekat tumpukan majalah-majalah komputer. Mas Maheri memang menaruh koleksi VCD terbaru di sana. Di rental ini, kita tidak bisa mendapatkan koleksi DVD. Karena memang tidak disediakan. Berturut-turut aku baca judul-judul film dalam rak koleksi terbaru: American Pie 5: Naked Mile, Shopgirl, Me, You, Dupre, The Fast and Furious: Tokyo Drift, Just my Luck, ... Busyet, gak ada yang baru, umpatku dalam hati. Koleksi terbaru tapi kok gak ada yang baru ya. Hehe.. aku jadi ketawa sendiri waktu keinget bahwa aku dah nonton mereka semua di DVD. Jadi pantes saja, begitu versi VCD-nya keluar, film-film itu gak lagi baru. Setidaknya bagi mereka yang sudah nonton DVD-nya.
Akhirnya aku keluar dari rental itu. Tidak jadi minjem film. Tapi malah minjem majalah komputer. Ada artikel tentang blog yang aku suka. Jadi lumayanlah. Setidaknya bisa buat bekal ilmu tuk bikin blog nantinya.
Dan satu lagi yang aku suka dari rental ini, parkir disini tidak dikenakan biaya. Alias gratis. Itu pun masih ditambah dengan adanya kamera CCTV yang memantau kondisi tempat parkir. Tapi, sepertinya, sudah beberapa minggu ini, aku tidak lagi melihat tampilan tayangan CCTV itu. Mungkin saja sudah dijual itu barang.

20.30
Sebagai bonus karena telah menemaniku berkeliling, Arif minta dibelikan gorengan. Lagian aku juga paling suka ma pisang goreng, jadi gak papa deh. Kami pun melaju ke jalan Veteran. Gorengan yang berada di samping jalan Lempongsari, paling tidak, termasuk dalam list gorengan yang aku suka. Apalagi kalo masih dalam keadaan hangat. Wuih.. sedep banget tu gorengan. Kami beli agak banyak malam itu. ’Untuk nemenin Tukul tertawa,’ kata Arif cengengesan.
Untuk kegiatan yang berdurasi kurang dari 5 menit ini pun, aku harus kembali mengeluarkan 500 rupiah. Bila untuk 2 motor, berarti 1000 rupiah. Aroma mangkel kembali naek ke ubun-ubun. Dan mangkel itu sepertinya mau melompat keluar, ketika mas tukang parkir tidak melakukan apa-apa ketika kami kesulitan menyeberang. Apa kerjaan tukang parkir hanya menadahkan tangan untuk recehan 500? Tidakkah mereka juga wajib untuk membantu kenyamanan motor dan orang yang parkir? Aku jadi inget ketika Kasdud, temenku yang hobi basket bilang bahwa satu bunyi peluit tukang parkir tu lebih mahal dari pelatih basket dimana pun. Aku pikir benar juga ya. Satu kali meniup peluit, mas tukang parkir dapat 500 rupiah. Kalo 2 tiupan berarti 1000. Tiga berarti 1500, empat sama dengan 2000. Lha kalo sehari bisa meniup peluit sebanyak 500 kali, berarti 500 x 500, sama dengan 250.000 ribu. Wuih, gila. Gede amat ya.


23.45.
Suara Andrea masih saja mendayu membelai telinga. Majalah yang tadi aku pinjem dari rental Erlangga terkulai lemah di samping bantalku. Ada beberapa artikel yang menarik sih, tapi mata ini sepertinya dah terlalu lelah untuk terus membaca. Aku bersiap menarik selimut ketika Basuki, teman sebelah kamar, masuk ke kamarku.
’Pak Gie, laper nih. Ke kucingan pak Gie yuk.’ Meski aku baru 27, tapi oleh teman-teman kos aku dipanggil dengan sebutan pak. Mungkin karena wibawa yang terpancar keluar ya. Hehe... Tapi mungkin karena aku pernah jadi dosen, sehingga mereka segan dan menganggap aku layak dituakan.
’Masak pak Gie makan pak Gie.’ Basuki malah menunjukan wajah memelasnya ketika aku mencadainya dengan kalimat yang dipopulerkan oleh Joshua itu. Buat yang belum tau, warung kucingan pak Gie adalah warung favorit para manusia malam. Warung ini sebenarnya tidak beda jauh dengan konsep warung kucingan yang banyak berterbaran di Semarang. Hanya bedanya, warung kucingan pak Gie, buka jam 12 malam. Dan menjual gorengan, terutama pangsit, yang masih dalam kondisi segar mengepul.
’Ayolah pak Gie. Ntar kita muter-muter di simpang lima dulu deh. Siapa tau dapat bonus mbak poci cantik.’ Geblek juga ni anak. Tapi, hehe.. dia benar juga kok.
’Iya deh, bentar. Aku tak pake kaos dulu.’ Aku buru-buru menutup kepala dengan bantal ketika wajah Basuki terjulur mendekat untuk menciumku. Geblek.. dan dia malah tertawa terkikih-kikih ketika aku melempar bantal lain agar dia segera keluar dari kamarku.
Aku pun mengambil kunci motor, dompet, dan tak lupa memakai jaket hitam Versace kebanggaanku. Dan ups, sebentar. Aku membuka kotak bekas tempat jam yang sekarang aku gunakan untuk menyimpan recehan. Sebentar kemudian, aku telah menyelipkan recehan 500 ke dalam kantongku.

Thursday, January 11, 2007

kalengbiru

nama yang aneh. mungkin. tapi bagiku, itu terdengar mengalun begitu indah.