Saturday, March 15, 2008

Bait-Bait Cinta

Photobucket

Ketika semakin tua, kita sepertinya semakin lambat untuk menangkap waktu. Kita tak lagi segesit dulu untuk bisa menangkap dan mengurungnya. Saat tangan kita baru mengapai, sang waktu telah terbang melesat. Waktu ibarat burung yang gesit menghindar ketika tangan kita bergerak menggapai untuk mengurungnya. Waktu terasa berjalan begitu cepat.
Kita menginginkan waktu diam. Terkurung dalam sangkarnya. Sehingga kita masih punya kesempatan untuk mencecap aroma teratai yang berhembus lewat percikan telaga. Masih terjaga kekuatan dan ketampanan kita. Dan masih ada kesempatan untuk menghafal lekuk tubuh dia. Menikmati setiap kehidupan yang tumbuh ketika kasih orang yang kita cintai meneteskan embun pemuas dahaga jiwa.
Tapi rupanya kita sudah terlalu lambat untuk menangkap sang waktu.

Pun demikianlah… burung waktu tetap beterbangan riang hingga tak terasa, sudah tiga tahun aku mengenal dia. Sosok anggun yang karenanya keperjakaan ini aku jaga. Lima tahun melesat begitu cepat. Secepat busur Arjuna yang merajam tubuh Bisma. Sepertinya baru saja kemarin Dewi Ratih mengejangkan perutnya, mendorong sesosok bidadari yang karenanya kecantikannya angin berhenti bertiup, air sungai berhenti mengalir, burung berhenti berkicau, dan panah serta gada Pandawa berhenti menghancurkan dada.

Burung waktu, rupanya, terbang dan tetap terbang semakin tinggi. Bergerak semakin menjauhi tempat pertama kali ia menghentakkan kaki.

Aku masih saja menyimpan getaran rasa ketika pertama kali dunia menghadirkan dia di depanku. Pertemuan yang begitu tiba-tiba. Tanpa rencana. Tanpa banyak kata-kata.

“Rama.”
“Sinta.”

Hanya itu. Tak lebih.
Tapi, saat itu, aku tahu, bahwa panah itu telah tertancap di sana. Buddy, I’m in love. Greattt. Hati ini bisa robek juga. Sesaat tak percaya, tapi darah cinta telah mengucur membasahi jiwaku. Apakah telah tiba saat untuk merogoh jiwa dan menyerahkannya pada sang dewi Sinta. Cinta-ku.

Dia begitu luar biasa. Kecantikan dia berpejar meremas hati. Ketika dia tersenyum, beribu-ribu malaikat seolah meletupkan cairan hangat menggenangi bumi. Senyum yang tersulam demikian teduh. Indah. Udara akan membeku ketika senyum itu terkulum menghangati dunia. Seolah tertambat oleh tali suci, burung-burung terpatri kaku di langit-langit nirwana. Wajah-wajah garang prajurit peminta nyawa luruh menjadi sosok manja rengek bocah yang terdiam menetek susu ibunya.
Beribu kunang seolah menyepuh kulitnya, membungkusnya dalam tabir pancaran cahaya suci. Melindungi halus kulitnya dari percikan noda. Cahaya kulitnya menerabat keluar. Menyusup ke dalam relung setiap hati manusia. Menawarkan sebentuk kehangatan. Sebuah perlindungan. Sebuah keteduhan. Sesosok tangan mungil yang akan mengangkat siapapun yang sedang jatuh, mengusap air mata yang sedang menangis, dan tanpa lelah mengabarkan kepada dunia, bahwa selalu ada pancaran kehangatan dalam dunia.

Rambutnya yang sebahu tergerai seperti ayunan yang akan melemparkan kita ke dalam elok taman penuh wangi bunga. Taman yang pekat dengan keindahan, dimana mengalun suara-suara anak kecil bermain, sesosok wanita tua tampak lekang menatap foto tampan anaknya, sepasang kekasih yang sedang berciuman, dan lebah yang tak bisa terbang karena bibir bunga erat menghisap bibir dia.

Tak ada cela dalam penciptaan dia. Dunia seolah memamerkan kehebatannya. Sebuah mahakarya yang karenanya damai dan indah dunia tetap bisa tercecap, terjaga, dan terus mengalir membasahi sungai kehidupan. Sungguh sebuah kesempurnaan penciptaan.

Aku hanya bisa terdiam ketika itu. Membiarkan keindahan itu meletupkan dirinya dan kemudian berpedar meninggalkanku. Aku hanya mengumpati diri sendiri ketika menyadari dia tak lagi berada di depanku.

“Sinta.” Suara lirihku bergetar. Dan ketika mata ini sanggup kembali melihat sekelilingku, angin telah menerbangkan bidadari itu pergi.
Siapa dia. Pertanyaan itu pun menyandera prajurit pengontrol pikiranku. Membuatku tak bisa berpikir lain selain keinginan untuk bertemu dan terus merasai kembali keindahan itu.

Tahukah kamu, siapa sejatinya Sinta yang karenanya aku rela menyeberang samudera, berperang mengalahkan kesaktian Dasamuka. Duduklah sebentar. Cobalah untuk tersenyum. Hanya tersenyum. Sebuah senyuman yang tulus. Tanpa dibuat-buat.
Atau cobalah untuk sekedar mengamati kulit kamu. Berdiamlah di tempat yang gelap. Tanpa cahaya.

Apa yang kamu lihat dan kamu rasakan, dewi Sinta-ku?

Dunia rupanya mengutus engkau untuk menghancurkan kesombonganku. Menumbangkan ketampanan yang selama ini tak tersentuh oleh sebuah makhluk pun. Ketika bersamamu, damai itu aku rasakan. Aku tak keberatan untuk melepaskan semua kedirianku, berlari telanjang ke dalam pelukan kamu. Hanya dengan membawa sebuah hati. Sebuah niat yang suci.
Sosok angkuh ini tak lagi malu untuk menjongkokkan diri. Mengakui bahwa sekelebat panah tak lagi mampu ia pentalkan menjauhi dinding jiwanya. Mengakui bahwa ia tak lagi mampu menjaga setiap jengkal jiwa dia.

Darah terus mengucur dari hati sang ksatria. Ia pun mengaduh. Meratap. Mengharap sang dewi datang. Menambal lubang dihatinya dengan sebuah rajutan cinta.

Selama lima tahun, aku berupaya menghentikan sang waktu. Menangkap dirimu agar selalu lekang dalam pikiranku. Tapi aku sadar, waktu semakin menua, dan aku tak akan lagi punya kuasa untuk terus mengejar waktu.
Untuk itulah, dewi, saat ini aku datang. Tak ada tentara atau samudera yang aku seberangi memang. Aku hanya berbekalkan satu panah mulia yang selama ini selalu ku simpan dalam setiap peperanganku. Panah yang hanya akan kucabut dari warangkanya ketika aku menemukan musuh yang sepadan. Musuh yang sanggup meneteskan darah dari jiwaku.

Sinta, busur itu aku rentangkan. Panah mulia telah terpasang di sana. Sediakan dadamu, kekasih. Darah cinta dan kesetiaan penuh membasahi panah cinta ini.

Aisha, aku sayang sama kamu. Maukah kamu menjadi kekasihku?

Monday, March 10, 2008

Apakah (bukan) ini...

Photobucket

Tiba-tiba aku jadi tak acuh dengan dia. Entahlah. Rasa yang digelontorkan sedemikian vulgar. Gejolak yang dituangkan terlalu awal. Hentakan hasrat yang dikirim secara bertubi: rupanya bukanlah sesuatu yang aku nanti.

Aku memang merindui akan hadirnya sebentuk rasa. Tapi.. bukan rasa yang seperti ini. Bukan rasa yang diucap secara liar. Bukan rasa yang dibungkus dalam sebuah letup jiwa transparan.

Aku memang ingin mencinta. Tapi aku merindukan sebuah cinta yang dibalut dalam rona sederhana. Bukan cinta yang menderu. Bukan riak yang menghantam tanpa peduli siang atau malam.

Bukanlah aku berungkali berucap: ajari aku kembali cara untuk mencinta. Tidakkah itu terucap cukup jelas? Aku tidak meminta untuk diajari hasrat yang menggelora. Atau emosi yang meletup. Atau hasrat yang terlepas dari tali kekangnya. Bukan.. bukan itu yang aku pinta.

Mungkin tak adil bila aku meminta kamu untuk mengerti. Atau setidaknya belajar untuk mengerti. Sama dengan tidak adilnya kamu untuk terus merecoki aku dengan igau rasa yang melumuri bibir dan hatimu. Aku berharap kita bisa bertaut rasa dengan tiada banyak berucap. Cukup dengan menengok hati melalui tatap mata. Atau sekadar bertukar hasrat melalui bahasa jiwa yang terkoyak. Tapi.. ah, ternyata, memang aku belum bisa terbebas dari kepungan egois jiwa.

Dan bila akhirnya aku memilih untuk menunduk, membiarkan rasa yang aku sangkakan akan menderu itu kembali menelungkup, aku tidak bisa meminta lebih lagi. Aku tak bisa memaksakan kamu memaknai sesuatu berdasarkan kemauanku. Tapi, aku juga tak kuasa untuk paksakan hatiku mengikuti deras rasa hatimu. Biarlah setelah semua keributan yang pernah tercipta itu, tercipta kehengingan yang sublim. Keheningan yang, semoga, bisa menyadarkan kita akan apa yang sebenarnya kita tunggu selama ini. Akan hadirnya sebentuk rasa. Sesosok jiwa. Sebentuk hangat keteduhan yang berujud dalam rupa manusia.

Bila memang tidak malam ini, semoga saja malam berikutnya. Dan bila saja tidak dengan aku atau kamu, semoga saja dengan dia yang ada di tikungan hidup di kelokan jalan hidup kita berikutnya.


Yakinlah.. Ketika waktunya tiba, semua akan menjadi indah.