Wednesday, September 3, 2008

Thank you

Apapun yang Tuhan berikan kepada kita, itu adalah sebuah karunia. Rembesan air mata yang mengalir ketika seseorang menyentuh hati kita dengan perbuatan kecil indahnya. Tangis yang meledak ketika apa yang kita sangkakan baik ternyata berbalik menikam. Atau sebentuk ledak bahagia ketika dunia berbaik hati mengirimkan bunga tulip basah di pagi hari. Ketika hari yang terang bergulung menjadi malam pekat yang memanjang, sejatinya, itu pun sebuah hadiah. Setidaknya, di balik lipat baju malam, kita bisa merebahkan jiwa dan raga yang lelah. Meringkuk berlindung. Mencari sebuah kehangatan. Untuk terbangun esok hari dengan senyum yang kembali cerah. Badan yang kembali segar. Dan semburat tekad untuk berbuat yang terbaik di hari itu.
Disadari atau tidak, Tuhan, dengan segala bahasa-Nya, memberi kita kejutan dan hadiah setiap detiknya.

Perlu sebuah keberanian untuk mencintai. Dan perlu lebih banyak lagi keberanian untuk membiarkan rasa itu terlihat oleh orang lain. Ada hangat haru yang mengalir ketika aku membaca deret demi deret kalimat itu. Sebuah kejujuran yang terbuka. Meski sebenarnya, kamu tidak sepenuhnya pandai berpura-pura selama ini. Tapi apapun itu, lipat lembar itu putih itu adalah salah satu hal indah yang pernah terjadi dalam hidupku.
Rindu, benci, sayang, atau apapun warna rasa warna jiwa kita, bila kita memaknainya dengan sungguh, adalah sebuah karunia. Dan, apakah pantas bila mendustai karunia tersebut dengan menyangkalnya? Dengan berpura-pura semua baik-baik saja sementara sebuah tungku rasa membakar jiwa kita dan siap meledakkannya kapan saja?
Kita tidak sepantasnya menjadi manusia yang impulsif. Meski, jujur, aku menghabiskan bilangan tahun untuk belajar menjadi manusia yang reaktif, tapi sampai sekarang belum menamatkan pembelajaran itu. Betapa susahnya membiarkan orang lain mengetahui apa yang kita rasakan. Seolah kita berpikir, ketika cairan jiwa itu meleleh keluar, ia akan membakar seisi dunia. Semua orang akan berbalik memusuhi kita. Menertawakan kita. Meski sebenarnya kita tahu, bahwa bayangan itu hanyalah perasaan yang membodohi kita.

Tak ada yang salah dengan mencinta. Sama seperti tidak ada yang salah ketikakita membiarkan rasa itu menyelinap keluar mencari pasangannya. Dan sekali lagi, aku sangat berterima kasih dan terharu mendapat kehormatan seperti itu.

Kawan, cinta dan benci bukanlah sepasang saudara yang ditakdirkan hidup berpasangan. Tidak semua yang bermula dengan cinta harus diakhiri dengan sebuah kebencian. Jika kita bisa menghadirkan damai dan tentram sebuah pertemenan, kenapa kita musti menghancurkannya atas nama kebencian. Manusia terpilih bukanlah ia yang bisa hidup bahagia tanpa persoalan. Tapi bagaimana ia mengambil jeda ketika persoalan mendera, dan kemudian merefleksikan keindahan pribadinya. Mengapa kita yang terbangun di pagi hari, lalu mendapati hangat matahari meremas kulit wajah dan tubuh kita, lalu menjadi murka hanya karena kilau sinar itu merembet menyilaukan pupil mata kita?

Meski saat ini rasa itu belum bertaut, aku tetaplah pribadi yang sama. Aku tetap orang yang menjengkelkan, yang akan selalu mengusili kamu tiap kali kamu melintas. Tak ada yang berubah dari kualitas pertemanan kita. Hangat itu tetap ada di sana. Selalu di sana.

Ada banyak cara mulia untuk menjalani kehidupan. Status hanyalah sebuah jalan. Hangat kasih dan ketulusan yang selalu ada untuk sesama, adalah bentuk syukur terbaik untuk apa yang telah Tuhan berikan kepada kita.

Sekali teman, tetaplah teman. No matter what happen.