Monday, November 17, 2008

Wanita yang begitu perkasa..

Dingin perlahan melumuri malam yang mulai menipis. Suara gemuruh makhluk-makhuk malam pun sudah mulai menepi. Jauh di ujung timur, langit nampak robek oleh semburat merah yang mulai menggantung. Senyap mulai terusik.

Aku masih terlelap. Tersudut di tengah. Nenek dan adik bungsuku setia mengapit di sebelah kiri dan kanan. Beralaskan kasur yang mulai menua, amben tua itu tetap setia memangku kami. Hampir di setiap malam, kami menggantungkan tubuh lelah di atasnya. Lalu setelah puas bercanda, bercerita, mendongeng, ato sekadar menamati lamat gerak dari tv tua di ujung meja, kami pun tertidur. Hampir selalu seperti itu setiap malam. Terkadang, karena lupa, dan terkadang karena acuh, kami biarkan lampu 15 watt itu tetap menghangati kami.

Dingin yang lama memeluk malam, meninggalkan daun-daun yang menunduk tak kuasa menahan embun. Dengan gerak yang terkesan cuek, embun-embun itu menggelosor menghantam bumi. Senyap makin terlena ketika bumi hanya melenguh menahan dingin yang datang menumpang.

Tak banyak yang kami dapatkan dari kamar ini. Selain amben tua yang mulai melepuh, kasur yang mulai berongga, kami juga punya meja di sudut ruang dan sebuah almari tanpa pintu. Bukan almari yang didesain tanpa menggunakan pintu, tapi karena pintu itu sudah tua, lalu memilih untuk pensiun dengan cara merusakkan dirinya sendiri.
Ada sebuah tv di atas meja. Tv yang dulunya, adikku beli hanya dengan uang lima belas ribu. Lalu tabungnya diambilkan dari tabung tv rusak yang dulu kami punya. Dan dengan sedikit utak-atik, cerobong tabung itu bisa berdamai dengan rangka tv tua itu. Dan beginilah, tiap malam, tiap siang, tiap kali bosan, kami bisa menyaksikan aneka tingkah lewat layar tua itu.

Tepat di sebelah meja, ada kaca yang tergantung. Kepadanyalah kami selalu menyerahkan penghakiman atas percaya diri kami. Ketika di pagi hari, ketika adik hendak berangkat sekolah, ato ketika aku bersiap kerja, kami akan tersenyum puas dan melangkah gagah ketika sang cermin berkata, ‘you’re awesome’. Dan apabila ternyata sang cermin merajuk cibir kepada kami, maka meski sudah tahu akan terlambat, kami akan setia menghabiskan beberapa menit lebih lama di depannya. Hanya untuk sekedar merayu, dengan menyisir kepala, menepuk-nepuk pipi, sambil sedikit cengar-cengir, hingga akhirnya sang cermin luluh dan berkata: ‘selamat, anda sudah cakep pagi ini.’

Di sebelah tv, di bawah kaca, tersisa sebuah ruang menganga. Dulunya kami meletakkan dispenser di sana. Hadiah waktu adikku mengikuti gerak jalan di sekolahnya. Waktu itu yang didapat seharusnya sebuah sepeda gunung. Tapi karena kesalahan prosedur panitia, atau apalah istilah yang digunakan waktu itu, kami harus rela sepeda itu diganti dengan sebuah dispenser. Toh, celutuk adikku waktu itu, antara keduanya masih ada juga hubungannya. ‘setidaknya kalo habis naik sepeda, kita kan haus. Nah, minum air dispenser bisa menghilangkan air tersebut’, analisis sang adik. Sebuah bentuk penghiburan diri yang memprihatikan.

Tidak seperti ruang lain di rumah, lantai kamar ini sudah dikeramik. Sebenarnya ini adalah kamar adikku yang nomer 2. Dia guru di salah satu sma swasta di kota kami. Waktu itu, adikku sampai bela-belain hutang koperasi hanya untuk menambalkan keramik di atas lantai tanah kamarnya. Dia hanya nyengir ketika aku tanya alasan di balik tindakannya. Sekadar tahu, dia termasuk tipe perhitungan, tak melakukan kegiatan tanpa ada keuntungan, jadi agak aneh mengetahui bahwa dia rela berinvestasi untuk sebuah lantai kamar yang gak jelas keuntungannya. Tapi ketika suatu siang dia membawa pacarnya ke rumah, kegelapan di kepalaku terusir juga. Walah, rupanya dia hanya ingin sekadar pamer. Dan tidak ingin, kaki pacarnya yang sok kota itu, terkelupas karena kerasnya tanah liat yang menghampar di sekujur rumah kami.

Fajar segera menjelang. Angin malam yang keras menampar perlahan mulai melemah. Beberapa uap air dan angin malam yang terjebak ke dalam kamar ini, sekuat tenaga mencari celah untuk melarikan diri. Sayup dari ujung kampong, terdengar suara lamat mengalun. Pastinya lek Mudi, bapak berusia 60 tahun, yang dengan segala kasih dan pengabdiannya bersuka rela menjadi pengurus mushola, telah menghidupkan tape melantunkan tilawatil qur’an. Sudah beberapa minggu ini, semenjak rapat taqmir masjid memutuskannya, sebelum adzan subuh, pasti didengarkan suara ayat suci Al Qur’an.

Beberapa warga pada awalnya meributkan kebijakan ini. Mereka pikir, kontemplasi tidur mereka akan terusik dengan lantuan ayat-ayat tadi. Bukan ayat-ayat suci Al Qur’an yang mereka ributkan, tapi suara keras yang keluar dari toa ketika matahari masih mencari kaca mata untuk melihat dunia. Tapi untunglah, perlahan semuanya mulai mereda. Kyai Madun berhasil menyakinkan warga, dalam sebuah pertemuan di mushola, bahwa pahala mendengarkan lantunan ayat suci tersebut, lebih bisa menghangatkan mereka dibanding ketakutan akan lelap tidur yang terusik.
‘Itukan juga bentuk upaya membangunkan sampeyan untuk bersiap menjalankan solat Subuh’, ucap kyai Ahmadun. Ucap kyai Ahmadun selalu lembut. Menyejukkan. Dan meski, terkadang ada yang ingin menyangkalnya, charisma teduh kyai Ahmadun selalu berhasil mengalahkannya. ‘Saya pikir, manfaat tilawatil qur’an menjelang subuh ini lebih banyak dibanding mudharatnya.’

Dan semenjak pertemuan di mushola malam itu, sampai sekarang, tidak pernah terdengar lagi rebut-ribut soal tilawatil di dini hari. Meski tidak semua berbunga hati, tapi denyut nadi kehidupan desa memang lebih terasa sejak diperdengarkan tilawatil. Banyak orang yang pada awalnya merasa terusi, perlahan berganti menjadi pengetahuan, lalu memunculkan pengertian, kesadaran, dan kerelaan untuk kemudian bersiap menunaikan solat subuh tepat pada waktunya. Subhanallah…

Dan dini hari ini, seperti dini hari kemarin, dan kemarin, dan kemarin-kemarinnya lagi, aku pun terbangunkan oleh sayup tilawatil Qur’an itu. Semoga Allah membukakan pintu hatiku, dan seperti dini hari sebelum-sebelumnya, aku pun menanggapi suara itu seperti suara lagu dari radio yang lupa aku matikan. Aku bergerak, tapi bukan untuk bangun. Aku terjaga, tapi bukan untuk berjalan ke mushola. Aku malah memilih untuk kembali mengakrabi bantalku, dan setengah menggerutu, kembali menjemput mimpi yang tadi terlantar entah kemana.

(bersambung….)

Blessing in Disguise

Sore datang dengan perlahan. Pedar siang yang menerangi bumi semakin redup tertindih senja yang bergulung-gulung turun. Segerombolan burung bangau masih enggan beranjak dari pematang tambak. Lambung mereka sebenarnya sudah menggelembung. Tapi sepertinya mereka berpikir, satu dua ekor ikan lagi akan masih sanggup berjejalan untuk bekal malam yang dingin.

Sore yang teramat demikian biasa. Sejauh mata memandang, masih nampak 2 alumunium yang dibentuk menjadi tongkat; kawan setiaku hampir 2 bulan ini, dan akan demikian selama 4 bulan ke depan. Kipas yang terus berputar tiap kali jarum aku lontarkan menjauhi angka nol. Meja cokelat separo kumal yang tergolek di tengah ruangan. Terkadang ia seperti pemuda yang kelelahan menanggungkan berbagai beban di atasnya. Ada televise kuno keluaran 80-an, dispenser yang isinya sudah hampir seminggu kosong, dan kotak cokelat bekas tempat roti yang entah sedari kapan telah aku habiskan. Sperai putih yang memeluk meja itu, sebagai pembatas punggung meja dengan benda-benda di atasnya, juga sudah lama ditinggalkan oleh keputihannya. Rice cooker yang tergolek di bawah meja pun masih setia dengan kerlip lampu indicator berwarna kuningnya. Tempat yang bisa menanak nasi itu aku beli pada bulan Ramadhan yang lalu. Sahur yang berlangsung di penghujung malam, dan dingin yang terkadang tidak bisa membuat manusia bangun seperti yang diinginkan, membuat nenek merasa benda ajaib ini akan banyak membantu.

‘Seandainya terlambat bangun, paling tidak kita hanya cukup membuat lauk saja. Kan nasih sudah ada di mejik jer itu,’ demikian argumentasi hebat nenek. Perempuan tua itu memang luar biasa. Ia lebih dari seorang nenek. Dedikasi dan kesabarannya terentang luas melebihi samudra dunia. Semoga Allah memberi aku kesempatan untuk membahagiakan beliau.

Meja belajar berpelitur itu juga setia di samping tempat tidurku. Meja itu adalah kenangan dari almarhum ayah. Waktu itu aku masih berseragam putih abu. Ketika melihat televise, aku melihat bahwa gaya belajar lesehan di lantai sepertinya demikian nyaman. Dan setelah berbincang dengan lek Maman, tukang kayu handal di kampungku, ayah menghadiahi aku meja belajar itu. Sebagai balasannya, aku selalu berperingkat 1 di kelasku. Apabila seorang anak gadis, tentunya meja belajar itu telah tumbuh dewasa. Dan sekarang, meja belajar itu aku gunakan untuk menaruh laptop kesayanganku. Cangkir besar tempat kopi dan kaleng cemilan juga selalu menenami meja itu. Sungguh sebuah perkawanan yang indah.

Dan tak jauh dari tubuhku sekarang, di ujung tempat tidur, terdiam dengan anggun tas hitam kesayanganku, Eiger. Aku selalu senang memandangi tas itu. Bahkan ketika aku tidak ada urusan dengannya, aku pun menyempatkan diri untuk menatapnya. Bentuknya yang indah, dengan sandaran empuk di belakangnya, membuatku selalu rindu untuk menyandangnya. Sebelum kecelakaan itu, ia selalu menemaniku kemana aku pergi. Ketika tergoncang di kereta sewaktu ke Bandung; ketika meliuk di atas sepeda motor dalam perjalanan ke Klaten, atau sewaktu melepas penat dengan mengunjungi Gedong Songo. Dan sekarang, ketika aku tidak bisa kemana-mana, tas Eiger hitam itu pun masih selalu bersamaku.

Waktu memang demikian cepat melesat. Kepakannya yang terentang konstan, berjalan berputar seperti roda pedati yang tiada pernah berhenti. Dan lagi, ketika mataku terantuk pada tongkat alumunium itu, kembali aku menghela nafas. Ada bintik rasa tidak berterima menyusup licik ke dalam hatiku. Mengapa diantara sekian banyak orang, diantara sekian banyak kecelakaan, harus aku yang dipilih untuk menanggungkan ini. Mengapa kakiku yang harus bersinggungan dengan truk itu. Mengapa juga kantuk musti datang menyerang di pagi buta itu. Dan mengapa juga aku musti kurang tidur di malam-malam sebelumnya hingga akhirnya melahirkan peristiwa di pagi itu.

Hidup memang aneh. Atau gila, barangkali. Loncatan-loncatan nasib yang dibungkus takdir kerap mengepung tanpa sebuah pola yang konstan. Mereka hadir seperti anomaly yang, pada suatu saat, ketika kita masih punya semangat untuk percaya, akan membentuk sebuah rangkaian cerita indah. Seorang teman pernah bilang bahwa: all you need is to believe that everthing happens for good reason. Tapi, darimana sudut keindahan itu terlihat ketika kaki ini terenggut patah. Bagaimana dunia akan mewartakan keindahannya ketika hari-hari belakangan ini hanya dihabiskan menemani kamar dan kasur ini.

Saat seperti ini, mendengar derap langkah nenek, mengamati kerut tua makin mengakrabinya, dan mendengar setiap derail cerita yang tertata rapi dari ingatan tuanya, adalah rembesan hujan yang masih mengalir di tengah keringnya hati. Dan sesekali, melihat adik kecilku tumbuh, melihatnya menata seragam sekolah di pagi hari, adalah sebentuk hadiah dari terengguhnya pijakan kaki kiri.

… untuk melihat itu semua, ternyata, semesta harus mematahkan kaki kiriku telebih dulu. Untuk membuatku memperlambat gerak. Untuk membuatku lebih lama mengeja arti dan makna hidup ini.

Friday, November 14, 2008

Buku Sekolah Elektronik: Disayang atau Ditendang?

Sekitar Desember 2007, angin segar berhembus dari gedung Depdiknas Pusat. Persoalan mahalnya buku pendidikan, satu diantara sekian masalah yang melingkar dunia pendidikan Indonesia, ‘seolah’ telah berhasil diputuskan. Pihak Diknas akan membeli hak cipta buku dari penerbit dan penulis, lalu memajang buku tersebut di internet. Untuk memudahkan pengkodean, proyek ambisius inipun diberi nama Buku Sekolah Elektronik (BSE). Dalam logika sederhana, demikian yang dianut para petinggi Diknas, buku-buku yang open source tersebut bisa diunduh oleh siapa saja. Hasil ajaibnya, semua orang pada akhirnya akan dapat memiliki buku sekolah tanpa harus membayar. Tuntutan buku gratis yang terus didengungkan masyarakat, masih dalam bayangan petinggi Diknas, akan terselesaikan. Tapi ternyata, dan demikianlah selalu, realitas tidaklah semulus dan secantik bayangan.

Langkah awal dari proyek ini dimulai pada Mei 2006. Pusat Perbukuan bergandengan tangan dengan BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) getol menyatroni kota-kota di Indonesia untuk memberikan sosialisasi penilaian buku ajar. Diknas tidak menghendaki buku-buku yang dipajang di etalase situsnya adalah buku yang tergolong rubbish, oleh sebab itu sekumpulan instrument dan standar minimal kelayakan buku pun disusun. Hasilnya, melalui kerja marathon yang, mungkin, melelahkan dan menyenangkan, pada tahun anggaran 2008, Diknas telah membeli hak cipta buku pelajaran sejumlah 250 buku. Dan rencananya, pada tahun anggaran 2009, diknas akan membeli lagi hak cipta sebanyak 300 buku.

Setelah buku-buku open source berhasil dikumpulkan, langkah berikutnya adalah mempersiapkan rak untuk memajang buku tersebut. Dan setelah tertunda dan tertunda, akhirnya pada tanggal 20 Agustus 2008, situs Buku Elektronik Sekolah (BSE) secara resmi diluncurkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Buku gratis telah ada. Rak pajangan telah dibuat dan ditata dengan manis. Selesai sudahkah persoalan seputar kemahalan buku pelajaran? Tidak. Justru, di sinilah masalah sebenarnya mulai bermunculan. Masalah yang sepertinya di luar perkiraan para think thank kebijakan BSE. Pertama, sosialisasi BSE yang sangat terkesan jauh api dari panggang. Meski sudah secara resmi diluncurkan, banyak pelaku pendidikan di negeri ini rupanya belum ngeh dengan keberadaan BSE. Kita tidak usah jauh-jauh menanyakan ke pedalaman Sumatera atau daerah pinggiran utara Pulau Jawa, banyak kepala sekolah bonafide di kota besar yang ironisnya tidak mengetahui adanya BSE. Logika sederhana, jika sekolah elite di kota besar saja tidak tahu, apalagi sekolah nun jauh di pelosok pedalaman sana. Dan apabila para pengguna saja tidak tahu, bagaimana program ini dapat terlaksana dengan sukses?
Dalam hal ini, akan sangat bijaksana apabila Diknas menggerakkan unit-unit dinas yang ada di daerah untuk mengintensifkan sosialisasi. Keberadaan Widyaiswara dan instansi terkait lain semestinya juga dioptimalkan untuk mengkomunikasikan apa dan bagaimana BSE.

Kedua, dan ini yang ironis, proses pengunduhan buku-buku di situs BSE ternyata sama sekali tidak mudah. Dengan koneksi Internet berkecepatan 250 MB pun, untuk download 1 judul buku diperlukan waktu lebih dari 3 jam. Lalu bagaimana jika didownload dengan sambungan dial up? Di situs BSE sendiri sebenarnya sudah tersedia layanan baca online. Tampilannya juga cukup manis karena menggunakan animasi flash pageflip. Tapi ya itu tadi, proses membacanya juga memakan waktu yang relative lama. Lalu buat apa anggaran sebesar milyaran rupiah digelontorkan untuk mendesain dan mempercantik situs pajangan jika untuk memetiknya saja diperlukan upaya yang sangat ekstra?
Beruntunglah banyak hati mulia di kalangan netter, hingga akhirnya banyak bermunculan server minor yang menawarkan bantuan mendowload file BSE dengan ukuran yang telah diperkecil tapi dengan kualitas yang relative sama.

Ketiga, terminology GRATIS. Masyarakat yang telah mendengar proyek BSE, sangat berharap banyak pada buku yang disebut gratis ini. Bayangan mengeluarkan uang sekian ratus ribu setahun untuk membeli buku ajar sontak sirna dengan janji buku gratis. Tapi lagi-lagi, buku gratis rupanya masih tertahan di angkasa. Untuk menghadirkan buku yang disebut gratis itu ada di hadapan, ternyata diperlukan pertolongan rupiah. Masyarakat musti membayar untuk bisa konek internet, masyarakat juga musti membeli computer atau laptop untuk dapat membaca buku yang, semoga, berhasil diunduh tersebut. Dan karena computer dan laptop masih tergolong langka, file tersebut paling mungkin adalah digandakan dengan dicetak atau difoto kopi. Beberapa guru di sekolah bahkan harus berkeliling ke berbagai penerbit untuk mencari harga cetak yang tidak melebihi harga jual maksimal yang ditetapkan Menteri. Untuk memfoto kopi juga sangat mahal. Bahkan jauh di atas harga maksimal yang ditentukan oleh Diknas. Pertanyaan sederhana adalah, lalu dimana gratisnya?

Keempat, para petinggi Diknas sepertinya lupa bahwa tidak semua daerah dan sekolah di Indonesia sudah tersedia jaringan internet. Logikanya adalah, buat apa disediain makanan berharga mahal, apabila kita tidak berdaya untuk memasukkan ke mulut kita? Yang terjadi justru ironi dan sakit hati. Indonesia adalah Negara yang besar. Kebesarannya juga ditunjukkan dengan cakupan wilayah yang terbentang maha dari Sabang sampai Merauke. Tingkat pembangunan yang tidak merata mengakibatkan infrastruktur yang tersebar di seantero penjuru negeri juga tidak sama. Bagi banyak daerah pedalaman, internet merupakan barang asing yang mendengarnya saja mungkin belum pernah.
Diknas pun kemudian menjadi bulan-bulanan para netter. Ketidakpekaan dan ketidakpedulian pada tidak meratanya infrastruktur pendidikan ini juga membuka aib bobroknya birokrasi selama ini. Dan menyadari pihaknya dalam posisi diserang, Menteri Pendidikan pun memilik bersikap offensive. Entah mendapat bisikan dari mana, dalam pernyataan terbarunya (Kompas, ….) Mendiknas menyebut bahwa kebijakan BSE bukan ditujukan kepada masyarakat, tetapi kepada perusahaan. Logika yang dipakai, dengan harga jual yang telah ditentukan, BSE memang boleh digandakan dan dijual oleh siapa saja asal harga tidak melebihi batas yang telah ditetapkan, maka harga buku yang beredar tidak akan terlalu mahal. Tapi benarkah demikian?

Akan sangat bijaksana apabila pengadaan BSE ini dilakukan subsidi silang. Sekolah dengan kondisi keuangan baik, infrastruktur lengkap, dapat mengadakan BSE dengan cara mereka sendiri. Sementara untuk daerah yang kondisi sekolahnya masih mengenaskan, masalah BSE ini dapat ditangani oleh Dinas Pendidikan Kabupaten setempat. Dengan dana BOS yang masih dikucurkan, Dinas Kabupaten dapat bekerja sama dengan percetakan daerah atau percetakan swasta untuk mencetak buku dalam kisaran harga yang telah ditetapkan. Biaya yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten tentunya akan sangat jauh di bawah biaya yang dulu dikeluarkan untuk mengadakan buku secara langsung dari penerbit.

Kelima, nasib dunia kepenulisan buku pelajaran Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum, selama ini banyak guru sekolah yang juga berprofesi sebagai penulis buku ajar. Di samping dapat meningkatkan ilmu, memperoleh kredit poin untuk kenaikan pangkat, guru yang juga penulis tersebut juga mendapatkan royalty. Dan sekarang, dengan hak cipta bukunya dibeli untuk waktu 15 tahun, apakah para penulis tersebut juga harus berhenti berkarya? Laju ilmu pengetahuan dan dunia yang berderap cepat, apakah mungkin dapat dijelaskan oleh buku yang selama 15 tahun tidak pernah mengalami proses revisi? Kira-kira bagaimana cermin generasi penerus bangsa nanti apabila literature yang menemani mereka belajar hanya berisi kumpulan-kumpulan data dan fakta yang sudah tidak otentik lagi?
Dengan brainstorming buku gratis yang selalu didengungkan, tentu saja masyarakat akan malas untuk mencari buku pendamping pelajaran. Akibatnya, Karena tidak ada bacaan pembanding, maka fakta-fakta kuno itupun akan terus berloncatan di kelas-kelas sekolah putra-putri Indonesia.

Untuk mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan kondisi dunia yang terus berubah, akan sangat bijaksana apabila pemerintah juga mulai memikirkan keberadaan buku pendamping buku-buku BSE. Sejujurnya, upaya ke arah ini sudah dimulai dengan pengadaan buku untuk perpustakaan yang dibiayai oleh Dana Alokasi Khusus (DAK). Tapi, melihat buku-buku yang beredar untuk DAK, penulis jadi miris apakah kualitas perpustakaan sekolah dapat meningkat. Banyak buku untuk DAK yang disusun dengan semangat Bandung Bodowongso hingga akibatnya kualitas dari buku tersebut sangat dipertanyakan.

Keenam, ketidaksesuaian buku yang dipakai guru dengan buku yang dipunyai siswa. Dengan semangat pluralisme, buku-buku yang ada di etalase BSE terdiri dari berbagai macam. Untuk satu bidang studi dalam 1 tingkat pendidikan bisa terdapat lebih dari 4 judul buku. PKn SD tingkat 1 misalnya. Ada sekitar 5 judul buku dengan pengarang yang berbeda. Masalah yang timbul adalah, seringkali pihak sekolah menggunakan buku karangan penulis A, sementara orang tua murid telah dengan sukses mendownload buku karangan penulis B. buku yang telah diprint dan dijilid manis itu pun akhirnya tidak terpakai karena sang murid dipaksa menggunakan buku yang sama dengan buku yang dipakai guru. Kita tidak bisa menyalahkan guru karena memang kebijakan ini dilematis. Dibebaskan mengunduh dan mencetak sendiri, masih sangat tidak mungkin. Dipakai cara kolektif agar ongkos cetak bisa diakali, ada satu dua orang tua murid yang telah memberi buku BSE berbeda pada anaknya.

Akan sangat baik apabila pihak sekolah atau guru tidak memaksakan siswa untuk menggunakan jenis buku tertentu. Apabila sekolah tersebut sudah menyedikan buku gratis BSE melalui dana BOS, misalnya, biarkan saja siswa memiliki buku BSE jenis yang lain. Keragaman literature yang dipakai justru akan memperkaya dan memperindah proses pembelajaran. Toh semua buku BSE sudah distandardisasi dan sesuai dengan indicator kelulusan yang nanti dipakai dalam ujian nasional.

Ketujuh, ini yang emosional, nasib industri penerbit buku pelajaran Indonesia. Dengan buku yang telah dibeli hak ciptanya selama 15 tahun, logikanya, perusahaan tidak akan melakukan proses produksi buku selama kurun waktu tersebut. Karena tidak ada proses produksi, lalu darimana perusahaan memperoleh pemasukan untuk menghidupi karyawannya. Seorang pemilik perusahaan penerbitan bahkan sampai stress memikirkan hal ini. Meski setelah berminggu-minggu semedi, akhirnya ia harus tetap merumahkan para karyawannya. Data IKAPI menunjukkan hingga tahun 2007 terdapat 400 penerbit buku pelajaran di Indonesia. Kalau setiap penerbit terpaksa merumahkan 50 karyawannya, berarti ada sekitar 20.000 pengangguran baru. Berapa anak yang terancam kelaparan, anak yang putus sekolah, rumah tangga berantakan, dan rencana pernikahan yang terbatalkan karenanya?

Menghadirkan buku gratis untuk memenuhi hajat pendidikan orang banyak merupakan sebuah cita-cita yang mulia. Tapi kemuliaan pada tataran niat ini akan hanya menjadi dinding yang penuh dengan lumuran dosa apabila dalam mencapainya lebih banyak mudhorot daripada manfaatnya.
Penilaian buku ajar 2009 sudah diambang mata. Usia pemerintahan SBY-JK pun tinggal menyisakan 1 tahun lagi. Dengan 1 tahun pengalaman BSE, dan dengan itikad baik untuk mewujudkan pendidikan gratis bagi semua, tentunya masih banyak perbaikan yang bisa dilakukan pada tahun anggaran 2009. kebijakan BSE musti tetap diteruskan. Dan dengan segala potensi dan kemampuan kita, mari bersama-sama menyumbang pikiran untuk menutup lubang-lubang persoalan yang terurai tadi. Mari berikan yang terbaik untuk para penerus negeri.


Sugiarno
Praktisi dan pengamat perbukuan, tinggal di Semarang

Wednesday, November 12, 2008

Absurditas Nama

Amboy… Anda harus lihat apa yang saya saksikan pagi ini. Seorang artis cantik. Dengan rambut berombak. Kaki disilangkan. Dan tentu saja, pakaian yang dibiarkan terbuka di bagian paha dan lengan. Dengan sesekali tangannya meraih rambut yang berjuntaian di dahi, ia menjawab manja mengapa ia musti berganti nama. Di sela-sela ucapannya, tentu saja tawa renyah tersaji keluar.

Sebelum hari ini, namanya adalah Angel Elga. Dan semenjak hari ini, atau dalam penurutannya kemudian, semenjak ia keluarkan album, namanya secara ajaib diubah menjadi Angeliq. Asoi.. dua nama yang sama-sama indah.

Yang menakjubkan pagi itu, bukan wajah dia, lengah dia, atau paha dia, tetapi alasan kenapa dia mengubah namanya. Apakah kamu tahu, teman? Dengan bibir basah gincu, ia manis menata baris bahwa dengan ganti nama ini ia berharap bisa lepas dari identitas dirinya selama ini. Dengan kaki kiri turun dan kaki kanan ganti disilangkan, ia menambahkan, bahwa harapannya adalah semoga segala kesan buruk yang ada padanya selama ini bisa hilang seiring dengan pergantian nama ini.

Benar-benar cerdas. Pada saat itu, di layar bawah, di bagian di mana sub title biasanya muncul, aku seperti membaca sebuah terjemahan bebas: aku berikan segala dosaku pada namaku dulu. Dan dengan nama baru ini, aku terlahir sebagai pribadi baru yang masih suci. Orang akan mengenal aku sebagai sosok ranum baru. Amboy…

Anda bisa lihat, wanita itu tidak hanya cantik. Tapi dia juga revolusioner. Out of box. Dan dalam kadar yang luar biasa: benar-benar gila. Tidak waras. Ia telah menemukan sebuah cara yang luar biasa untuk lepas dari labirin dosa. Tanpa harus mempelajari formula cat dan tehnik pengecatan, ia berhasil menemukan cara untuk memoles dirinya secara instant dan mudah agar bisa hadir dengan bungkus baru.

Entah tingkat kegilaan nomer berapa yang sedang ia pamerkan. Aku benar-benar prihatin. Bisa-bisanya dosa, aib, salah, dan segala tuduhan buruk lainnya dilarung hilang hanya dengan menghapus nama.

Aku jadi kasihan pada nama. Bibir yang merengguk nikmat karena dosa. Mata yang meleleh bahagia karena doa. Tangan yang bergerak lincah dalam gelap dosa. Paha yang berkilau menggoda dalam temaram dosa. Ketika timbul masalah, semua meringkuk memohon kepada absurditas nama. Dan sang nama, yang ketika organ tubuh lain berpesta dalam nikmat dan bahagia hanya tergolek tak berdaya dalam pengap dompet di balik saku celana, harus menanggungkan akibat semua dosa.

Dengan kaki masih disilangkan, bibir yang tiada jua mengering, sang artis masih saja menyibakkan rambutnya. Entah kapan ia akan kembali muncul di program serupa, dan tentu saja, dengan nama yang kembali berbeda.

… ternyata, dosa bisa diselesaikan hanya dengan ganti nama.