Tuesday, February 10, 2009

Lost in Highway

Tak lekang tubuh ini aku jelang. Aku renggut ia tercampak. Aku hardik ia melontar teramat jauh. Kuseret ia seperti kawanan domba akan dijadikan saji tumbal pesugihan. Aku rajam raga ini dengan kerikil bebatuan jalanan. Tertatih ia terus aku larung. Meski terkadang ia meraung, tapi seringnya, ia diam dalam sebuah tatap tiada kuasa diterjemahkan. Sebuah mata yang berbinar. Tapi tidak mengabarkan apapun.

Kakiku melambai seperti setan mendapat sesaji. Ia berderap membumbung. Melentingkan raga meletup memecah keheningan jiwa. Lagi-lagi, kucur darah dari kulit terkoyak, tak jua kuasa merumuskan nyala mulut yang terbuka menganga. Tak ada deres kata terlontar untuk diterjemahkan. Tak jua tetes huruf yang dapat melahirkan tanda membaca situasi zaman. Mulut ia hanya membuka. Seperti bersekongkol dengan mata, ia hanya terantum membuka. Bergerak. Tetapi tiada ucap terdengar oleh semesta rasa.

Aku kesetanan. Aku merasa dipermainkan. Kalau mata dan mulut tak lagi berucap kepadaku, untuk apa aku musti menambal kucuran darah dari deret lukanya. Biar aku rajam sekalian. Akan kusiram kelopak itu dengan guyur bensin saja. Lalu aku taburkan percik api untuk merepihkannya selamanya. Lalu aku hunus belati yang terselip rapi di balik lipat pagar bambu. Ku geres dua lopak daging memanjang bersebut mulut tersebut. Seperti mata yang telah melepuh, biar aku koyak juga mulut tak berguna itu.

Mereka semua berkhianat. Layak untuk dilenyapkan. Disiksa. Dilarung tanpa persembahan sebuah kata atau ucap doa.

Tanpa mata dan mulut yang telah terajam musnah, tak jua aku temui raga yang menyebutkan manusia seutuhnya. Kaki ini tetap saja terseret tanpa arah dituju. Tangan ini masih saja meracau. Memetik apa yang nampak. Meninju apa yang menyembul. Meremas apa yang terlarang. Kaki ini tak jua berhenti berkelana. Dan perut ini, tetap menimbul kotoran-kotoran lalat dan belatung-belatung yang muncul dari bangkai tikus yang mati tergencet meja kursi besi.

Kala tubuh tak lagi lekang oleh rasa. Saat rasa tak lagi kuasa mengecap nikmat rasa. Tubuh ini tetap mematuhi kutuk kaki membawanya berkelana. Setelah larit jalan yang berpedar hanya dalam balut kelambu hitam, entah kemana lagi durjana-durjana itu akan membawa jiwa ini berkelana.

Dari sini, aku hanya dapat melihat. Saat pintu neraka mulai berarak mendekat. Di balik kelambu putih itu, betapa pintu surga, makin terlihat menjauh saja.

Sunday, February 8, 2009

It's Over

setelah keheningan yang melumat
di sudut gelap sebuah gedung
ia menaikkan kerah bajunya
mengusir dingin yang merambat tengkuknya

ia lipat lembar lusuh surat itu
sebelum kemudian merogoh saku
mengeluarkan pena yang mulai menua

: kau lupakan wajahku, dan aku lupakan wajahmu

sebutir daun beterbang menjatuh
berkerumun dengan kumpulan daun yang telah menghampar

lelaki itu beranjak
membawa tubuhnya menjauh
membekap sesosok tubuh
menghilang

De Javu

Tak cukup lama kita bersitatap. Mungkin, sekitar 6 jam. Aku tahu selama itu karena kita menghabiskan 2 voucher. Dalam malam yang mendekati puncak, kita pun tidak sepenuhnya bercakap. Hanya deret kata yang datang dan pergi menyapa lewat layar monitor. Meski kita duduk berhadap. Tapi, ah, entah mengapa, rasanya lebih asyik bila percakapan itu kita lakukan lewat lompatan huruf.

Aku terkesan dengan keramahan kamu. Sebuah kesan yang kemudian mengental, mengantung di sudut jiwa. Memantul-mantul menabrak ketenangan batinku. Dengan seyum yang manis, kamu tawarkan bantuan membantu menancapkan stop kontak. Tidak terlalu istimewa, memang. Tapi keramahan itu, begitu mengusik jiwaku. Hingga kemudian, dengan beberapa tatap, aku sering mencuri pandang ke arahmu. Ah, betapa kebaikan selalu menghadirkan kesan yang demikian menawan.

Lalu demikianlah, selalu tercipta keberanian begitu keindahan telah memanggil. Aku pun kemudian mendapatkan alamat YM kamu. Walau sungguh, sampai sekarang, aku belum tahu darimana aku dapat keberanian itu. Absolutely, it’s not me, not my style. Sampai sekarang, aku masih mempercayai, bahwa aku penganut mahzab slow but sure. Aku bukanlah tipe offensive. Tapi, entahlah. Malam itu, ketika keheningan semakin menyembul seiring pengunjung yang menipis, aku seperti kesebelasan Barcelona yang demikian elegan memamerkan formasi 4-3-3. Eextremely offensive.

Mendadak, aku merasa demikian dekat dengan kamu. Beberapa saat lamanya aku tidak mengetahui darimana asal muasal perasaan ini. Hingga kemudian, setelah lebih utuh mengamati gerak-gerik kamu, aku tersadarkan, kamu begitu mirip dengan orang dari masa laluku. Just like de javu. Perasaan yang dulu pernah mengental, yang kemudian mencari, sontak mengental lagi begitu mendapati kondisi yang serupa.

Betapa teramat benar kata seorang teman, kenangan masa lalu, ibarat sebuah cermin yang retak. Dan dengan segala daya, dengan segala alasan, kita selalu membuat cermin itu tampil utuh. Begitu melihat tingkah kamu, cermin yang retak itu pun tersambung utuh kembali. Ah, tidak disangka, romansa dapat menjadi demikian menggoda.

3 malam berlalu sejak saat itu..

Aku menjadi mudah merindukan bayang kamu. Wajar memang. Hingga kemudian aku tersadarkan. Aku tidaklah menyukai kamu sebagai diri kamu. Ada dia dalam perwujudan diri kamu. Biarlah aku melepas bayang dia terlebih dahulu, baru kemudian aku hadir kembali untuk meraih cinta kamu.

Apabila nanti aku tidak membalas sms kamu, tidak mengirim pulang kata-kata yang kamu kirim di YM, lebih memilih membiarkan telepon berdering seharian daripada mengangkatnya, itu bukan karena aku tidak peduli. Karena, sungguh, aku demikian peduli. Bukan juga karena aku tidak mau, betapa sungguh aku menantikannya.

Semua itu, hanya karena, aku ingin mencintai kamu sebagai diri kamu sendiri. Maukah kamu menunggu hingga aku dapat menyembuhkan diriku? Lepas dari bayang dia dan berlari sepenuhnya dalam pelukan kamu?

Maukah kamu menunggu?

Monday, February 2, 2009

get well soon, grandma?

Nenek sudah tertidur. Meski teramat aku ingin menyentuh pundaknya, memberitahunya bahwa air yang aku masak telah mendidih. Lima menit yang lalu, ia mengeluhkan kakinya yang terkulai tak berasa. Rembesan air hangat mungkin dapat mengembalikan tenaga yang mengelana, demikian pinta nenek. Aku bangun. Meninggalkan monitor, menuangkan air ke dalam panci.

Nenek tertidur menyamping. Lampin, pampers untuk orang dewasa, terlihat jelas menutup bagian bawah tubuhnya. Biarlah aku menunggu. Sudah beberapa malam ini nenek tidak bisa tidur.

Dari meja di ujung kamar, aku memandangi tubuh tua itu. Teramat ingin aku mengguncang pundaknya, membantunya bergerak, dan kemudian menyapukan air hangat ke segala kulit riputnya.

10 menit, selalu seperti itu, pasti ia akan terbangun. Saat itu sajalah nanti, aku bilang ke nenek bahwa airnya telah siap.

The Brave One

Setelah sebuah peristiwa buruk menerpa, masihkah kita akan menjadi pribadi yang sama. Ataukah, seseorang asing, makhluk yang tidak pernah kita sadari sedari lama berdiam dalam diri, akan bangkit, dan mengambil alih kesadaran kita. Ia memakai tangan, kaki, mata, kepala kita untuk melakukan apa yang menjadi keinginannya. Hingga akhirnya, ia akan menguasai diri kita.

Erica Bain, diperankan dengan sangat apik oleh Jodie Foster, hanya dapat menutupi wajah dan tubuh dengan tangannya ketika besi, tangan, dan kaki penjahat jalanan terus menghujaminya. Tak ada yang dapat ia lakukan selain melolong, meminta ampun, dan melakukan perlawanan semampunya. Sementara tak jauh darinya, David, sang kekasih, berada dalam kondisi yang jauh lebih mengenaskan darinya. Di antara salak Boy, anjing mereka yang terkapar terkena tendangan, para penjahat jalanan tersebut terus berpesta pora menyiksa sepasang kekasih tersebut.

Terbangun dari tidak sadar selama 3 minggu di rumah sakit, Erica harus mendapati kenyataan bahwa sang kekasih tidak terselamatkan. David meninggal ketika mereka tengah berbunga menyiapkan segala hal menuju pesta perkawinannya.

Tak banyak yang dapat kembali bangkit setelah sebuah peristiwa buruk. Tapi Erica melakukannya. Ia bangkit kembali. Meski dengan sebuah kenyataan pahit, ia tidak dapat kembali mendapati dirinya yang dulu. Erica yang berhati lembut, yang tidak berani keluyuran sendiri, yang menyimpan takut di hatinya, telah terkubur mati bersama dengan timbunan tanah yang menguruk tubuh David, kekasihnya. Erica yang meski kembali berjalan ke EKW, stasiun radio tempatnya bekerja, adalah Erica yang tidak lagi mengenal rasa takut. Erica sekarang adalah Erica yang selalu bertemankan dengan pistol caliber 9 mm di tas gantung hitamnya. Erica yang dengan tangan gemetar meledakkan kepala lelaki brengsek yang menyiksa kekasihnya. Erica yang kemudian dengan dingin merobohkan dua preman yang menanyaianya apakah dia pernah bercinta dengan pisau. Tangan yang dulu gemetar memegang pistol itu, sekarang makin tepat mengarahkan sasarannya. New York tidak mengetahui keberadaan makhluk asing dalam tubuh Erica. Mereka, lewat para jurnalis, hanya mengenalnya dengan julukan ‘hakim jalanan.’

Misi dendam Erica akhirnya tertuntaskan. Mereka yang menyiksa ia dan David diketemukan polisi. Ketika diminta untuk mengidentifikasi, ia sengaja berbohong dengan tidak mengatakan mengenal penjahat yang menyiksa dia dan David. Di antara bibirnya yang terkantum menahan getar dendam, ia telah menyiapkan sebuah penghakiman jalanan. Dalam sebuah lorong di keremangan malam, makhluk asing dalam tubuh Erica menemukan puncak pestanya ketika dengan sebuah teriakan garang, pistol legal pinjaman Detektif Mercer meledakkan kepala penjahat jalanan.

Dendam telah tuntas. Akankah semua akan kembali baik-baik saja? Erica telah melangkah demikian jauh. Ia tidak mampu kembali. Peristiwa pahit itu telah mengubah diri dan hidupnya. Ketidakmampuannya menerima kenyataan, ketidakberdayaannya untuk kemudian memutuskan meneruskan balas dendam, telah membuatnya menyerahkan diri dan kesadaran pada makhluk asing yang berdiam di tubuhnya.

Hingga kemudian, setelah semuanya usai, ia tidak dapat kembali mengenali jalan pulang. Tidak ada lagi jalan untuk kembali menjadi seperti yang dulu. Apa yang ada dulu telah menjadi orang lain. Sesuatu yang berada di tempat lain. Makhluk itu, orang lain itu, kini menguasainya.

Teramat benar, selalu ada makhluk asing dalam diri kita. Ia akan terbangun, ketika diri kita sekarang, tidak lagi cukup mampu mengkrabi realita. Sekali kita menyerah, maka tubuh kita akan menjadi tempat berpesta makhluk itu, orang lain itu.

Atau akankah ada The Brave One seri 2 dimana akan akan tercipta sebuah pengecualian, bahwa, masih ada yang dapat kembali setelah peristiwa buruk yang terjadi. Pemainnya? Bisa saja diri Anda sendiri.