Saturday, March 7, 2009

Harga Sebuah Impian

Sebuah sejarah lain dalam karir menulisku tercipta hari ini. Di antara gugus impian yang meletup, sebuah surat penolakan datang membabat. Di antara tuts yang melepuh, dalam tatapan layar YM yang penuh dengan pedar kuning teman yang sedang OL, aku mengalami delusinasi. Setelah hanya mencoba mengakrabi rasa ini lewat lautan kisah yang tergelar dalam salah satu seri buku Chicken Soup for the Soul, hari ini Tuhan berbaik hati membiarkan aku mengalami rasa itu.

Luis Chuimban mengalami 20 kali penolakan sebelum naskah pertamanya diterbitkan. Putus asa oleh para editor yang selama 20 tahun tidak jua mengerti bagaimana keindahan tulisannnya, Jean Annes memutuskan untuk mencetak bukunya sendiri. Ryan Phep harus menulis ulang novelnya hingga 30 kali sebelum sebuah petuah sederhana dari seorang penulis ternama menyadarkannya: kembali lah ke hal-hal mendasar dalam menulis. Dalam level lokal, Wiwien Wintarto melewatkan 20 tahun usianya untuk melihat novel pertamanya terpajang dipeluk kaca etalase toko buku.

Selalu ada harga untuk sebuah impian. Tidak ada hujan yang turun sebelum mendung pekat menggantung. Tak akan tercipta indah menakjubkan pelangi andai tidak ada lebat hujang mengguyur. Nikmat kenyang hanya hadir ketika sebelumnya lahir rajam lilitan lapar dalam perut yang menggelepar.

Andai saja, mendung tetap bersikukuh menjadi sebuah mendung, tidak akan pernah tercipta hujan. Andaikan hujan hanya mematung menjadi rintik air mengguyur, tak akan tercipta keindahan pelangi. Andai pemilik perut memilih bunuh diri saat lapar menghantam, tak akan dirasa sebuah kenikmatan kenyang.

Sesuatu yang berubah, hanya akan datang ketika sesuatu itu tidak berhenti bergerak. Dengan segala yang masih tersisa, ia terus merangsak menerjang. Tak peduli apa yang terjadi, tak peduli bagaimana situasi sekitar, ia teguh melangkah untuk melihat, bagaimana akhir dari semua ini. Dan.. it works. Mereka yang tidak menyerah ketika kesulitan menelikung, terbukti mendapati kemuliaan pada kelokan entah keberapa yang ia lalui.

Lalu, akankah aku berhenti pada penolakan pertama ini. Akankah aku mengubur impian menjadi penulis hanya karena satu orang editor bodoh di sebuah kursi di ruangan ber-AC yang tidak mampu menangkap keindahan tulisanku. Akankah aku musti mengubur impian ini dan kembali ke pekerjaan lama menekuni rapat-rapat membosankan dengan mereka yang beraroma wangi untuk sebuah tujuan yang sama sekali tidak aku mengerti?

Jawabannya, adalah: TIDAK.

Impian telah aku kembangkan. Perahu telah aku larungkan. Sangkur telah aku hunus. Pantang surut sebelum apa yang menjadi cita-cita terengkuh tercapai. Impian ini akan tetap aku gendong, tetap aku peluk, tetap aku pelihara, tetap aku perjuangkan. Menulis adalah takdirku. Dan takdir, sesungguhnya, adalah jembatan yang kita bangun untuk mencapai impian tersebut. Membuatnya menjadi nyata.

Untuk Anda yang telah berani meletupkan sebuah impian, untuk Anda yang sekarang tersandung batu pertama dalam misi pendakian menuju bukit impian, mari saling bergandeng tangan. Apalah arti hidup ketika kita telah tidak lagi mampu bermimpi. Dan apalah sebutan untuk mereka yang berani bermimpi tetapi tidak berani membayar harga untuk mewujudkan impian tersebut: Pretender.

Selalu ada harga untuk sebuah impian.

Thursday, March 5, 2009

Lapar

Tahukah Anda apa itu lapar?

Tahukah Anda apa itu lapar yang dibungkus oleh amarah?

Tahukah Anda apa itu lapar yang dibungkus oleh amarah dan dikipasi oleh letup murka?

Tahukah Anda apa itu lapar yang dibungkus oleh amarah dan dikipasi oleh letup murka yang juga dibingkai oleh bungkus derita?

Tahukah Anda apa itu lapar yang dibungkus oleh amarah dan dikipasi oleh letup murka yang juga dibingkai oleh bungkus derita dan masih diselimuti lagi oleh lipat nestapa?

Tahukah Anda apa itu lapar yang dibungkus oleh amarah dan dikipasi oleh letup murka yang juga dibingkai oleh bungkus derita dan masih diselimuti lagi oleh lipat nestapa sementara di bawahnya juga mengalir sungai kesakitan?

Tahukah Anda apa itu lapar yang dibungkus oleh amarah dan dikipasi oleh letup murka yang juga dibingkai oleh bungkus derita dan masih diselimuti lagi oleh lipat nestapa sementara di bawahnya juga mengalir sungai kesakitan dengan berpuluh-puluh pohon dosa rapat memagarinya?

Tahukan Anda apa itu lapar yang dibungkus oleh amarah dan dikipasi oleh letup murka yang juga dibingkai oleh bungkus derita dan masih diselimuti lagi oleh lipat nestapa sementara di bawahnya juga mengalir sungai kesakitan dengan berpuluh-puluh pohon dosa rapat memagarinya di saat langit diatasnya pekat menanggungkan awan kepedihan?

Saat itulah, yang terasa hanya keinginan untuk membunuh.

My New n Old Life...

Ini adalah perjalanan luar kotaku yang pertama. Setelah peristiwa itu. Tak lagi berkendara sendiri, aku memilih dia untuk membawaku. Melarikan roda-roda itu menyurusi bahu jalan. Dari kaca yang menyepuh silau oleh temaram sinar matahari, aku melihat sebuah lanskap yang tiada juga berubah. Kerumunan orang itu tetap saja di sana. Tumpukan kios menggeletak sekenanya. Bis melaju tanpa mengindahkan pola. Kekacauan itu masih tetap saja ada.

Setelah mobil merambat memarkir, aku pun melakukan tapak kaki pertama. Setelah peristiwa itu. Tak lagi secepat dahulu aku melewati undakan tangga itu. Aku harus mengapit erat tangga di samping kiri dan kanan. Di antara ringisan yang terkadang menyembul, aku sempatkan tersenyum ketika mereka menyapa dalam hangat kehidupan. Hari ini aku kembali melihat meja kantorku. Pertama sejak peristiwa itu.

Empat bulan berlalu. Aku masih dapat merasakan semprotan parfum yang mengapung dalam ruangan ini. kenapa baunya masih ada? Bukankah aku mengirim aroma itu empat bulan yang lalu. Sebelum terjadi peristiwa itu. Aku renggut tanya itu menjauh. Tak ingin aku lumuri bahagia saat pertama ini dengan deret tanya yang dapat ditangguhkan. Aku bergerak. Melambai. Menyentuh tempat dudukku.

My life… welcome back..

Kenapa aku di sini?

Tumpukan kabel merambat memeluk kaki lusuh meja yang terdiam di sampingku. Menyadari beban yang ia pikul sedari subuh, aku pun mengangkat perangkat tik dan menaruhnya di atas lututku. Meski lumayan berat, biar sajalah. Setidaknya, meja kumal itu juga butuh istirahat.

Setelah besi berisi deret tuts itu terlontar melepuhkan lututku, yang tersisa di meja hanya 3 buah gelas kecil, dengan air putih yang tersisa separo, aqua kosong, tikus besi yang tak bisa lari kecuali apabila kita lemparkan, 2 sachet coffeemix, dan sebuah tasbeh yang menempel.

Sudah hampir 1 bulan aku kembali mengakrabi kamar ini. apabila 3 bulan kemarin, aku dengan terpaksa menghuninya, maka 1 bulan ini, sepenuh hati aku menyerahkan diri untuk mengakrabi kamar ini kembali. Nenek sedang sakit. Dan, di antara hal yang mungkin bisa aku lakukan, aku hanya bisa menyerahkan diri untuk menemaninya. Aku tidak mempunyai hal lain untuk diserahkan, selain beberapa helai alat tukar dan raga untuk menemani.

Setelah mendekatkan pertandingan bola di stadion gelora Bumi Kartini, kotak ajaib bernama televise itu aku matikan. Suara berdengung akibat signal handphone yang aku gunakan untuk modem, membuat tubuh nenek yang berusaha terlelap selalu bergerak-gerak.

Besok aku akan ke Semarang. Seperti mendapat sebuah tempat yang sekian lama menjadi impian, dan kemudian berkesempatan mendatangi, aku merasakan juga sensasi itu. Liburan setelah sekian lama rutinitas berkubang dalam kamar. Udara mungkin tiada berbeda. Tapi mereka yang dianugerahi untuk menghirup udara itu, senantiasa terwadahi dalam jasad dan rupa yang tiada sama. Besok aku akan bertemu teman-teman lama. Dan kalau bernasib baik, bertemu dengan orang-orang yang selama ini menghiasi mimpi.

Hm..

Till die...

Kemudian, yang bisa aku lakukan, hanyalah menduga. Mungkin mereka telah menyelesaikan membaca, atau berhenti di akhir bab pertama, atau mungkin saja selera telah menghilang ketika menyentuh titik pertama di kalimat pertama.

Tak mudah menebak reaksi pembaca. Meski, sebelumnya, aku cukup merasa selektif memilih mereka. Tetap saja, diantara berbagai tumpuk kepentingan dan prioritas, urusan remeh temeh memberi komentar bisa terlempar menjauh. Menggelosor memelas dalam deret urutan kepuluh sekian.

But, I will no go down. Meski sebagian berlaku cuek, sebagian menerima tanpa pernah mengembalikan pulang, sebagian mendelik sebelum memejam, i will not go down, without a fight.

Terima kasih untuk Anda yang telah berkenan mereview. Apapun warna Anda terhadap naskah yang sudah terkirim ke inbox Anda, aku tetap merasa diberkati. Terkadang, kemenangan tidak harus memenangkan sebuah perang. Kemenangan kecil dalam pertempuran yang memanjang, tetap layak untuk dikenang sebagai sebuah keberhasilan.

To the end. Till die. For the glory.

Dignity: Masihkah ada pada diri kita?

Dengan segala hormat, mari untuk 5 menit ke depan, kita jujur terhadap diri sendiri. Apakah setiap larit nafas yang kita ambil, setiap makanan yang kita jejalkan ke perut, setiap sikap yang membusungkan dada kita, setiap ucapan yang menghambur dari lidah kita, setiap sikap yang lahir dari kontemplasi pikiran kita, telah lahir dari sebuah paradigma penghormataan terhadap dignity (harga diri kesatriaan)?

Tentu saja, kita tidak berpotensi menjawab iya atau tidak, andai konsep dignity sendiri masih belum jelas tergambar dalam ruang pikiran kita. Dignity adalah nilai-nilai luhur yang menjadi panutan hidup seorang ksatria. Ksatria sendiri adalah pribadi pilihan. Mereka lahir dari bibit unggulan, mendapatkan pendidikan terbaik, mendapat makanan paling bergizi, mendapat standar kehidupan paling tinggi. Ksatria adalah titisan dewa. Kepada dirinya melekat nilai-nilai Illahi. Mereka lah cermin dari sifat-sifat adiluhung yang mengajarkan bagaimana seharusnya kehidupan dijalani.

Lalu, bagaimana dignity kemudian diterjemahkan dalam perilaku kehidupan. Seorang ksatria tidak akan membunuh musuh yang tidak lagi kuasa memanggul pedang. Ksatria tidak akan mengambil apa yang tidak menjadi miliknya. Apabila tidak diberi, seorang ksatria pantang untuk meminta. Darah ksatria akan menghitam ketika ia mengambil melebihi apa yang diberikan ataupun yang ia butuhkan. Ksatria pantang berkata dusta. Bagi mereka, janji hanya diterjemahkan dalam dua kata sederhana: dipenuhi atau mati.

Adakah harga diri kesatriaan dalam deras laju darah kita? Tinggal tersisa 3 menit untuk jujur menjawabnya. Sejatinya, ada seorang ksatria dalam diri kita. Mari saudaraku, bangunkan ia. Biarkan kita melangkah dalam tegap laju seorang ksatria. Hiasi gerak laku hidup kita dengan keagungan dan kesantunan hidup ksatria. Panggul perisai kehidupan, hadapi garangnya zaman dengan pekik gagah teriakan ksatria. Gendong kekasih kita dengan tangan-tangan kokoh ksatria. Lindungi mereka yang kita cinta dengan keberanian dan kesaktian dada ksatria. Hiduplah dengan harga diri kesatriaan. Dan andai harus mati, mari songsong kematian dalam kehormatan diri ksatria sejati.

Tidak harus ada pasukan yang kita pimpin. Tidak harus ada gelar yang kita sandang. Tidak juga harus ada kuda hitam jantan yang kita tunggang. Karena untuk menjadi ksatira, cukuplah hanya dengan berperilaku hormat terhadap diri kita sendiri.

Tegakkan harga diri kesatriaan Anda, lalu lihatlah apa yang terjadi.