Wednesday, June 30, 2010

‘Apa yang membuatku meragu?’

‘Aku tak kuasa memanah rembulan sebagai hadiah ulang tahunmu. Tiada jua kuasa aku sekadar menariknya mendekat, menghangati kita menikmati makan malam. Padan fisikku juga tiada seindah Yusuf yang elok ragawinya memukau memakukan angin. Pun aromaku tidaklah semendayu parfum yang membuat manusia tanpa sadar menarik busana menelanjangi dirinya.’

‘Tak ada yang mampu aku janjikan. Tak ada juga yang mampu aku bangun sebagai wujud suci pemujaanku kepadamu. Aku hanyalah hamba yang melata. Tiada kukuh menopang raga. Pincang menapaki bumi. Jangan pernah membayangkan aku menari menggendong busung ranum ragamu. Bahkan, berjalanku pun aku mengundang iba.’

‘Aku tak akan pernah mampu mengejarmu berlari. Apalagi mengikuti lengok gemulai jemarimu menarikan tetarian India. Kakiku tiada mampu membentuk sudut memutar tubuh melafalkan irama salsa. Menegakkan tubuhku saja aku kepayahan. Apalagi menopang ragamu menyusun formasi tari yang teramat kamu suka.’

‘Aku bukanlah manusia utuh. Ragaku meranggas. Jiwaku melepuh. Aku menapaki kemarau bahkan ketika langit masih deras mengguyurkan hujan.’

‘Pergilah selagi sempat. Tak perlu hiraukan aku.’

...demi Undakan Kehidupanmu

Aku tak ingin melihatmu mencintaiku.
Maka, biar aku buat hatimu merimbun oleh benci.
Biar kusemai belukar angkara membelit mengakar di jantungmu.
Biar juga kutabur racun hingga bening jiwa yang mengaca di matamu, menjadi buram, keruh oleh gemeretak jengah mengembun menjadi tirai dendam.

Biarkan
Aku membuatmu
Membenciku

Akan juga aku panggul gada untuk menghancurkan istana pemujaan yang pernah engaku bangun untukku. Biar kucuri panah sakti Krisna untuk kuayunkan menghujam menanggalkan matahari pesona hingga tiada lagi kau dapati rembesan hangat sinar kasihku. Tak cukup itu, akan kugambar juga langitmu menghitam penuh dengan pekat arang murka.

Meski hanya setitik bibit, tak akan aku biarkan bayang baikku menggantungi hati dan ingatanmu.

Aku tidak hanya akan menghilang. Lebih dari itu, aku akan menabur dendam. Bukan di ladangku. Tetapi di jiwamu. Bukan juga kepadamu. Tetapi, kepadaku.

Apapun akan kulakukan untuk merobohkan pohon cintamu kepadaku. Tak mengapa bila aku harus meruntuhkan rapi gigi ini. Lalu menggantinya dengan cula badak atau taring serigala. Tak mengapa juga bila aku harus melarung semua yang pernah ada pada diri tubuhku. Bibirku pun tak akan lagi meletup manis seperti dahulu. Bergumpal butir garam telah aku oleskan melumuri permukaannya. Biarlah aku tanggung aroma asin itu. Asal saja tak lagi tercium aroma madu dari letup ucap ataupun tawaku.

Apapun akan kulakukan. Demi hadirnya dendammu kepadaku.
Aku tak akan merontak menanggungkan pekat anyir comberan. Meski harus membumbung mengetuki pintu-pintu awan, akan kulakukan, asal dari sana dapat turun butiran hujan yang akan membasuh habis asmaramu kepadaku.

Seperti apa yang aku ucap kepadamu, telah tiba saat bagiku untuk menjadi batu. Tidak hanya guyur semen yang menggumpali ragaku, bahkan, hatiku pun telah aku tabur segentong air raksa. Ia tak hanya sekadar membantu, tapi juga membujur menguap rasa. Tak perlu juga aku bercerita derita yang aku rasa kala air keras itu meremasi tiap-tiap pori hatiku. Tak mengapalah aku meregang, terajam oleh siksa.

Selama apapun itu mampu menghadirkan kebencianmu kepadaku, tak akan aku berpikir lama untuk melakukannya.

Aku tidak melarangmu untuk mencintaiku, hanya, aku lebih suka bila kamu justru membenciku. Dan meski kutahu, wujudmu adalah rupa malaikat yang menyamar, aku akan bersetia memuja siang menjadi malam, melarung malam merupa bening siang, demi mampu menumbuhkan titik benci di hatimu.

Hadirkanlah benci di cakrawalamu. Karena sejatinya, dari sanalah, akan terjulur undak-undak tangga penerus kehidupanmu.

Monday, June 28, 2010

Kembang atau Darah

Aku tidak akan berbalik, untuk kemudian melenggang pulang. Bukan. Itu bukan watak yang aku kenal. Hanya perintahkan aku untuk melakukan, maka, bila bukan berita keberhasilan, akan engkau dapati longsongan jasad atau pun kubangan darah penghabisan.

Memanah rembulan, aku dapat melakukannya meski hanya dengan satu mata terpejam.
Mengepak mengarung laut berlomba dengan hiu dan lumba-lumba, kaki dan tanganku terbiasa mencabik air laut menarik tubuh melaju menjadi pemenang.

Dan, bila sekarang, engkau memintaku untuk menanjak memahat rimbun pepohonan yang menjulang, aku akan merenggangkan otot menapakinya. Aku tidak menjanjikan apapun, hanya kesungguhan hati dan kepenuhan diri mencapainya.

Kamu dengar bukan, tidaklah berita kemenangan yang aku janjikan. Itu adalah sesuatu yang berada di luar kuasaku. Aku hanya memasrahkan darma bakti pikir dan ragaku, karena itulah yang berada dalam kuasa dan kendaliku. Tidakkah itu lebih dari sekadar stempel janji yang biasa engkau temui?

Aku tidak akan menggelandang untuk pulang.

Aku juga tidak akan berontak untuk menghindar.

Hanya, kirimkan saja perintahmu. Lalu, biarkan aku mengendus langkah untuk menciumi aroma keberadaan apa yang kamu mau itu.

Apabila bukan kembang, maka adalah darah yang akan terkirim kepadamu.

Monday, June 21, 2010

Darahku dan Darahmu

Setelah masa berbilang, merentang hingga mengecupi bilangan sekian, mungkinkah malam ini letup itu akan mewujud?

Setelah deret-deret hasrat yang berbaris membentuk jejak hingga menjulang merupa undakan mengukir kenangan, akankah bulan malam ini menjadi paku yang menghentikan desir jiwa yang sekian terlontar mengembara mencari rupa?

Sekian lama dada mengembang memancangkan tonggak-tonggak pancang menjerat dengung rasa yang merupa dengkur ombak, akankah rintik gerimis malam ini menjadi baik-bait mantra memberai kukuh lipat jiwa tersebut?

Langit memang telah meramal akan datangnya malam dimana terdengar lenguh yang bersimpah peluh dan darah. Hanya, apakah warta yang tergantung sekian puluh tahun di antara pucuk-pucuk awan yang menjaga pintu langit itu akan turun ke bumi dan merupakan wujudnya malam ini?

Terlebih, apakah memang benar, bahwa taring dirinya yang kecil sekelumit gigi kelinci, merupakan jawab atas ramalan akan tajam cakar naga yang digambarkan mampu merobek dada dan merenggut keseluruhan jiwa ini? Lihatlah. Bahkan untuk mencakar merobek kancingku pun dia tidak sanggup.

Lalu, kenapa juga musti malam ini?

Kenapa tidak malam kemarin, ketika sinar-sinar temaram kamar presidensial suite memenjara raga kami?

Atau, beberapa minggu lalu, saat tubuh kami mengambang di antara kedap kabin pesawat yang menumbuhkan sayap di punggung-punggung ini? Andai di malam itu bercak ini meletup, tidakkah indah, atau mungkin begitu indah, ketika suara pagut yang tercipta merupa hujan yang mencurah dan membungkus seluruh telinga yang ada di bumi?

Lalu, kenapa harus malam ini?

Biarlah tanya-tanya itu menggantung meranum dalam tangkai-tangkai dahan pohon cinta kita. Tak mengapa juga bila tiada pula mengapung jawab atas kail-kail prasangka yang menancapi laut teduh hamparan cinta kita.

Satu yang aku tahu, tak pernah terbit sesal, apabila memang darahku harus mengalir bercampur dengan darahmu. Malam ini.

Monday, June 14, 2010

Malam itu... (2)

Masih aku baui aroma rambut itu. Hingga sekarang, bahkan, berpuluh jam sejak tubuhku memahati tubuhnya. Aroma kulitnya pun masih pekat membungkus ragaku. Meski peluk tangannya tidak mengada bersamaku sekarang, sungguh, hangat yang tercipta dari kalungan manja tangannya, seperti bayang yang tak pernah mau beranjak hilang.


Malam itu, diantara dentum musik yang sesekali memantuli air pantai Ancol, duduk berdampingan, aku mengeja rasa bersamanya. Setelah bersorak menatapi layar raksasa bergambarkan aneka kaki berlarian mengejar bola, aku mengajaknya beranjak menjauhi kursi-kursi cafe tepi pantai itu. Jembatan yang memanjang menghilang di kedalaman pantai, seperti tangan yang kemudian merengkuh kami menapaki ketenangan bibir pantai. Dingin yang segera menyergap, menjadikan alasanku melepas jaket, untuk menutupi raga indahmu tidak melepuh oleh remas nakal udara pantai.

Lalu, menggandengmu, aku melangkah menapaki nada-nada rasa yang begitu indah dimainkan oleh tangan-tangan malam.

Entah berapa kali aku menenggelamkan wajah meresapi semerbak harum rambutmu. Seolah tak kuasa aku merenggut kepalaku menjauh. Ia begitu ingin menetap disana. Menyusupkan dirinya dalam belai-belai lembut tiap-tiap helai rambut indahmu.

Malam yang menanggungkan gelap pun tak cukup mampu untuk menghanguskan senyummu. Seolah, wajahmu tidak hanya memantulkan cahaya rembulan. Wajahmu, sungguh, adalah sumber cahaya itu sendiri. Hingga bersamamu, malam itu, aku tak lagi menanggungkan takut akan gelap. Seberapa dalam aku mendaki, bersama cahaya yang menaungi wajahmu, malam tak akan kuasa menyesatkan diriku.

Hingga kemudian, aku terus menggandeng tanganmu. Melangkah semakin dalam. Menapaki tangga-tangga malam. Hingga tak lagi terdengar dentum musik hingar bingar di tepi pantai. Dalam tangga rasa kesekian, tak lagi terdengar suara apapun, hanya desah nafas dan letup jantung hatimu. Saat itulah, aku melepas genggam tanganmu. Jariku menapai undak-undak bahumu. Menyusup di antara derai harum rambutmu. Hingga menyembulkan diri menyangga bahu-bahu ranum ragamu.

Jauh di atas kedalaman malam, hanya terbungkus senyap, dalam keheningan yang mengambang menelan aneka rupa suara, hatiku pun bersejajar dengan hatimu. Entah berapa lama aku rengkuh ragamu. Entah juga berapa lama mereka terpejam merasai tiap degup yang berdetak berbarengan. Hingga tanpa sadar, ketika mata jiwa dan mata raga membuka, kecap-kecap bibirmu mengambang pekat di antara celah bibirku.

Lalu, gelap makin merapatkan raga kita. Detak bunyi jiwa pun merupa gamelan mengiringi prosesi persandingan batinku dan batinmu. Meski masih banyak lagi undak yang musti didaki, tetapi, damai malam itu, cukup menerbitkan bara sedikit mengusir dingin yang sekian waktu menggigil di ceruk-ceruk lembah hati.

Aku masih merasai desir itu. Aku masih merasai dekap itu. Seperti halnya aku masih menyimpan kecap suara ciuman malam itu.

Friday, June 11, 2010

Ketika Dunia dilanda Cemburu

Wabah itu telah datang. Menumpang angin, wabah itu berkelana, menyusup ke setiap celah-celah pintu dan jendela. Mengalih rupa, ia pun masuk ke ruang-ruang cafe, resto. Berbekal semprot minyak wangi, ia juga mewujudkan diri dalam jamuan khidmat nonton bareng ala ballroom mewah hotel berbintang sekian.

Tak ada yang kuasa menolak wabah piala dunia. Bahkan, andai ia tidak menjangkiti anda, maka lingkungan yang telah tercemar akan menebarkan baunya penuh menciprati tubuh dan aroma anda.

Dari mata mulai membuka, memencet remote, ruang-ruang kotak televisi penuh sesak pernik piala dunia. Lihatlah kaos seragam tim nasional negara peserta yang membungkus raga ayu para presenter berita. Melangkah keluar, wajah-wajah ruang publik coreng moreng tertempeli aneka rupa wujud ekspresi wabah piala dunia. Membuka koran pagi dan sore hari pun, kertas penuh sesak tertindih gambar-gambar merupa bola.

Tak lagi tersisa tempat yang aman. Tak tersedia lagi ruang yang steril. Udara telah terjangkit. Semangat telah terletup. Wabah telah tersebarkan.

Lazimnya wabah, piala dunia pun membawa serta pelbagai gejala buruk khas penyakit. Kamar-kamar tidur akan menjadi sedikit sepi satu bulan ini. Para istri akan mencemburui bola. Hingga mungkin, mereka akan menggambar wajahnya menyerupai bola agar suaminya juga melirik dan bersedia ‘menendangnya’.

Ruang-ruang kantor terancam menjadi sedikit lengang. Mata yang meredup setelah begadang, emosi yang tuntas meletup merayakan kemenangan ataupun meratapi kekalahan, akan membuat ruang kerja menjadi redup. Kantor dan rumah pun bertukar peran. Bila selama ini rumah menjadi charger untuk menyalakan gairah menyongsong pekerjaan. Maka, 1 bulan ini, waktu siang di kantor merupakan saat istirahat, pemulihan untuk menyiapkan emosi dan semangat menantikan pertandingan di waktu malam. Konsentrasi dan keriuhan pun berpindah ruang.

Bagi sepasang pacar, persiapkan juga hati anda untuk mendua atau didua. Wabah piala dunia akan mencerabut kemesraan dan perhatian yang biasanya melimpah. Sediakan perhatian, atau silahkan cuek saja sekalian. Membiarkan pasangan mengecupi layar televisi pun tidak akan membuatnya menjadi hamil atau terjangkiti dosa, kok.

Saran saya untuk para pasangan, mulailah membiasakan diri dengan bau wabah piala dunia. Tidak usah dicemberuti, cemburui, apalagi memaki atau melempar sandal ke layar televisi. Biarkan juga bila pasangan anda sedikit sinting selama sebulan ini. Toh, itu tidak akan berlangsung lama. Paling 1 bulan. Atau, bila Anda jeli, kenali tim kesayangan pasangan anda. Diam-diam doakan agar tim pasangan tercinta tersebut cepat tersingkir. Mengopek koper lebih awal. Sehingga pasangan anda segera kembali melirik anda.

Tapi, jangan tanya ya apa tim kesayangan saya. Nanti malah anda semua mendoakan diam-diam agar tim saya kalah dengan amat sangat segera.

Mari menikmati sajian piala dunia. Sambil juga jangan lupa, sesekali pindah channel anda untuk menengok kesehatan Gayus, menanyakan perkembangan kabar dana aspirasi, atau mendoakan untuk kesembuhan KPK yang mulai sering sakit-sakitan.

Wednesday, June 9, 2010

Mall..

‘Jangan temukan aku di mall,’ demikian ia berucap sewaktu aku telepon. Meski beberapa tanya menggantung, aku biarkan mereka mereda. Pastilah ia punya alasan. Mungkin ia menanggungkan sebentuk dendam.

‘Aku benci mall.’ Aku tetap mendiam. Ia pun mulai menjawab runtutan tanya yang tak sempat aku lontarkan.

‘Dulu, aku menemukannya pertama kali di mall. Ia berlagak seperti tersesat. Meski aku tahu, ia kerap menyasar betisku yang membuka.’

Ia memang pernah bercerita tentang lara yang selalu ia bawa-bawa. Luka yang tak pernah ia ungkap darimana ataupun oleh siapa. Merasa cukup mengenalnya, aku pun tak pernah memaksa ia untuk berdendang mengenai sebentuk lara yang membelatung di hatinya.

‘Meski sekian tahun bersama, diantara banyak gores kenangan indah di berbagai tempat, aku selalu tidak dapat melupakan asal tempat kami berjumpa. Sejak hari perpisahan itu, aku tak pernah lagi menginjakkan kakiku ke mall. Bahkan, sekadar mendengar ucap mall pun, perutku menjadi kram menanggung nyeri pilu.’

Batinku mendesir. Aku merasa telah cukup mengeja lara. Bahkan, lembar-lembar hidupku pun penuh dengan aneka tindih cerita bertema derita. Entah didendangkan oleh hatiku sendiri. Atau luka-luka yang mampir dari aneka cerita, kumpulan berita, ataupun titipan luka dari orang-orang sekitarku. Tapi, luka yang mengakar jauh hingga hanya menyempit pada titik perjumpaan, sepertinya hanya padanya aku baru menjumpainya.

Melihat rentang waktu yang tersulam, aku dapat mengira, pastilah, demikian dalam luka yang ia letupkan.

‘Makanya, cari tempat lain. Jangan pernah berusaha menemukan aku di mall’.

Beberapa lama bersama, cukup untuk mengetahui bahwa mendebatnya sama saja dengan mendengungkan terompet perang. Bukan persoalan menang ato kalah. Tetapi, mengundang perang adalah menggoreskan kuas dalam kanvas jiwa. Sekali tergores, atas alasan apapun, akan tetap tercipta bekas di sana. Bekas yang mudah terpanggil datang.

‘Jadi, gak mau di mall nih?’ demikian ucapku.

‘Kan..?’

‘Kan apa?’

‘Aku tak mau di mall. Dan tak juga mau mendengar ejaan berbunyi mall.’

Tergagap juga. Aku tak nyangka lukanya sedemikian dalam. Bahkan ia pun mengingkari serpihan huruf tereja ‘mall’.

Meski bingung, aku tak kuasa untuk bergumam juga, ‘Kalau benci mall, tak mau mendengar mall, mengapa jua dari tadi ia keras mengeja mengulang mall?’

‘Lalu, ketemu dimana nih?’

Tak lagi kuasa aku menemukan sebuah tempat. Bila tidak berupa mall, semua tempat pasti menyerupai mall. Hingga kemudian, aku menemukan sebuah tempat. Tak ada mall di sana. Hanya rimbun dedaun menghembus semilir rasa. Tak lagi menanggung bingung, aku pun berucap pasti.

‘Kalau gitu, datanglah saja ke hatiku. Kita bertemu disana.’

Ya Sudahlah...

Hati yang terbakar sedih, tiada merindu apa melainkan hanya hadirnya tangan-tangan hangat yang menyusup membelai.

Ketika jiwa merasa terpuruk, saat seisi dunia seolah berpaling tiada peduli, selarit sapa yang mewujud sungguh mampu menumbuhkan kaki untuk lebih tegak berpijak.

Dalam lirih nestapa doa, jiwa yang merapuh, hanya mengharap terkirim sebintik bara. Rengkuh hangat yang membekap dekap. Melingkarkan hangat. Sembari membisik kata: sudahlah, semua akan kembali baik-baik saja.

Semesta bicara dengan banyak bahasa. Tuhan menyentuh makhluk-Nya dengan berbagai rupa sidik jari-Nya. Tak selalu harus mewujud dalam balut ragawi indah manusia. Ia dapat merupa angin yang melantun bersenandung, gemericik air memetik harmoni suara, atau dalam rupa-rupa nada lain yang tanpa kita sadar, menyisir lembut menentramkan jiwa.

Pagi ini, rembesan hangat itu mewujud dalam syair-syair manis Bondan feat Fade2Black. Untuk Anda yang sedang menanggungkan lara, untuk jiwa yang sedang menyandangkan nestapa, mari bersama bersenandung.

Tak selamanya nestapa harus disenandungkan dengan iringan lara. Berdamai dengannya. Bersebelahan menikmati rembesan pagi, nestapa pun dapat dinikmati sambil menciumi hangat teh di pagi hari.

Mari bersenandung. Mari menjabat tangan kesedihan. Memeluknya.
Dengan segenap cinta, mengubahnya menjadi hangat kasih keberterimaan.


Apapun yang terjadi
Ku kan selalu ada untukmu
Janganlah kau bersedih
Coz everything’s gonna be ok

Monday, June 7, 2010

Malam Itu.. (1)

Hm.. aku menemukannya kala senja membentuk selendang yang melambai-lambai di angkasa. Di antara kerlip. Dalam keremangan yang tersulam sinar lampu restoran.

Sengaja aku datang lebih cepat dari kesepakatan. Setelah berdoa di gedung sebelah, nyasar sebentar karena baru pertama mengakrabi tempat itu, di tambah menunggu beberapa saat di kursi ‘waiting list’ aku pun duduk di meja nomer 3. Tak berapa jauh dari kasir. Menempel tepat di sebelah jendela.

Tempat duduk yang menyenangkan. Sesekali menikmati pengunjung lalu lalang, aku dapat melontarkan pandang keluar. Merasai senja yang turun berubah warna menjadi hitam.

‘Aku sudah mo sampe,' demikian tulisnya. Setelah beberapa kali bertukar pesan, akhirnya ia dapat melepaskan diri dari kemacetan. Ketika menyelesaikan comotan Garlic Bread ketiga, aku mendapati namanya berpedar di layar handphone.

‘Kursi nomor 3,’ demikian aku menjawab pertanyaannya. Dan, begitu melihatnya muncul dari balik pintu, saat itulah, dimulai segala keindahan itu.

Diawali dengan sebuah tanya kepada pramuniaga, ia lalu mengulurkan tangannya ke arahku. Sosok yang bening. Kulit yang jernih. Pinggang yang ramping membentuk cemara. Dalam balut jenjang lehernya, bertahta sebuah dagu lancip penyempurna keindahan wajahnya.

30 menit menunggu. Jengah yang sempat meletup, sontak luruh. Undur diri. Amblas tersapu senyum manis dari bibir selarit kuas bersepuh gincu. Sambil mengaduk hot cappucino, mataku membentuk huruf. ‘Untuk keindahan seperti dia, menunggu semalam pun sepertinya tak jadi mengapa’.

Kaku sempat mengambang. Tapi, senyum selalu dapat mengatasi semuanya. Tak berapa lama, ia membaris kata mengeja sebab ia terlambat hampir setengah jam lamanya. Aku menikmati rasa bersalah yang menyepuh putih pipinya. Tak hanya kegembiraan. Rasa bersalah, atau mungkin kesedihan, ketika ia terukir pada warangka keindahan, tetap akan menghadirkan kesejukan.

Dalam diam, aku menikmati keindahan yang mulai menggurat menjelma lukisan.

Tuesday, June 1, 2010

Coincidence..

Sejak melihatnya pertama kali, ketika bos memperkenalkannya sebagai sekretaris baru, aku tahu: aku telah jatuh hati padanya. Ia tak banyak berucap siang itu, hanya tergopoh menghampiri kami yang melingkari meja rapat, menunduk, menyodorkan note. Bos mengangguk. Dan kemudian, memperkenalkannya kepada kami semua. Kamu ingin tahu namanya? Ratna.

Lalu, aku semakin sering berjumpa dengannya. Bersebelah di dalam lift. Berjejer ketika menapaki lorong menuju ruang. Atau saling memandang, meski sesaat, ketika sama-sama terperangkap sedang memfotokopi dokumen. Aku mulai memperhatikannya. Aku mulai mengkarabi matanya. Aku mulai terbiasa dengan bau tubuhnya. Dan, aku mulai mengagumi hal-hal kecil yang melingkupi kehadiran dirinya.

Bayang dia menjadi rajin mengikuti kemana aku pergi. Berputar dalam ingatanku, memeluk menggelantungi hatiku. Cara dia tersenyum. Renyahnya tawanya yang meletup. Kebiasaan dia membasahi bibir sebelum berucap. Bahkan, aku seperti terus melihat bekas luka berbentuk hati yang memeluk lekuk indah bagian atas bahunya. Dimana-mana. Dalam setiap benda yang aku jumpa. Dan, yang paling membuat hatiku selalu meletup dalam remah rasa tak terjemahkan, rambut-rambut indahnya yang memberai mendampingi poni indah yang menutupkeningnya. Seperti kaset dalam player kehidupan, bagian berisi ia tertawa dengan rambut indah menggantung itu selalu kuputar berulang. Dimanapun. Kapanpun.

Ia memang cantik. Tidak, lebih dari cantik. Ia sangatlah indah. Demikian indah. Sungguh, demikian indah. Terutama saat ia mengikat rambutnya membentuk ekor kuda.

Pernah di suatu pesta, ia memakai gaun dengan bagian bahu yang membuka. Ketika berbincang dengannya di ujung pesta, dengan gelas minum di tangan, demikian indah aku merasa saat kami berbincang. Aku tenggelam dalam bulat indah matanya. Kesadaranku tertawan oleh lambai-lambai rambut lembutnya. Rambut belakangnya disanggul membentuk mahkota. Bagian depannya terberai membentuk poni. Beberapa helai di sisi kiri dan kanan seperti melarikan diri, terjuntai menghiasai wajah manisnya. Sempurna bertahta melapisi kilau lembut leher jenjangnya.

God, demikian ingin menariknya ke sudut. Menggenggam bahu ranum itu, berenang menyeberangi mata teduhnya, mendaki rambutnya yang memberai, menemani lidah yang selalu membasahi bibirnya. Merasai keseluruhan kehadiran dirinya.

Perjumpaan berikutnya, aku semakin tertawan oleh pesonanya. Tingkahnya demikian impulsif. Lihatlah ketika ia menantangku saat menikmati lembut taman kota. Mengeja kata ‘penis’, ia berkata bahwa suara berikutnya harus lebih keras dari suara terakhir yang terdengar. Aku menolak. Tapi melihat tatap matanya, senyum memintanya, luruh sudah hatiku. Dan kami pun saling menyahut. Kencang semakin kencang. Hingga kemudian aku harus menutupkan tanganku ke bibirnya karena suara kami sudah membuncah menutupi cakrawala. Taman kota sedang ramai sore itu. Dapat kamu bayangkan, bagaiaman tatap mereka melihat kami mengeja kata itu seperti sepasang kekasih sedang gila. Bukannya tersipu, ia hanya tertawa berderai ketika mendapati tatap mata pengunjung taman.

Atau, simaklah yang ini. Hari itu kami berkunjung ke IKEA, toko furniture franchise. Tatanan perabot yang ditata sedekat mungkin dengan suasana rumah, membuat imajinasinya melayang menyerupai nona dan tuan sedang berada di rumah. Kami pun berbicang akrab di meja makan. Tertawa sambil mendemonstrasikan shower di ruang mandi. Hingga puncaknya, ia mengajakku berlari menuju ke ruang tidur. Melemparkan tubuhnya. Menarikku agar merambati kaki menapaki kepalanya.

Dadaku menggelegak. Dan, saat aku menyembul di antara dadanya, bersiap mendekati telinganya, aku justru membisikkan sesuatu yang meletup tawa renyahnya meledak berderai: aku tak tahu bagaimana cara m emberitahumu, tapi ada sekeluarga Cina sedang melihat kita. Ketika ia mendongak, benar saja, sekeluarga Cina yang juga sedang berkunjung ke IKEA tergopoh melihat pemandangan tak biasa di depannya.

Kebetulan. Aku pikir, itulah yang mempertemukan dan mendekatkanku dengan dia. Kebetulan yang tak sering berulang. Mungkin ia masih jauh dari konsepsi soulmate, belahan jiwa, atau metafor-metafor muluk lain tentang pasangan jiwa, tetapi, untuk Ratna, aku tak ingin kebetulan ini hanya mengada sekadar kebetulan. Alam telah menghadirkan. Dan sekarang, waktuku untuk mewujudkannya menjadi indah kenyataan.

Ia memang indah. Dan keindahan yang tertangkap hati ini, telah lebih dari sekadar alasan apapun untuk membulatkan tekad menghabiskan hidup bersamanya. Meski aku tahu, ia sendiri masih gamang untuk mengeja dan melingkupkan diri dalam balut temali label cinta.