Monday, February 8, 2010

Waktu yang Membeku

Waktuku membeku. Padat. Mengkristal tak kemana. Tak lagi ia mengalir seperti hujan. Atau pun, sekadar, menggelinding seperti ayunan. Tertambat ia pada satu ruang. Tersangkut tak kemana. Entah, jua, menunggu apa.

Tak banyak yang tersangkut. Seperti, halnya juga, tak banyak yang terangkut. Waktu mungkin berlari. Tapi dengan keranjang yang mengepis. Bukan karena ia tiada mengembang. Tetapi, lebih karena, ia tidak menjaring suatu apa. Keranjang waktu itu membuka, berlari bersama putaran masa, tetapi, ia selalu luput, atau tepatnya, meluputkan sesuatu.

Mereka bilang, celakalah, ia yang tak dapat memperbaiki kehidupan. Mereka yang muncul, hanya, sebatas menggelandang. Mereka yang, hanya, sekadar menggenapkan keberadaan. Mereka yang tidak berkeberatan membatu, mengkarat tanpa kemana, bersetia mengempis tanpa makna.

Hidup, seberapa kuat aku menolak, tetaplah sebuah karung yang membuka. Ia mengharap terisi. Ia mengharap menangkap entah apa dalam setiap kelebatan masa.
Selagi, dan sekali lagi selagi, kita masih mampu mengayun, semoga saja karung yang membuka itu, terisi jelita kupu-kupu beraneka rupa. Andai juga, terselip ilalang di sana, sungguh, itulah yang menegaskan kupu-kupu itu kita tangkap dari alam terbuka. Dari sebuah penghayatan. Dari sebuah lari-lari kecil penuh rima lagu-laguan.

Tak seharusnya waktu itu menggelantung terdiam. Berteriaklah. Bersuka citalah. Larutlah dalam kelebatan hingar bingar. Dan, rasakan, ledak tawa itu akan menggulirkan kembali waktu.

Dan, waktu pun, tak lagi membeku..

No comments: