Monday, March 29, 2010

Biarkan 'Ia' Memelukmu..

Selalu, dan memang demikian kiranya, tak ada yang lebih bersahabat selain kesendirian. Seperti lintah yang tersangkut di pundak, seperti jarum yang merajami kulit mengukir tatoo, demikianlah kesendirian menghinggapi jiwa. Ia tak luntur meski direnggut, tak juga terserak meski disibak. Kesendirian, dengan segala rupa dan wujudnya, telah mengada dalam keberadaan manusia.

Andai kesendirian datang, tak perlu lah engkau ratapi. Kesendirian bukan sebuah jalan yang menjadi akhir atau awal kebersamaan. Kesendirian adalah bagian dari keberadaan. Hingga, apabila engkau hanya sekadar berjalan menyusur hidup untuk mengakhiri kesendirian, sungguh, tak akan pernah engkau tapaki jalan keramaian yang engkau cari itu. Kesendirian mengambang bersama keramaian. Dalam lipat keramaian, menyelinap rupa kesendirian. Sama halnya, dalam lirih kesendirian, tersaji riuh ledak hingar bingar.

Lalu, engkau boleh juga bertanya, apakah aku akan mampu merasai keramaian dimana kesendirian itu kuasa aku kibaskan?

Manusia adalah makhluk penyendiri. Ada baiknya, kita tidak melupakan hakekat abadi kemanusiaan itu. Sekeras apapun meledakkan dunia dengan aneka rupa dentum suara, jauh di jiwa, dalam lorong-lorong yang tersekat kukuh tanpa sedikitpun celah, sosok manusia meringkuk khusuk dalam mistik kesendirian. Ruang-ruang dalam relung jiwa manusia, selalu saja, menyisakan satu atau dua bilik yang tiada pernah kuasa memantulkan denting suara. Bahkan, meski hanya tetes nada rasa sekalipun.

Aku tahu, engkau pasti tiada setuju. Tapi, tak perlulah sangkalan itu melahirkan hingar yang justru akan merusak nikmat kesendirian. Cukuplah bagiku apabila engkau mau melongok ke dalam relung terdalam jiwa, menyusuri lorong-lorong sunyinya, memutar gagang tiap pintunya, sekadar memeriksa, dan mengangguk jujur, apabila disana engkau temui sosok kecil bagian dirimu yang meringkuk dalam sunyi kesendirian.

Sungguh, tak perlu kita malu untuk larut sejenak dalam sendu sedan itu..

 
gambar diambil dari sini

Friday, March 19, 2010

Lalu, setelah ini apa?

Setelah satu babak hidup terlewati, acap, dalam ketermanguan sehabis perayaan, manusia tercenung dalam sebuah absurditas tanya: lalu, setelah ini apa? Setelah tujuan teraih, target tercapai, resolusi terpenuhi, cinta terengkuh, nafsu terpuaskan, bonus di kantong, lalu, setelah ini apa?

Hidup, memang, adalah rangkaian demi rangkaian keberhasilan. Seperti Chinmi yang mengembara kembali tiapkali memenangkan pertempuran, demikian lah manusia mengelana demi memuaskan hasrat demi hasrat kehidupan. Hanya, setelah sekian kemenangan, setelah puluhan selebrasi kepuasan, tiba juga saat dimana pertanyaan itu muncul juga: lalu, setelah ini apa?

Sebuah kalimat yang teramat simpel, memang, tetapi sungguh, menghabiskan beberapa cangkir kopi untuk beranjak dengan mengantongi jawabnya.

Lalu, setelah ini apa?

Perayaan demi perayaan keberhasilan ternyata tidak semakin memudahkan menjawab pertanyaan tersebut. Layaknya skenario, jawab atas kegelisahan tadi, ternyata, sangat terkait dengan sistematika kisah yang sedari awal kita mainkan. Apabila kita hanya sekadar hidup, mengelana tanpa tujuan yang terpola, maka sungguh, sukar untuk mendapat jawab atas tanya: lalu, setelah ini apa?

Hidup yang tidak runut dalam seri, akan mengalun seperti lompatan-lompatan nada tanpa birama. Not yang terpetik tidak utuh menghadirkan komposisi irama. Mereka sekadar mengada. Tidak tersusun jelas bilangan nada apa yang membunyi setelah ini nada ini. Tidak terpola tinggi rendah suara setelah suara yang tadi. Musik tanpa kontinuitas sistematika harmoni, hanya akan terdengar seperti bocah sedang berlatih piano. Asal pencet. Sekadar bunyi. Tidak akan pernah tahu: setelah ini, harus memencet tombol apa.

Lalu, setelah ini apa?

Sebuah tanya yang simpel. Intonasi nada atas tanya tersebut dapat melahirkan makna ganda: dapat saja beraroma semangat menghadapi tantangan selanjutnya, atau putus asa mencari-cari acara sesudahnya.

Bagi mereka yang telah mengetahui apa yang akan diraih dalam hidup, pertanyaan ini akan menghadirkan gelora semangat menapaki tantangan yang lebih besar. Seolah membuka dada, ia berteriak lantang: datanglah tantangan, akan aku kalahkan. Mereka yang hidup dalam resolusi runtut tertata, tanya ini menjadi mantra sakti yang menandakan kemenangan peperangan dalam sebuah pertempuran. Setelah selebrasi, setelah letupan sampanye, mereka sudah mengetahui tangga mana yang musti didaki. Lalu, setelah ini apa? Bagi manusia yang hidup dengan mengetahui tujuan hidup dan alasan keberadaannya adalah sebuah tanda selebrasi kemenangan dalam rangkaian jalan yang gilang gemilang.
Tetapi, bagi sebagian orang, mereka yang hidup asal mengasal: asal bernafas, asal mengelana, asal makan, asal tidur, asal bekerja, asal dalam segala hal, tanya sederhana ini sungguh menghadirkan nyeri dan pusing tiada terkira. Seperti petinju yang terpojok di sudut ring, seperti kesebelasan yang sedang kepayahan diserang, seperti kuda yang tertutup kacamata hitam, tanya ini hanya menghadirkan tembok nyata di depan mata mereka.

Manusia yang tidak mempunyai tujuan besar dalam hidup, akan berada di persimpangan tiap kali ia selesai melakukan selebrasi atas kesuksesan kecil yang diperoleh. Bukannya bersiap menapaki tangga demi menggapai kemuliaan lebih tinggi, ia sibuk mencari arah yang musti dituju untuk terus melangkah setelah selebrasi usai. Tiap hari yang berulang, bagi manusia jenis ini, hanyalah pagi yang sekadar mengada, hanya ritual tidak lebih dari sebuah repetisi.

Lalu, setelah ini apa?

Anda ingin tahu di kategori manusia mana Anda ditempatkan? Bangunlah di pagi hari. Rasakan damai dan kesejukannya. Hayati apa yang Anda rasakan. Apakah pagi yang sedang Anda hirup keindahannya tersebut hanyalah rangkaian berulang dari pagi-pagi sebelumnya? Apabila Anda menjawab ia, sungguh, Anda layak masuk dalam kategori manusia usang. Manusia yang selalu tergagap tiap kali berhadapan dengan tanya: lalu, setelah ini apa?

Apabila di pagi hari, di antara keheningan yang sublim membius, terduduk usai melipat sajadah, membuka jendela menatap keremangan yang berangsur menjadi jelas, Anda menatap pagi dengan perasaan cinta yang selalu terbarui, menyadari pagi itu adalah hari baru, hari baru di antara hari-hari masa bakti hidup Anda, maka sungguh, Anda adalah termasuk orang-orang yang terbekati. Mereka yang menyambut hari dengan sekantung surprise, tidak pernah menganggap pagi hanyalah sekadar waktu yang mengada: sebuah pendulum yang berulang yang selalu datang sehabis ia terlempar menjadi malam.

Lalu, setelah ini apa?

Kant, sekian abad lalu, telah membantu kita dengan ucapannya: Penciptaan tak pernah usai. Pagi bukanlah serangkaian repetisi.

Lalu, setelah ini apa?


Gambar diambil dari sini

Fragmen Berbalut Anyir

Mencermati kepingan foto itu, terkadang, terbentik dendam. Fragmen demi fragmen kesakitan tempo dulu, seolah kembali rapi berjajar. Kenangan yang telah amblas, berderak menggoncang kembali. Ketenangan yang terbina sekian tahun, dengan segala pengorbanan, amblas tiad bersisa. Dendam mengambang. Memanggil anak pinak kesumat penuntutan rasa balas. Demi sebentuk imbas. Demi pemenuhan sebuah lingkaran setan berlabel pembalasan.

Kenangan, memang, ibarat repihan hewan purba yang berjuta tahun telah rubuh. Ia mengendap di dasar jiwa. Mengaliri sukma. Luruh memutari metabolisme menumpang aliran pembuluh darah. Meski jarang naik ke permukaan, sejatinya, kenangan selalu berenang dalam lautan pikir manusia. Ia hanya mengendap. Atau terpinggirkan oleh deru gelombang persoalan yang sekarang sedang mengemuka. Tetapi, saat pikiran sedang rata, kala laut jiwa datar tiada pengawal, kenangan akan kembali beriak datang. Ia laksana ombak yang bersetia. Ia tak memerlukan mentari untuk datang. Seperti halnya ia tak membutuhkan rembulan untuk berkemas menghilang. Kenangan, dengan segala aromanya, telah menjadi bayang yang menjangkiti seluruh gerak pemiliknya.

Mendapati kepingan foto itu, kenangan bergulung tahun lalu kembali menggenang. Baunya, meski telah terdiam beberapa lama, ternyata tetap saja sama. Sengir. Berenda mendekati busuk. Waktu dan jiwaku gagal sudah mengurai bau anyir itu berdamai menghadirkan wangi. Jangankan wangi, tiada berbau pun tak sanggup jiwa ini melakukannya. Bau anyir foto itu demikian kuat membekap. Ia tak sekalipun mengendur, meski beragam doa mengguyur, meski aneka foto baru terlayang menumpukinya. Foto itu, ya foto itu, tetap saja menyimpan aroma anyir. Aroma dendam. Aroma yang menuntut pembalasan.

Tak mudah melupakan penghinaan. Juga pelecehan kemanusiaan. Betapapun kerap diri menyuci, fragmen itu kerap saja menyembul. Beragam hal bergilir menjadi penyebabnya. Lalu, ketika diri tak lagi kuasa berdamai, ketika bau anyir dendam sudah menguap menuntut pemenuhan, akankah bau anyir darah yang akan menjadi penyucinya? Haruskah anyir dibersihkan juga oleh anyir? Haruskah hina berbalas dengan hina? Haruskah mata digenapkan oleh mata?

Dendam memang mendatangkan kenikmatan. Ia adalah penjaga setia yang tak akan membiarkan kita terlelap sebelum terlampiaskan. Ia adalah kayu bakar yang tak pernah lelah menerbitkan bara untuk menghanguskan. Ia adalah topeng jelita yang tak akan pernah melepaskan kecupan sebelum ritual balas rampung dituntaskan. Dendam tidak mengenal jalan pulang. Ia adalah pengelana yang tiada mengenal ujung. Mengikutinya, bersiaplah, untuk mendaki tanpa pernah menurun. Untuk mencebur tanpa pernah mengeringkan diri.

Bau anyir dari kelebatan foto itu adalah pertanda keberadaan dendam. Cukuplah aku menenggak anyir penghinaan itu. Cukuplah aku menggelandang menanggungkan aroma anyir itu mengendam di dalam jiwa. Tak akan aku tambah anyir itu dengan busuk dendam tiada berkesudahan. Anyir kenangan foto itu bukanlah berasal dariku. Aku hanya menanggungnya. Sedang, apabila mengalir anyir dari dendam, itulah anyir dari busuk aromaku. Meski aku menggelandang menggandeng anyir, setidaknya, Tuhan dan ia tahu, anyir ini adalah ludah seseorang yang aku tanggungkan. Jiwaku tidak menerbitkan aroma ini.

Kepingan fragmen foto yang hadir di sore ini, itulah ufuk yang menerbitkan semburat anyir.

Friday, March 5, 2010

Matikanlah daripada Menggelandang

1
Seperti layar, tak terlihat setitik pun huruf atau sekadar pendek coretan di pikiranku. Kosong. Melompong. Hampa. Seperti tuts piano yang terdiam. Rupanya elok sungguh. Tetapi, tetap, tidak menghasilkan bunyi nada. Meski lirih satu not sekalipun.

2
Semuanya baik-baik saja. Itu apabila kamu akan berucap bahwa mungkin ada sesuatu yang mengganggu pikiran atau perasaan. Everything is all right. Keseimbangan itu tetap ada. Kesinambungan waktu tetap terjaga. Pintu kantor tetap membuka. Kasur di rumah masih menanti setia. Dan, tak jua ada pertempuran yang meledakkan jiwa maupun pikiran.

Seperti hamparan air, semua terbaring tenang. Tak ada riak. Tak tersaji percik gelembung. Apalagi amuk bongkahan ombak.

3
Tapi, sungguh, aku tidak merasa hidup sekarang. Saat ini. Hidungku menghirup. Mata mengedip. Jantung tetap berdegup. Hanya, tak ada rembesan hasrat yang meletup. Aku telah mati. Raga yang berjalan tak lebih dari onggok petasan gagal dinyalakan. Ia terberai. Tegak berdiri, memang. Tapi dengan sumbu yang telah hilang. Atau, jika tersisa sedikit, ia sudah tak dapat dinyalakan.

Lalu, apa guna mesin keren bila tak mampu dinyalakan. Apa guna Ferrari Lambhorgini apabila ia mogok untuk dilesakkan. Apa juga guna bibir seksi bila ia tak dapat dicumbui..

4
Aku, mungkin juga, telah mati dalam kehidupanku. Dan, mati sebelum kematian, hidup tanpa kehidupan, tidak kah itu lebih tragis dari kematian itu sendiri. Jasad yang menggelandang tanpa letup hasrat, organ yang bekerja hanya demi menopang raga tanpa makna, haruskah ia tetap dipertahakankan keberadaannya?

5
Matikanlah aku apabila itu dapat menemukan kehidupanku kembali. Menghilang untuk kembali datang, mungkin, lebih elok daripada tetap menggelandang.

6
Tapi, maaf, aku tidak ingin menandatangani kesepakatan dengan setan..

Hening dalam Gaduh

1
Hidup, dalam segala rupa dan wujudnya, pada akhirnya, adalah medium pencarian jalan untuk menemukan rasa aman dan nyaman. Pencarian itu, mungkin saja, menghabiskan sebagian besar hidup manusia. Meski, tetap saja ada, beberapa orang yang telah mendapatkan aman dan nyaman dalam bilangan kecil masa hidupnya.

2
Saat terlahir, manusia menyisir jalan dari rahim hingga menyembul ke bumi, hanya seorang diri. Sejak masih dalam penciptaan, manusia telah lekat dengan aroma kesendirian. Ia menantikan pergantian fase darah menjadi daging, membentuk struktur organ, hingga membulat utuh mewujud sosok manusia, dengan tanpa alun atau canda teman. Di awal keberadaan, manusia mendiami rahim tanpa suara. Menendang tanpa bercakap. Menyusu tanpa berteriak meminta.

3
Dan, ketika terlahir, Tuhan menyempurnakan sifat kesendirian manusia dengan keriangan guyup dengan sanak saudara. Demi mendapati dunia dan tatapan mata yang masi asing, Tuhan memberikan kekuatan kepada bayi untuk meledakkan tangisnya, memulai awal periode kegaduhan. Saat kelahiran, sesungguhnya, adalah transformasi dari keheningan menjadi kegaduhan. Hingga, kemudian, lengkaplah sudah: manusia terberkati oleh kesendirian dan kebersamaan. Sesuatu yang, kemudian, oleh ahli ilmu sosial dikenal sebagai ‘makhluk pribadi dan makhluk sosial’.

4
Kegaduhan menarik manusia untuk mendekati keserakahan, membangun peradaban dengan hiruk pikuk persekongkolan.

5
Keheningan, acap seiring dengan kesendirian, keteduhan, dan memberikan kehangatan tak terucap yang membawa manusia pada dalam makna fitrah keberadaan.

6
Lalu, haruskah keduanya terpisah dan dipisah dalam sekat-sekat baja ruang dan waktu kehidupan?

7
Keheningan, tak disangka, acapkali, datang bersamaan bersama kegaduhan...

Thursday, March 4, 2010

Wake Up Mr. President..

Pagi. Hari yang lain telah datang. Menggantikan hari yang terlewat. Apapun rasa yang tersaji kemarin, mari tetap melangkah, mengikhtiarkan kebaikan di setiap hari yang tersaji.

Hoaamm.. Kantuk, sebenarnya, masih mendera mata. Tetapi, tugas harus ditunaikan. Tombak musti disandang. Baju zirah dikenakan. Meski, tiada iringan terompet, iringan ke medan tugas harus tetap diberangkatkan.

Satu laga peperangan usai sudah. Opsi C telak mengalahkan opsi A. Berteriak, menari, menghujat, bernyanyi, semua lengkap tersaji. Tidak hanya oleh kubu C, juga kubu A. Hanya, soliditas kubu C patut diapresiasi. Bahkan, balkon pun elok mereka kuasai. Apabila ada yang relatif sama, semua, seperti yang selalu terdengar, dilakukan atas nama rakyat. Demi menelisik kebenaran. Demi lebih erat mendekap suara Tuhan.

Apa yang terjadi, kiranya, sudah jelaslah sudah. Alam dan rakyat mempunyai cara untuk menilainya sendiri. Keseimbangan alami yang ada, tak membutuhkan hiruk pikuk untuk tetap mengendalikan laju jalan harmoni kehidupan. Tak perlu pembelaan. Tak perlu klaim kepemilikan kebenaran. Tak perlu juga paspor teriak atas nama perwakilan.

Opsi A atau opsi C, muaranya tetaplah sama. Keputusan politik tetaplah berbeda dengan keputusan hukum. Meski pedang keadilan (masih) tetap kerap patah tertumpulkan, telisik hukum tetaplah lebih terpercaya dibandingkan kegaduhan politik yang tetap tak mampu lepas dari jerat nafsu kepentingan.

Apa yang terjadi, selalu menghadirkan manfaat bagi mereka yang bersedia belajar. Untuk sebagian, heboh Century mampu menaikkan rating mereka. Sebagian lagi, kisruh ini menjadi luluran make up yang (sejenak) mampu menyembunyikan bopeng sejarah perilakunya. Bagi pemerintah, peperangan ini kiranya mampu meruntuhkan premis yang dibangun ketika memutuskan membangun koalisi.

Kesalahan, sebenarnya, bukan ada pada partai koalisi yang dianggap membangkang. Kesalahan, apabila kita jernih menelisik, ada pada presiden yang terlalu menginginkan harmoni. Alam bekerja dengan mekanisme keseimbangan. Fitrah alam meniscayakan keberadaan check and balances. Pengingkaran terhadap fitrah alam, hanya akan melahirkan kegaduhan dan kerusakan.

Tugas pemerintah adalah untuk bekerja demi kemaslahatan umat. Tugas parlemen, seperti jelas tercantum di konstitusi, adalah sebagai media penyeimbang. Kekuatan kritis yang mengawasi laju jalan pemerintah. Pencampuran di antara kedua senyawa tersebut, betapapun baik niatan yang disangkakan, tetap akan melahirkan ketidakseimbangan. Kebaikan, seperti esensi demokrasi, tidak dibangun di atas jalan mayoritas absolut. Kebaikan, seperti yang tertutur di setiap kitab suci, dibangun diatas jalan kebenaran dan keberpihakan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keluhuran.

Kisruh Century mengajarkan kepada kita bagaimana kebaikan yang diupayakan di jalan mayoritas absolut hanya akan terberai dalam pecah keping kepentingan. Pencampuran fungsi, pengingkaran terhadap fitrah keberadaan, pada akhirnya, akan melahirkan ketidakseimbangan yang justru berbalik menghancurkan.

Bapak Presiden, cukuplah sudah. Pimpin kami dengan tegak keberanian dan kemuliaan harga diri. Bekerjalah dengan istiqomah. Tegakkan konstitusi. Tak perlu lama mencoba eksperimen mencampur senyawa-senyawa pilar penopang demokrasi. Lepaskan koalisi. Kembalikan PKS dan Golkar (hanya) sebagai penghuni parlemen. Apabila kebijakan Anda nantinya kembali digoyang, tak usah takut. Asalkan kebenaran itu ada, selama Anda tidak menyimpang, selama kesejahteraan dan kemuliaan rakyat benar-benar menjadi tujuan Anda, tak perlu koalisi untuk membela. Rakyat akan berbaris di belakang Anda --tanpa perlu 40 ribu dan sebungkus nasi padang.

Bangunlah mister Presiden. Peperangan (mungkin) telah usai. Tetapi pertempuran tetaplah masih panjang. Apa yang dilakukan dengan cinta, bagaimanapun dihalangi, selalu, akan tetap berbalas dengan cinta.