Saturday, December 29, 2007

Y

Photobucket

Kata itulah yang pertama kali muncul di kepala ketika sebuah kenyataan tidak seperti yang kita perkirakan sebelumnya. Ketika sebuah peristiwa tidak menyenangkan terjadi, kita terusik untuk mencari tahu sebabnya. Ketika sebuah kepedihan merajam, kita melolong untuk mengoyak fakta di baliknya. Sebenarnya tidak hanya dalam artian negative, pertanyaan ini pun seharusnya muncul ketika peristiwa baik terjadi pada kita. Tetapi, untuk yang terakhir ini, kita jarang melakukannya. Peristiwa baik cenderung kita terima tanpa Tanya. Kalau tidak ada penyesalan, kenapa kita harus meributkannya? Demikian mungkin yang kita anut selama ini.

Wajah ayu aktris muda itu mendandak menjadi basah ketika lelaki yang dicintainya kedapatan tidur dengan wanita lain. Dan setelah sebuah tamparan yang ia hadiahkan kepada lelaki tersebut, bibir mungilnya terbuka untuk mengucap sebuah kata: why?

Dalam sebuah temaram bilik warnet, lelaki muda itu lama terdiam ketika sang kekasih mengurai hasratnya untuk bekerja di luar negeri. Kesepian yang menganga. Kesendirian yang mengiris. Kehampaan yang melilit jiwa. Semua berkelebat bergantian di benak pemuda tersebut. Dengan tatapan kosong ke arah wajah yang teramat dia cinta tersebut, mata pemuda tersebut pun mengurai sebuah tanya: why?

Cinta memang kerap melahirkan berbagai tanya. Wajahnya yang senantiasa menyamar. Ketidakpastian yang selalu menghadang, membuat jiwa tak pernah luput dari kerubutan berjuta tanya.

Mengapa?

semoga bahagia

Photobucket

untuk seseorang..
semoga sabtu itu membawa bahagia buat kamu

Uji

Photobucket

Ada kesedihan menyayat ketika aku membaca deret baris sms itu. Sesaat setelah hp bergetar, segera setelah layar menghadirkan kata, setelah membaca, segera ngilu itu merambat lirih. Tidak lebih dari 5 baris. Tapi kesakitan yang aku dera tidak juga hilang bahkan setelah 5 jam sesudahnya.
Apa lagi yang lebih buruk selain mendengar kabar menyedihkan? Dan apa lagi yang lebih buruk dari buruk ketika kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk sekedar memperbaikinya? Atau hanya sekedar berdiri tegar menatapnya. Ingin aku menatap kata itu dengan teguh, dengan ketegaran yang tetap teruntai utuh, tapi sia-sia saja meski aku sudah mencoba. Hati ini tidak kuat. Pendirian ini langsung luruh. Dan kaki yang sebenarnya masih utuh, terasa luruh lebur menghilang. Aku tiada terhuyung memang. Tapi kedirian diri ini telah hilang. Kekuatan batin ini telah tergerus mengerut. Dan alih-alih tetap bertegar menantang, aku memilih untuk berlari sembunyi. Beringsut menghindar. Menjauh dari kekacauan yang belum berani aku tanggungkan.
Aku mengalami kelelahan yang akut. Gerimis coba membuat hatiku perlahan menciut. Benar aku diajarkan untuk berterima bahwa cobaan adalah tanda cinta Tuhan kepada manusia. Bahwa semua yang hadir adalah tempaan Tuhan untuk membuat kita menjadi lebih kuat. Mengasah pribadi kita, menggoyangkan kekotoran yang menyelimuti jiwa kita, dan memunculkan kemilau mutiara jiwa dan kalbu kita. Benar juga aku diajarkan bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari scenario indah yang ditulis Tuhan untuk kita. Dan yang perlu kita lakukan adalah berpikir positif. Bahwa Tuhan tidak pernah mendendam kita. Bahwa semua yang terjadi adalah untuk kebaikan kita. Bila bukan di dunia, sejatinya adalah untuk di akhirat nanti.
Tapi bagaimana bila berita buruk itu datang bagai gelombang? Apa yang kita sangkakan sebagai ombak terakhir ternyata masih bagian dari permulaan? Dengan cadangan apa kita masih bisa menancapkan kaki dengan angkuh di bibir pantai hidup ini?
Ya Allah, sebagaimana Engkau menguatkan aku, kuatkan juga keluargaku, orang-orang terdekat yang senantiasa melingkari hatiku.
Ya Allah, jadikan aku manusia yang tetap memelihara iman dan berperasangka baik, seberat apapun coba darimu.
Terima kasih ya Allah, untuk semua yang telah Engkau berikan kepada hamba. Terima kasih. Alhamdulillahirabilalamin.

Karena aku adalah bajingan..

Photobucket

Pada akhirnya, aku tersadarkan, bahwa yang kuperlukan bukanlah sosok perempuan. Aku hanyalah seorang bajingan. Dan sepertinya, bajingan tidak pernah bersandingkan dengan perempuan. Bajingan tidak memerlukan hati. Tidak peduli dengan air mata. Tidak mengenal arti cinta. Bajingan hanya butuh setetes air liur. Sehentak nafsu. Selarut kenikmatan yang bisa membuatnya melolong. Meraung. Untuk memelihara nalurinya sebagai seorang bajingan.

Pun ketika ia mencoba datang menjelang. Terentang tangan itu kemudian menutup jua dengan kasar. Larit bibir yang menyungging senyum berganti serangai menakutkan. Desah yang pernah mendengungkan lemah. Sontak larut ketika taring sangar itu telah terpasang. Bajingan tidak boleh tersenyum. Apalagi melumuri hatinya dengan remah tamah cinta. Bajingan hanya boleh membunuh. Bajingan hanya boleh menyiksa. Bajingan hanya boleh berbuat dosa.


Hari ini aku masih ingin sebagai bajingan.

Setelah ini, lalu apa?

Pernah kita merasa telah melangkah jauh. Menyeret kaki menempuh berpuluh kilo. Atau mungkin mil. Tapi ketika kita menengok ke belakang, ternyata kita tidak membawa apa-apa. Atau mungkin lebih tepat, tidak mendapatkan apa-apa.
Yang kita lakukan kemudian adalah terdiam. Duduk termenung. Menatap guratan tanah menghitam. Sesekali pandangan terangkat menerawang. Gundah, pastinya, berlarian memenuhi jiwa kita. Selarit, bahkan berlarit-larit sesal, tentulah terlahir membuncah. Ada sebagian dari kita mungkin kemudian melompat berteriak. Histeris. Menangis.

Hidup, bagaimana pun juga, apapun yang terjadi, adalah rangkaian siang dan malam yang muncul bergantian. Entah kita siap menanggungkan atau bukan, gelap akan selalu menggantikan terang. Kita tidak bisa terduduk terdiam di suatu waktu. Memaksa waktu untuk berhenti. Memaksa untuk siang terus menampakan terang. Atau mengancam malam agar tetap menggelar gelap. Waktu selalu berputar dalam lingkarannya yang konstan. Mau atau tidak, kita juga harus bergulir mengikutinya. Luruh dalam pergantiannya.

Apa yang kita tanggungkan sekarang mungkin tidak sama dengan ketika pertama ia kenakan. Pertalian cinta kita dengan seseorang, hubungan pertemanan, kisah karier, studi, semuanya, pastilah tidak sama dengan ketika waktu pertama kali bersinggungan. Kehangatan cinta menjadi semakin berkurang, aroma teman bisa semakin menipis atau menebal, dinamika karir bisa berhenti atau berlanjut. Seringkali ketika kita berhenti, mencoba mengeja ulang, melihat ke belakang, kita terkejut, betapa banyak perubahan yang telah terjadi. Betapa tangan yang awalnya mendekap erat, perlahan mulai mengendur. Sebagian masih setia melingkar, sebagian pamit berurutan menghilang. Karir yang semula redup mendadak membuncah terang. Atau teman yang semula akrab, mulai termakan virus-virus kehidupan.

Tapi, itulah, tiap kita berhenti, mencoba menelaah apa yang terjadi, pasti selalu terjadi berbagai perubahan. Sebagian menyenangkan. Sebagian, dan yang sering terjadi, adalah menyesakkan.

Ketika waktu jeda menghilang, seharusnya perjalanan tetap diteruskan. Beban kembali kita sandang. Pakaian kembali dikenakan. Belit jaring kehidupan kembali kita tanggungkan. Dan, memang demikianlah seharusnya. Tidak seharusnya tempat peristirahatan malah membuat kita tidak kunjung beranjak. Tidak sepantasnya tempa menatap napas, malah menjauhkan kita dari masa depan.

Kita sekarang terdiam untuk melihat kebelakang. Menanyakan lalu apa setelah ini. Dan entah jawab itu sudah ada atau tidak, perjalanan tetap musti dilanjutkan. Tikungan di depan tetap musti ditempuh. Hujan tetap musti dirasakan. Dan berbagai keajaiban tetap menunggu untuk disibakkan.

Selamat tahun baru 2008. Semoga anda mengalami perjalanan yang menyenangkan.