Thursday, February 18, 2010

RPM Konten Multimedia: Harmonisasi berujung Tirani

Menteri Tifatul, seperti Percy Jackson dalam serial Percy Jackson & The Olympians, sedang suka bermain petir. Setelah beberapa waktu lalu melemparkan RPP Penyadapan, Tifatul kembali mengayunkan petir melalui rencana penerbitan Peraturan Menteri tentang Konten Multimedia. Uji publik RPM Konten Multimedia menghadirkan banyak kecaman. Kebebasan berpendapat, atas nama formulasi tunggal harmoni kemaslahatan, sedang menuju lembah pengekangan. Dalam negeri yang mengklaim menganut demokrasi, haruskah kebebasan selalu dipertentangkan dan dikejar-kejar untuk dimasukkan ke dalam bakul otoritas kekuasaan?

Cacat Kelahiran
Setidaknya, ada dua hal yang bisa digunakan untuk melihat legal tidaknya keberadaan RPM Konten Multimedia ini. Pertama adalah dari segi landasan hukum keberadaan, dan kedua dari segi substansi muatan. Hirarki peraturan perundangan, seperti diatur dalam pasal 7 UU 10 tahun 2004, tidak mengenal adanya Peraturan Menteri. Meski demikian, tidak lantas Peraturan Menteri hilang dari hirarki hukum positif. Pasal 7 dan UU 10 tahun 2004, apabila dibaca berdasarkan interpretasi dan logika hukum, tidak bersifat limitatif. Setiap pejabat negara, dimungkinkan untuk membentuk peraturan perundangan dengan kewenangan atributif atau kewenangan delegatif/derivatif. Dengan payung kewenangan atributif, menteri dapat mengeluarkan Peraturan Menteri berdasarkan kekuasaan delegasi yang diamanatkan oleh peraturan hukum yang lebih tinggi, seperti Undang-Undang. Di samping kewenangan atributif langsung dari Undang-Undang, kemunculan Peraturan Menteri juga dapat berasal dari sub delegate legislation, Undang-Undang memerintahkan kepada pemerintah, dan kemudian pemerintah mendelegasikan kewenangan tersebut kepada menteri.

Mencermati konsideran yang digunakan dalam penyusunan RPM Konten Multimedia, tidak ditemui pasal Undang-undang atau Peraturan Pemerintah yang dapat digunakan sebagai cantolan hukum kelahiran RPM tersebut. Tidak ada pasal dalam UU Penyiaran, UU Pers, ataupun UU ITE yang memerintahkan kepada menteri, atau bahkan delegasi langsung kepada pemerintah, untuk menerbitkan aturan turunan tentang Konten Multimedia. Jelas terlihat, menteri Tifatul sedang melakukan akrobatik kewenangan di sini. Seperti Percy Jackson yang masih gagap mengendalikan kekuatan petir yang tiba-tiba ia punya, Tifatul pun tak kalah kerepotan mengendalikan kekuatan yang mendadak ia punya. Sang Menteri masih kagok, ia belum terbiasa bermain petir.

Substansi RPM
Hal pertama yang sangat dilematis mengenai RMP Konten Multimedia adalah: apakah persoalan mendasar mengenai hak asasi manusia untuk berpendapat, berekspresi akan diatur dan dibatasi oleh peraturan sekelas Peraturan Menteri? Pasal 28F UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, berhak memperoleh, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Pasal 28 UUD 1945 terang benderang mengatur bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Akibat tidak tepat dari segi wujud, pembatasan hak asasi manusia oleh Peraturan Menteri, jelas akan berbenturan dengan kebebasan berpendapat yang secara tegas diatur dalam UU Pers dan UU Penyiaran. Dua Undang-undang tersebut, secara ironi justru dijadikan konsideran kelahiran RPM Konten Multimedia. Hukum dasar perundangan, bahwa perundangan lebih tinggi mengalahkan perundangan lebih rendah, membuat Peraturan Menteri tak akan mempunyai daya ketika diadu dengan Undang-Undang dalam judicial review oleh Mahkamah Agung.

Terlepas dari lemahnya alasan hukum keberadaan RPM Konten Multimedia, hal paling mendasar yang patut disayangkan dari kemunculan RPM ini adalah masih adanya pemikiran untuk mengambil otoritas kebebasan individu oleh negara. Meski tidak selalu bergandeng tangan, demokrasi, paham yang menjunjung kedaulatan rakyat, sangat berkait erat dengan penghormatan atas kebebasan individu. Di negara yang menganut demokrasi, kebebasan individu mendapatkan pengakuan dan dijamin sepenuhnya oleh konstitusi.

Negara seharusnya tidak terlalu jauh turut campur mengatur urusan pribadi warga negara. Ada pembatasan yang jelas mengenai apa yang diatur oleh negara dan wilayah mana yang menjadi milik masyarakat. Demokrasi yang telah dewasa mempercayai bahwa tiap pribadi warga masyarakatnya mampu memilih nilai yang terbaik bagi kemuliaan dirinya sendiri. Apabila masyarakat dipaksa terjerumus ke dalam mediokritas kolektif, maka nilai-nilai pembentuk peradabatan seperti kreatifitas, spontanitas, ataupun daya imajinasi akan terkebiri. Proses pendewasaan akan mandek. Masyarakat menjadi bayi yang selalu disuapi mengenai apa yang terbaik. Dengan dalih kebebasan positif demi tercapainya suatu tatanan ideal yang selaras dan harmonis, negara justru terjebak ke dalam despotisme dan tirani.

Tidak mudah memang untuk merumuskan batas kebebasan. Akan tetapi, dalam demokrasi, kebebasan individu akan menemukan batasnya apabila ia sudah mengancam kebebasan orang lain. Dan, dalam rangka menuju masyarakat yang dewasa, satu dua tiga kali memilih sesuatu yang salah, adalah lebih baik sebagai proses pembelajaran, dibandingkan dengan dicocok hidungnya untuk diarahkan memilih yang telah dipilih oleh otoritas negeri. Masyarakat yang dewasa adalah masyarakat yang lahir dari proses belajar. Individu yang tumbuh dalam suasana penuh dengan larangan, tidak akan pernah tumbuh menjadi dewasa. Sesuatu yang dilarang, dalam segala bentuknya, hanya akan makin menumbuhkan rasa penasaran dan keinginan untuk melanggarnya.

Dualisme liberalisme
RPM Konten Multimedia, dalam spektrum yang lebih luas, menunjukkan dualisme pengelolaan negara oleh pemerintah. Di satu sisi, dalam dunia yang telah menjelma menjadi kampung global, pemerintah melakukan liberalisme di sektor ekonomi dan perdagangan. Sektor yang mengurusi hajat hidup orang banyak, dengan alasan memacu anak negeri menjadi lebih tangguh dan mandiri, dibuka bebas bercampur baur dengan komoditi luar negeri. Sejak Januari 2010, dengan berlakunya CAFTA Agreement, pojok pasar di seluruh negeri tak jauh beda dengan sudut pasar di China, Bangkok, atau Thailand. Keterbukaan pasar, dengan segala konsekuensi dan harga yang musti dibayar, cukup terbukti mampu mendorong perekonomian.

Negara terbukti tak berdaya melawan tuntutan dunia untuk masuk ke dalam perdagangan bebas. Lalu, atas dasar apa, pejabata sekelas menteri berani menerbitkan peraturan yang dimaksudkan memutus komunikasi masyarakat ke dalam jejaring global? Perdagangan dan industri memerlukan dukungan infrastruktur berat seperti jalan, listrik, pelabuhan, bandara, dan konstruksi material lain. Sedangkan komunikasi global, atau internet, hanya memerlukan sambungan data yang, dalam segala hal, lebih mudah diwujudkan dibandingkan infrastruktur penunjang perdagangan. Dengan adanya pasal yang dimaksudkan untuk menjerat pengelola layanan konten multimedia, akankah negara mempunyai daya ketika harus bertarung melawan Google, Wordpress, Blogspot, atau penyedia layanan lain yang secara legal tidak berada dalam otoritas hukum Indonesia?

Jalan menuju surga tidak selamanya dibangun atas dasar niatan baik. Demikian bunyi sebuah diktum. Harmoni kedamaian masyarakat tidak akan lantas terbangun dengan pembatasan konten multimedia. Pengambilan hak individu oleh negara, atas nama apapun, hanya akan melahirkan apatisme dan menarik negara kembali ke era tradisional dan kegelapan. Kemajuan peradabatan tidak dibangun oleh serangkaian peraturan berlabel ‘tidak’, tetapi pemberian kepercayaan kepada masyarakat disertai dengan penegakkan hukum yang konsisten adalah jalan keluarnya.
Apabila dalam perjalanannya menjadi dewasa ternyata dijumpai penyimpangan atau kesalahan, ada lembaga peradilan, dewan pers, komisi Ombusman, atau kode etik jurnalistik, yang secara konstitusi sah untuk menindak. Pembuatan aturan dan badan baru, hanya akan semakin membawa negara ini ke dalam labirin birokrasi yang makin ruwet tiada berujung.

Masyarakat telah semakin dewasa. Keberhasilan melewati transisi demokrasi, proses pemilu yang berjalan aman, dan rasionalitas yang tetap terjaga ketika melewati kisruh antara lembaga tinggi negeri, menunjukkan tingkat masyarakat yang semakin matang. Tak seharusnya pemerintah meremehkan kedewasaan masyarakat negeri ini. Sebagai negara hukum, mari kembali kepada konstitusi sebagai sumber perundangan tertinggi. Hak mengeluarkan pendapat adalah hak asasi yang tidak boleh dihilangkan dengan alasan apapun juga. Dan apabila harus dibatas, kemuliaan kedudukan hak asasi, hanya pantas dipagari dalam peraturan dalam bentuk undang-undang.

Dalam sebuah artikelnya, Rizal Mallareng memulai dengan pertanyaan: kapan saya bisa berkata bahwa saya orang bebas? Jawaban atas pertanyaan sederhana ini bisa mengubah arah sejarah. Semoga menteri Tifatul dapat memahami bahwa kebebasan manusia membuatnya memiliki banyak keinginan. Serangan bertubi kebebasan positif atas kebebasan negatif, terbukti tidak mampu menurunkan derajat kebebasan negatif sebagai sebuah falsafah kebebasan. Pengingkaran terhadap kebebasan untuk memilih, dan percaya berlebihan terhadap formula tunggal untuk mengejar harmoni, justru akan mengingkari fitrah manusia itu sendiri. Semoga juga sang menteri, seperti halnya Percy Jackson, dapat bertindak arif sehingga upaya membangun peradaban di negeri ini tidak berujung pada despotisme dan tirani.

Monday, February 15, 2010

Valentine, Milik Siapa?

1
Dua hari terakhir, di sepanjang jalan Rawa Belong, seperti halnya di tempat lain, warna Pink sedang berkuasa. Bagi yang mempercayai, cinta, saat itu, sedang menemukan perwujudannya. Empat belas Februari, sekali lagi bagi yang merayakan, adalah waktu dimana cinta diwadahkan kembali dalam indah perayaannya.

Seperti produk yang telah menempuh daur hidup, cinta perlu disegarkan kembali. Seperti gubuk yang telah lapuk, komitmen dan hasrat perlu digelorakan lagi. Dan bagi yang mempercayai seremoni, momentum Valentine, adalah titik dalam konstruksi kalimat yang menghadirkan saat tepat untuk melakukan jeda. Mengamati kembali saat yang telah terlewat. Meneguhkan kembali kehangatan yang, mungkin, sempat terkoyak. Valentine, bagi yang merayakannya, adalah cawan yang menawarkan vitalitas cinta dan rasa.

2
Adakah Anda merayakan valentine? Atau, percayakah anda akan ritual selebrasi cinta tiap tanggal 14 Februari? Atau, Anda ada di baris mereka yang termasuk menghujatnya?

3
Valentine, seperti halnya produk budaya lain, selalu menyisakan ruang kontroversi. Kehadirannya disangkal, seperti halnya juga kedatangannya dirindukan. Kiranya, tak ada yang tidak membutuhkan kasih sayang. Keteduhan dan rasa sejuk cinta, tentu saja, dirindukan oleh setiap orang. Tetapi, ketika selebrasi cinta dan sayang itu dipatenkan dan dikomoditikan dalam ritual hari Valentine, banyak yang kemudian tidak mensepakatinya.

‘Valentine tidak perlu dirayakan.’
‘Aku biasa bersayang-sayangan kok tiap hari. Tidak perlu menunggu hari Valentine.’
‘Itu kan bukan budaya kita.’
‘Valentine? Itukan perayaan terhadap kematian St. Valentin. Masak kita memperingatinya?’
‘Budayaku tidak mengajarkan hal itu, kok.’

Dan, berbagai komentar lain tentang penolakan terhadap perayaan cinta di 14 Februari. Bahkan, di beberapa kota, Valentine tidak sekadar dilawan dengan retorika. Koran ramai memberitakan, di kota x, pelajar berdemo menolak hari Valentine. Ia, Valentine, tidak hanya ditolak, tapi juga dihujat. Bagi kumpulan ini, Valentine tidak hanya dipinggirkan, tetapi juga dimusnahkan.

Apakah, memang musti demikian Valentine diperlakukan?

4
Malam minggu Kemarin, aku tidak merayakan Valentine. Bukan karena aku menolaknya, atau menganggapnya tidak sesuai dengan budaya bangsa, tetapi, karena memang tidak ada yang diajak tuk merayakan. Andai ada belahan jiwa, mungkin, aku akan melewatkan malam itu dengan bersulang anggur putih, menikmati daging ayam, sambil berdendang mendengarkan suara alam di sebuah tenda di hamparan putih pasir pantai.

Aku memandangmu ketika para dewa sedang bertaruh untuk menjadi yang pertama agar mampu menepikan hamparan lentik rambutmu yang berderap terjuntai menutupi lentik-lentik tatap teduh cahaya matamu..

Aku mendapati hangat senyummu ketika dua dewa terakhir masih saja bertempur untuk hanya sekadar dapat merasakan hangat ruap aroma tubuh dan pancaran bening kulimu..


Hm.. sepertinya, rangkaian nada itu tak terlalu buruk untuk sedikit menggelorakan rasa di malam Valentine. Hanya saja, malam itu, aku tidak merayakan valentine.

5
Valentine bukanlah budaya kita. Itu memang benar. Valentine, tertebak dari katanya, menjadi muncul untuk mengabadikan perwujudan cinta Santo Valentine. Kisah cinta yang menyentuh puncak-puncak penghayatan, dengan kepenuhan jiwa dan rasa seorang pecinta, membuat Santo Valentino rela menanggungkan segala rasa demi kesetiaan terhadap kekasihnya. Heroisme selalu menyajikan legenda. Dan legenda, seperti halnya kemuliaan lain, selalu mendapatkan caranya sendiri untuk tetap abadi bertutur kepada generasi berikutnya.

Cinta Santo Valentine, mungkin, tidak lebih heroik dari kegilaan cinta Majnun kepada Laila. Atau juga bentuk bunuh diri Romeo demi menyandingkan Juliette. Dan, apabila kenapa kemudian, Valentine yang terpilih untuk melegenda, ini tak lebih dari bentuk keberhasilan komunikasi bangsa Barat. Seperti halnya komoditi import lain, Barat berhasil menjual kisah Valentine dalam perwujudkan seremoni hingga melahirkan tanggal 14 sebagai hari kasih sayang.

Valentine, jelas, bukan produk kita, bangsa Indonesia. Tetapi, apakah kemudian kita lantas menolak dan menghujatnya? Mungkin, kita perlu sedikit lebih arif. Apabila alasan ini yang kita pakai untuk mendiskreditkan hari Valentine, siapa yang dapat bilang bahwa Fb, Twitter, McD, Pizza, Blue Jeans, Sanyo, Toyota, Honda, adalah budaya Indonesia? Terlebih, siapa yang berani berkata bahwa pemilu, demokrasi, parlemen, adalah budaya bangsa Indonesia?

Lalu, lantaskah kita menolak dan menghujat Fb, Twitter, YM atau Mac Book Air hanya karena ia bukan produk Indonesia? Nah, lho.

Valentine, Mac Book Air, Acerh, Fb, Friendster, memang varian yang berbeda. Hanya, apabila alasannya adalah produk kita dan bukan produk kita, maka penolakan dan penghujatan Valentine, di satu sisi, dan pemujaan Fb dan Twitter, di sisi lain, menunjukkan ketidakkonsistensian kita. Apabila parameter yang dipakai adalah budaya Indonesia, maka tidak hanya Valentine yang ditolak dan dihujat, semua yang tidak bersumber, diciptakan, dan digali dari nilai-nilai luhur bangsa, atas dasar apapun, tidak layak diterima dalam peri kehidupan masyarakat kita.

Tetapi, adakah Fb dan Twitter ditolak? Adakah Mc Donalds, KFC dilarang berdiri? Adakah Levis, Cardinal, Versace, Armani, dilarang membungkus kulit pribumi?

Dalam dunia yang telah menyempit menjadi kampung global, pengkotakan antara kita dan yang bukan kita, sungguh tiada relevan lagi. Ketika arus informasi demikian mudah menyusup ke dalam tiap-tiap rumah penduduk negeri, klaim terhadap kemurniaan dan kemuliaan pribadi sungguh teramat sulit untuk dipenuhi.

Globalisasi membuat batas negara mengambang. Negara tak lagi hadir dalam sebuah lingkaran mampat tanpa lubang. Benteng negara telah runtuh. Ambrol tiada sisa. Pada titik ini, tak lagi ada klaim terhadap kemurniaan budaya. Budaya, dalam berbagai tingkatan, mengalami proses asimilasi. Negara tak lebih menjadi sebuah mangkuk besar. Di dalamnya mencampur setiap budaya dari segala macam peradaban. Dan, filter terakhir dari pertentangan budaya ini, bukanlah otoritas negara, tetapi pemaknaan pribadi akan nilai-nilai mana yang akan dipakai untuk menghiasi diri.

Dalam dunia yang menyempit menjadi kampung global, otonomi negara menjadi tiada. Otonomi luruh kepada satuan masyarakat terkecil, individu. Penguasaan diri pribadilah yang kemudian menentukan mana budaya yang sesuai dengan nilai, keyakinan, dan gaya hidup, dan mana budaya yang tidak dianggap sesuai dengan identitas dirinya.

Di sini, penolakan terhadap Valentine, bukan diletakkan pada konteks: ia bukan budaya kita, tetapi lebih pada karena alasan: maaf, aku tidak merayakannya. Klaim terhadap budaya, tidak menjadi kekuasaan negara atau masyarakat, tetapi telah menjadi hak otonom tiap pribadi warga negara. Manusia universal, seperti pandangan Hegel, adalah manusia manusia yang bebas, manusia yang mampu memilih apa yang terbaik untuk diri pribadinya.

Anda merayakan Valentine? Maaf, itu bukan budaya kita.’ Atau:
Anda merayakan Valentine? Maaf, saya tidak merayakannya. Itu bukan nilai-nilai yang saya yakini.

(bersambung)

Friday, February 12, 2010

Benih di Dalam Lift

Jadual rapat yang mirip gerbong kereta api membuatku lesu siang itu. Huff.. andai bisa mengepak sayap, sudah aku lontarkan tubuh menjauhi pintu. Merayapi jendela. Menelusup ke ruang-ruang sebelah sekadar mencuri satu toples cemilan. Hihi..

Setengah agak malas, setengah lagi akibat tubuh lemas, setengah lainnya karena lapar, (kebanyakan setengah ya? Cuekin aja) aku meneguhkan hati menuju ruang rapat. Juga. Akhirnya. Menyusuri koridor, mbak OB suka menyebutnya sebagai zona, menyibak pintu, terlihatlah mas dan mbak penjaga lantai. Mudah saja mengenali sosok para penjaga di gedung ini. Berpakaian biru, pernik ala tentara. Tapi, mereka tidak pelit senyum, kok. Kalau kita mau menyapa, pasti mereka akan segera keluar aura sok akrabnya. Hehe.. entah karena sungkan atau tidak percaya diri, mereka biasanya jarang menyapa duluan. Paling-paling hanya mengunyah senyum dan melempar sebuah lembut anggukan.

Tanda panah ke bawah aku tekan. Menyala-lah lingkar warna merah. Mengapit berkas, manis aku posisikan diri menunggu lift membuka. Ada 7 lift di gedung Nusantara I. Tetapi, di lantai 1 dan 2, lift yang dapat diakses bebas hanya 3. 4 lift lainnya, hanya dapat dibuka oleh pin kuning kecil bergambar Garuda yang menggantung di dada kiri atau kerah jaket bagian kiri.

Lift terbuka juga. 2 orang di dalam. Aku masuk. Tombol lantai 1 sudah menyala. Aku pun hanya memposisikan diri menikmati ayunan lift. Tak lupa juga, hehe..., menyempatkan diri mengaca. Tubuh lift yang dibungkus bening kaca, membuat sifat sok ayu dan cakepku, dan sepertinya juga semua yang naik lift, langsung meluap. Tengak tengok bak di salon. Cengar cengir ke-gr-an. Atau sekadar menata kerah baju yang sebenarnya juga tidak perlu ditata. Hihi..

Lampu panel menunjuk angka 9. Artinya? Masak aku harus beritahu juga. Lift membuka. Perempuan berblazer hitam, stocking panjang menjilati lutut, rambut merona keemasan tersiram pewarna. Di lehernya menggantung aksesoris bulat seperti layaknya bhiksu. Tas, juga berwarna hitam, menggantung di lengan. Dengan handphone ayu terus berkedip dipijit jemari. Di sebelahnya, sosok lelaki juga ikut melangkah memasuki lift. Tak usah aku deskripsikan, deh. Cukup saja dibilang, ia lelaki. Hehe.. Mereka, sepertinya, sedang akrab berbincang. Sisa tawa masih pekat mengambang. Beberapa derainya bahkan terbawa ikut masuk ke dalam lift.

Aku menyiapkan diri. Hehe.. bukan mengaca untuk menggoda. Tetapi, seperti hari-hari yang lalu, kelas di lift selalu saja menghadirkan pemandangan atau percakapan seru. Setengah berdoa, aku usil berharap agar mereka juga membawa topik baru nan segar. Lift menutup. Kotak sakti itu perlahan mulai mengayun kami menuju lantai 1.

‘Dre,’ si perempuan mulai berucap. Aku menebak, mungkin nama lelaki itu Andre, Kodre, atau Condre. Hehe.. gak pentinglah siapa. Yang pasti, Ndre.

‘Aku ulang tahun, lho.’ Sumpah, aku sempatkan untuk menengok wajah perempuan itu. Ayu. Waktu itu, ia agak berkedip kepada si lelaki. Busyet. Aku dan 2 orang lainnya dianggep kemana.

‘Kasih hadiah, dong.’ Aku mengedip ke arah panel. Lantai 7. Hm.. kalo lift ini sebentar macet, kayaknya asyik. Hihi..

‘Mo hadiah apa?’ balas si lelaki. Mereka berdiri bersebelahan. Bagian lengan si lelaki agak mendapat keuntungan karena mengapit lengan si perempuan. Huh, padahal di sebelahnya juga longgar. Lift ini berkapasitas 11 orang. Penghuni saat itu cuman 5. Hehe.., dasar akunya aja yang ngiri.

‘Apa aja deh,’ jawab si perempuan. Nada suaranya? Merajuk. ‘Yang berbekas gitu.’

Whuih, berbekas? Kasih aja tip-ex atau boardmarker, ucap sirik hatiku. Hehe..

‘Berbekas gimana?’ Hatiku makin dongkol. Ini lelaki bego atau emang berpengalaman menggoda?

‘Yang berbekas. Biar berkesan,’ ringan jawab si perempuan. Tangannya memainkan ujung rambut kuning ‘trio macan-nya’. Rambut itu bergelombang. Huh.. mengingatkanku akan Taylor Shift aja.

‘Hadiah apa?’ Halah.. beneran bego ni cowok.

‘Apa aja deh. Yang penting bukan benih.’

Hah.. Panel menunjuk lantai 3. Hidup memang aneh, kadang. Pas lagi gak ada yang seru, lift berhenti di tiap lantai. Eh, pas lagi ada topik hot gini, lift nyelonong mulus tanpa hambatan.

Benih? Busyet.. Emang di gedung ini juga melayani profesi bercocok tanam ala nun jauh di kampung bapak sana. Seingatku, di sekitar memang ada lahan kosong. Tetapi, tidak dijadikan sawah atau ladang, kok. Lahan kosong itu justru ditanami gawang di kedua sisinya. Iyalah, la wong itu lapangan bola.

Benih? Haha.. aku gak selugu dan senaif itu kok. I know what she meant. Tapi, yah, belum ada kelanjutan jawaban dari si lelaki, lift sudah membuka. Aku tengok panel, lantai 1. Gosh... kenapa gak terjadi terjadi gangguan sesaat. Pintu lift gak membuka atau tiba-tiba ada yang menarik ke atas lagi. Hehe.. dasar, pemimpi.

Kita pun keluar sudah. Entah apa yang terjadi dengan transaksi ‘persawahan’ itu. Ketika kemudian, aku mendapati si cewek juga terlihat di ruang rapat, aku tak punya cukup alasan untuk menindaklanjuti urusan perbenihan tadi. Tinggal ditunggu saja. Andai, kemudian ada ayu padi yang menguning, berarti benih telah disemaikan. Dengan catatan, tidak ada hama atau tikus yang mengganggunya. Atau juga, burung iseng yang merusak konsentrasi bertumbuhnya. Hehe..

Monday, February 8, 2010

Waktu yang Membeku

Waktuku membeku. Padat. Mengkristal tak kemana. Tak lagi ia mengalir seperti hujan. Atau pun, sekadar, menggelinding seperti ayunan. Tertambat ia pada satu ruang. Tersangkut tak kemana. Entah, jua, menunggu apa.

Tak banyak yang tersangkut. Seperti, halnya juga, tak banyak yang terangkut. Waktu mungkin berlari. Tapi dengan keranjang yang mengepis. Bukan karena ia tiada mengembang. Tetapi, lebih karena, ia tidak menjaring suatu apa. Keranjang waktu itu membuka, berlari bersama putaran masa, tetapi, ia selalu luput, atau tepatnya, meluputkan sesuatu.

Mereka bilang, celakalah, ia yang tak dapat memperbaiki kehidupan. Mereka yang muncul, hanya, sebatas menggelandang. Mereka yang, hanya, sekadar menggenapkan keberadaan. Mereka yang tidak berkeberatan membatu, mengkarat tanpa kemana, bersetia mengempis tanpa makna.

Hidup, seberapa kuat aku menolak, tetaplah sebuah karung yang membuka. Ia mengharap terisi. Ia mengharap menangkap entah apa dalam setiap kelebatan masa.
Selagi, dan sekali lagi selagi, kita masih mampu mengayun, semoga saja karung yang membuka itu, terisi jelita kupu-kupu beraneka rupa. Andai juga, terselip ilalang di sana, sungguh, itulah yang menegaskan kupu-kupu itu kita tangkap dari alam terbuka. Dari sebuah penghayatan. Dari sebuah lari-lari kecil penuh rima lagu-laguan.

Tak seharusnya waktu itu menggelantung terdiam. Berteriaklah. Bersuka citalah. Larutlah dalam kelebatan hingar bingar. Dan, rasakan, ledak tawa itu akan menggulirkan kembali waktu.

Dan, waktu pun, tak lagi membeku..

Thursday, February 4, 2010

Jibril Penjual Cetot


Dia bukanlah pernik penting. Dalam tata panggung senayan, dia ibarat kedip. Sekilas. Sesaat langsung amblas. Sedemikian cepat hingga nyaris tak terlihat. Tak ada yang peduli bahwa dia ada. Pernah, 4 hari aku tidak menemukannya, semua tetap mengalun baik-baik saja. Tak ada teriak kehilangan. Tak ada yang peduli untuk mempertanyakan. Ketiadaannya sama tidak pentingnya dengan keberadaannya.

Ia muncul di setiap pagi. Selalu di tempat yang sama. Di ujung tikungan depan Pujasera. Di bawah bulatan rambu bergambarkan garis panah melengkung ke bawah. Bersebelahan dengan pot besar. Tertunduk beriringan dengan penjual jamu. Dan, selalu, bersetia dengan 2 bakul meringkuk di depannya. Ibu Kosasih, demikian kemudian aku mengenalnya.

Ibu Kosasih adalah penjual jajan pasar. Setiap pagi, saat mobil dan motor berkelebat tiada henti di depannya, ia sigap membungkus getuk, cetot, dan aneka jajan khas Jawa lainnya. Jemarinya terampil meramu aneka warna jajan pasar tersebut menjadi satu porsi. Ia pun membebaskan pembeli untuk memilih jajan yang disukai. Setelah jelas yang diminta, ia akan sigap mewadahinya. Bukan dalam bungkusan hijau daun pisang, tetapi dalam wadah plastik berbentuk cangkang. Tak mahal, satu porsi cukup dibayar seharga tiga ribu rupiah.

Ibu Kosasih, mungkin, dalam tata panggung Senayan, tak lebih dari sekedar kedip. Tapi bagiku, ia adalah penawar rindu akan kampung halaman. Kehadiran jajan pasarnya menyuguhkan romantisme yang memampatkan waktu, mendekatkanku dengan kehangatan kampung halaman. Dahulu di waktu kecil, ibu selalu membawa oleh-oleh tersebut dari pasar. Teringat bagaimana kami, aku dan kakak serta adik, berlarian. Bergelut diantara tawa untuk menjadi yang pertama mendapatkan aneka jajan terbungkus daun pisang.

Cetot, getuk, bukanlah sekedar makanan. Bagiku, mereka adalah sebuah penanda. Sebuah warta yang menerbitkan kerinduan akan rasa hangat romantisme masa lalu.

Ibu Kosasih mungkin hanya kedip tak terlihat. Tapi, ia adalah Jibril-ku. Beliau dikirim Tuhan untuk mendekatkan dua duniaku. Teruslah berjualan, ibu. Tiap pagi, aku akan berjongkok di depanmu.