Tuesday, January 30, 2007

Selembar Tiket untuk Cinta


‘Beri aja dia selembar tiket ke Singapura, pasti akan beres,’ ucap papa sambil menghisap cerutu kesukaannya. Mama yang sedang menuang kopi ke cangkir, tiba-tiba meletakkan teko ke meja. Lalu serius menatap papa. ‘Maksud papa?’. Mama sudah duduk manis di samping papa. ’Ya kita kirim Kiki ke Singapura. Kita sekolahkan, atau carikan kerja di sana. Atau suruh tinggal sama mbaknyunya.’ Papa menjetikkan abu cerutu ke asbak putih yang ada di meja, sebelum meneruskan ucapnya. ’Pasti semua akan beres.’
’Maksud papa,’ mama kelihatan belum yakin dengan ucapan papa. ’Maksud papa cara yang kita lakukan untuk si Bulan dulu juga kita terapkan untuk si Kiki.’ Wajah mama kelihatan serius. Lima tahun yang lalu, mama dan papa terpaksa mengirim Bulan ke Singapura gara-gara Bulan susah dibilangin untuk tidak deket-deket dengan Dendi. Entah apa yang membuat mama dan papa demikian kompak menolak Dendi. Padahal kalau dilihat, Dendi juga cakep, baik, dan kaya. Segala cara sudah dicoba oleh mama dan papa. Tapi Bulan tetep kekeh. Jangankan bergerak, bergeming sedikitpun Bulan tidak lakukan. ’Saya tidak setuju, pa.’ Mama tiba-tiba berucap dengan keras. ’Ide macam apa ini. Saya tidak akan setuju si Kiki dikirim ke Singapura.’ Kali ini giliran papa yang mengeryitkan dahi. ’Mama ini gimana? Bukankah mama yang bersikeras tidak mau Kiki berhubungan dengan Joni.’ ’Iya, sih pa. Tapi bukan ini solusinya.’ Muka mama kelihatan makin cemberut. Mama tidak begitu dekat dengan Bulan, jadi ketika mama dan papa terpaksa ngirim bulan ke Singapura, hati mama tidak demikian berat. Tapi si Kiki, dia kan anak kesayangan mama. Jangankan pisah dengan jarak yang beratus-ratus mil seperti itu, Kiki pergi camping aja mama bingungnya setengah mati. Khawatir gimana makannya lah, gimana tidurnya, gimana mandinya. Mama memang demikian sayang dengan Kiki, hingga mama lupa bahwa Kiki sudah 19 tahun. Sudah bisa suka sama laki-laki.
’Jadi mama gak setuju nih,’ ucap papa sambil mencubit pipi mama. Mama dan papa sudah 27 menikah, tapi mereka tetap romantis. Entah apa rahasia mama hingga papa bisa sedemikian takluk. ’Iya,’ ucap mama sambil melengoskan kepalanya. ’Iya apa? Iya setuju atau iya tidak setuju.’ Muka papa jadi lucu kalo lagi bingung. ’Yang jelas dong ma. Papa bingung nih.’ Mama yang sudah kembali memegang teko untuk kembali menuang kopi, lagi-lagi meletakkan tekonya. Wajah mama nampak gusar. Hidung mama yang mancung nampak kembang kempis. Bila sudah begini, tanpa perlu sepatah katapun, kita semua sudah maklum, bahwa mama sedang dilanda amarah. ’Mama tidak setuju. Kiki tidak akan ke Singapura,’ ucap mama keras. Tuh kan, betul, mama memang sedang marah.
’Trus gimana, berarti mama sudah setuju Kiki pacaran dengan Joni?’ Papa kelihatan serius dengan ucapannya ini. Bukannya tambah adem, udara di sekitar kepala mama sontak menjadi tambah panas. ’Tidak....’ Mama tiba-tiba menjerit. ’Tidak akan pernah mama memberi restu sama si Joni.’ ’Kita sewa preman saja. Biar mereka gebuki si Joni.’ Cerutu yang ada di mulut papa melompat ketika papa tersedak kaget. ’Pasti si Joni akan jera dan berhenti berhubungan dengan Kiki.’ Wajah mama tiba-tiba menjadi ceria. Setan mana yang memberi ide gila pada mama hingga berpikiran seperti itu.
’Ma, tapi apakah itu..’ Belum sempat papa menyelesaikan ucapannya, mama sudah menyerang kembali. ’Sudah pa. Mama akan telpon Bondan sekarang.’ Sebentar kemudian mama telah berada di samping meja telpon. ’Halo Bondan.’ ’Iya tante. Ada pekerjaan apa buat saya?’

[]

’Mama panggil saya?’ ucap Kiki pada mamanya yang sedang berlenggok-lenggok di cermin mencoba gaun baru. ’Iya, duduk sayang.’ Mama melepas gaun yang sedang ia coba sebelum kemudian duduk di dekat Kiki. Mama menatap Kiki sebentar. Senyum mama mengembang bersamaan dengan tangan mama yang bergerak membelai rambut Kiki. Kiki memang anak yang manis. Tidak salah bila mama demikian menyayanginya. Rambut Kiki yang lurus terawat, nampak berpedar mengelilingi wajah cantiknya. Meskipun mama dan papa adalah pribumi asli, tapi wajah Kiki sangat terkesan oriental. Demikian imut dan cantik. Siapapun yang berada di dekat Kiki, pasti akan gemas dan kecantikan dan keimutannya. Kulit Kiki juga putih. Bersih terawat. ’Kiki benar-benar gadis yang sangat manis,’ demikian selalu puji mama untuk Kiki kepada teman-teman arisannya. Hal ini lah yang membuat mama terbelalak kaget dan berteriak histeris ketika mengetahui Kiki berpacaran dengan Joni. Joni adalah teman sekampus Kiki. Dibanding dengan anak-anak teman arisan mama, Joni memang bukan siapa-siapa. Joni hanya pemuda biasa. Terlalu biasa malah. ’Ia adalah anak kampung. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari dia,’ demikian selalu yang dibilang oleh mama tiapkali ada yang menyebut nama Joni.
’Mama punya sesuatu untuk kamu, sayang,’ ucap mama sambil membawa tubuh Kiki rebahan di pahanya. ’Mama ada hadiah buat Kiki?’, jawab Kiki dengan heran. ’Iya.’ ’Tapi Kiki kan tidak sedang ulang tahun, ma?’ Kiki nampak menatap mata Mama. Hubungan mereka memang dekat. Jadi mama terkadang hanya mencandai Kiki. Tapi kali ini, mata mama kelihatan serius. Mama kemudian nampak merogoh sesuatu dari laci meja. Sebentar kemudian, mama telah menyodorkan sebuah amplop pada Kiki. ’Apa ini, ma?’, tanya Kiki penasaran. ’Buka sendiri dong. Nanti kalo mama kasih tahu, bukan surprise namanya.’ Mama ada-ada saja, batin Kiki. Karena tidak ingin dilanda penasaran lebih lanjut, Kiki pun membuka amplop berwarna coklat tersebut.

[]

Kiki bergelanyut manja di boncengan motor Joni. Meski mama selalu berpesan agar Kiki pergi kuliah pake mobil, Kiki tetep memilih untuk naik angkot. Meski harus berdesak-desakkan ketika berangkat, tapi Kiki rela. Bayangan pulang kuliah dengan diantar Joni naik motor, membuat penderitaan di angkot tidak terlalu berarti buat Kiki. Padahal 1 tahun yang lalu, ketika Kiki belum ketemu Joni, Kiki tidak akan meninggalkan rumah bila tidak ditemani dengan si kuning, mobil kesayangannya. Takut kulitnya terbakar lah, takut rambutnya menjadi keringlah, dan sejuta ketakutan laen akan dengan sigap digelontor oleh Kiki sebagai alasannya.
’Ki, udah sampai,’ ucap Joni lembut sambil menyentuh tangan Kiki yang melingkar di pinggangnya. Kiki memang paling suka merem ketika dibonceng Joni. Joni sering protes dengan kebiasaan Kiki ini. Ia takut kalo Kiki tiba-tiba ketiduran dan tidak bisa berpegangan dengan erat. ’Tidak apa-apa kok Jon. Aku hanya ingin merasakan kedamaian tiap kali bersama kamu,’ demikian Kiki selalu bilang tiap kali Joni bertanya kebiasaannya tersebut. ’Kita kan tidak punya waktu banyak untuk bersama. Jadi aku ingin menikmati tiap kebersamaan kita dengan sepenuh hati.’’Meski itu dengan memejamkan mata tiap kali aku bonceng?’ kata Joni masih heran dengan kebiasaan Kiki. ’Iya.’ ’Oke deh. Tapi janji ya. Jangan ngantuk kalo aku bonceng. Ntar kamu jatuh lagi,’ ucap Joni sambil membelai rambut Kiki. Bila sudah begini, Kiki akan memeluk Joni erat. Semenjak Joni berterus terang kepada mama tentang perasaanya kepada Kiki, mereka berdua menjadi susah bertemu. Hanya ketika waktu-waktu sela di kampus dan ketika Joni berkesempatan mengantar Kiki pulang, mereka bisa bersama. Maka, tiap kali perjumpaan itu terjadi, baik Joni dan Kiki benar-benar ingin menikmatinya sepenuh hati.
’Ki, kita sudah sampai.’ Joni mengulang ucapannya karena Kiki tidak segera menanggapi dirinya. Tangannya kembali menyentuh tangan Kiki pelan. Dan lembut. ’Ki,’ Joni kembali berucap lembut. Joni baru hendak menyebut nama Kiki lagi ketika ia merasakan tangan Kiki bergerak. ’Sudah sampai ya, yank.’ ’Iya, turun gih.’ Joni melepas helm yang menutup kepalanya. ’Masih kangen, yank,’ rajuk Kiki dengan manja. Kiki tetap tidak mau turun dari boncengan Joni. Joni memalingkan kepalanya. Lalu melepas helm yang menutup kepala Kiki. Dipandanginya Kiki dengan berjuta sayang yang berluruhan dalam jiwa. ’Kamu harus pulang, Ki. Nanti mama kamu nyariin,’ ucap Joni sambil merapikan rambut Kiki yang kusut tertindih helm. ’Biarin.’ Telunjuk Joni bergerak lembut menyentuh bibir Kiki. ’Kamu gak boleh ngomong seperti itu. Bagaimanapun, mereka adalah orang tua kamu.’ ’Tapi kenapa mereka jahat sama kamu?’ tangan Kiki bergerak menyentuh telunjukku. Matanya nampak berkaca-kaca. ’Mereka pasti punya alasan untuk itu, Ki.’ ’Iya. Karena mereka sayang sama aku. Karena mereka pedul sama aku. Tapi kenapa mereka tidak mau mengerti perasaanku. Karena mereka ...’ Kiki tidak sempat menyelesaikan perkataannya. Tangis pelannya telah memaksa Joni menarik Kiki dalam dekapannya. ’Aku sayang kamu, Jon,’ ucap Kiki lirih.
Beberapa waktu lamanya, Kiki larut dalam pelukan Joni. Joni menghentikan motornya tepat di depan portal di kelokan jalan menuju rumah Kiki. Sesekali nampak sepeda motor berlalu melewati mereka. ’Tidur nyenyak ya, Ki. Jangan begadang. Kasian kan murid-murid kamu.’ Kiki hanya mencubit lengan Joni mendengar sindiran tersebut. Joni membimbing wajah Kiki dari dekapannya. ’Aku sayang kamu, Ki,’ ucap Joni lembut. ’Sangat sayang.’ Udara seperti berhenti dalam takzim ketika kepala Kiki bergerak mendekat Joni. Sesaat keduanya bertemu dalam ciuman yang dalam. Hangat. Penuh dengan tumpahan keintiman rasa sayang. ’Met bobo, switi. Jaga diri ya, ucap Joni kemudian. ’ Kiki masih rekat menatap wajah Joni. Bekas air mata nampak masih tersisa di sana. Malam semakin tenggelam. Kiki mendekatkan kepalanya ke arah Joni. ’Sekali lagi boleh ya, yank?’

[]

Joni menarik nafas berat. Ia nampak terduduk di salah satu sudut bandara. Ia sama sekali tidak pernah berfikir ia dan Kiki harus berpisah dengan cara seperti ini. Tidak ada pertemuan yang terjadi. Tidak ada nafas yang bisa dibaui. Tidak ada rasa yang dibagi. Hanya sepucuk surat yang dibawa oleh Indah, teman sekolah Kiki. Ada sebentuk rasa marah menjalar di hati Joni. Tapi sebuah tarikan nafas panjang kemudian menghalau rasa itu pergi. Lagi-lagi Joni menghela nafas panjang. Semua telah pergi. Semua telah berlalu. Tak ada lagi yang tersisa. Selain setitik air mata yang bersembunyi di ujung kelopak mata Joni.

[]

...dan sayang, dari sini kita akan mulai langkah kita berdua. Akan kemana kita sekarang? (from the one who loves you). Dan surat itu pun terlipat. Terdiam. Terkungkung dalam keheningan yang panjang.

No comments: