Friday, January 26, 2007

Ketika Pesta (HARUS) Usai...


Mendung tipis menggelanyuti langit manja. Meninggalkan sepasang kekasih yang sedang berciuman dalam udara membeku. Di sebuah sudut kampus tua. Di antara reruntuhan dedaunan berserakan. Hasrat mereka bertemu dalam kepekatan yang mendalam. Mereka adalah sepasang mahasiswa. Besok mereka berdua akan diwisuda. Dan mereka akan kembali ke rumah masing-masing. Ciuman sore ini adalah ciuman terakhir mereka. Perjumpaan yang penghabisan. Sebelum laku dunia merenggut masing-masing jiwa. ’Kita married saja.

Sementara, di dalam bilik sebuah cyber cafe, sepasang mata bersitatap dalam makna keterdiaman. Kegelisahan penuh berloncatan dalam beku udara yang diam. Bibir mereka tidak bergerak. Tapi mata mereka, jelas mengisaratkan pemilik jiwa yang sedang merana. Lalu, pasangan itu pun luruh dalam sebuah ciuman yang hampa. Bibir mereka menyatu. Tapi kesedihan telah menumpulkan syaraf-syaraf bibir mereka. Nafas mereka nyaris tersengal. Tapi tetep saja tidak ada rasa yang tercipta. Di depan mereka, tergeletak diam di depan monitor, selembar tiket penerbangan ke Singapura. Ini adalah ciuman terakhir. Sebelum si wanita pergi ke Singapura.

Jauh bermil-mil dari cyber cafe, sebuah telpon berdering. Saat itu hujan sedang menderu pelan. Menyisakan aroma dingin yang menebal menyengat. Isak tangis seorang wanita muda terdengar menyembul dari balik ujung telpon. Ia baru menikah beberapa bulan yang lalu. Pastinya ia sangat bahagia. Suaminya, lelaki klimis yang selalu rapi tiap kali pergi bekerja, juga sangat mencintai dia. Apalagi semenjak mereka mempunyai anak. Seolah, dalam tiap laku dan larik nafas yang mereka buat, tiada yang bisa dibaca selain ungkapan rasa bahagia. Hujan semakin tercurah seiring tangis wanita muda itu yang semakin menderu. Tak ada suara terdengar dari ujung telpon satunya. Hanya tangis wanita muda itu yang senantiasa terdengar. Sambil sesekali diselingi beberapa potong ucap. Keheningan makin jauh menyeret malam. Udara semakin terbujur dalam kaku tak berujung. Dari balik ujung telpon, terdengar desah helai nafas memberat. Terdengar kemudian suara wanita muda itu, ’Abang, aku ingin bercerai.’ Tak ada balasan suara dari ujung telepon satunya. Hanya keheningan yang semakin menganga. Menenggelamkan malam itu dalam sebuah keterdiaman tak berujung.

Di bilik sebuah rumah sakit, suara lolongan mengaum membelah. Sedih yang sedari tadi mengintip, meletup dalam sebuah tangis membuncah. Kabar itu baru saja datang. Tentang anaknya yang tidak terselamatkan. Tentang ketakutan yang kini benar menjadi kenyataan. Perempuan muda itu menjerit. Mematung ia menatap pintu ruangan. Sementara di dalamnya, seorang suster baru saja menutupi tubuh sesosok bayi mungil.

Di tepian pantai di suatu sore. Seperti biasanya, sore itu langit kembali memerah. Matahari yang menua, bergerak pelan menyentuh bibir senja. Angin mengalun pelan. Meninggalkan kilau menyentuh pucuk-pucuk air yang beriak diam. Dingin yang makin mengental, membuat lelaki itu menaikkan kerah bajunya. Sudah sedari tadi lelaki itu berdiri mematung di sudut pantai. Matanya menerawang jauh. Menatap hamparan biru laut tak berujung. Sesekali ia menyeret langkahnya yang berat. Memungut benda-benda yang ia lihat bergerak mendekati bibir pantai. Hari ini adalah sore yang ke-25 lelaki itu mengakrabi senja yang menua seperti ini. Tapi, seperti sore-sore sebelumnya, ia tak kunjung jua bisa mengusir sesak yang meringkuk dalam jiwa. Matahari telah mencium senja, ketika sebuah dering telpon mengusik lamunan lelaki itu. ’Ada yang ketemu?’ ’Maaf mas, nihil.’ Terdengar suara telepon ditutup. Lelaki itu nampak tergesa memasukkan ponsel ke kantongnya. Dan mendadak ia berlari. Sebelum kemudian ia melolong dalam sebuah teriakan membahana. Dalam malam yang mulai merayap, lelaki itu menarik sesuatu dari dompetnya. Gambar seorang wanita cantik. Rambutnya sebahu. Dengan senyum manis mengembang menghias. Tangan lelaki itu bergerak menyusur. Menyentuh lembut bibir wanita dalam foto. Nampak tautan emosi mengenangi tatapan matanya yang merindu. Jari lelaki itu kemudian bergerak menyentuh larit nama yang tertulis di bawah wajah cantik itu: Prameswari. Sementara di atasnya, wanita cantik dalam balutan seragam pramugari itu tetap tersenyum. Begitu manis. Begitu cantik.

Dalam waktu yang semakin menua, kita tidak pernah tahu kapan semua akan berakhir. Ketika ciuman yang kita berikan pada kekasih, ternyata akan menjadi ciuman terakhir. Ketika lambaian tangan yang kita berikan, ternyata akan menjadi lambaian terakhir. Dan mungkin, kita tidak bisa memberesi tenda, mencuci piring, menggulung tikar, melepas tamu yang pamit pulang, dalam pesta kita sendiri.

Karena kita tiada pernah tahu, apakah ini pesta terakhir?

No comments: