Friday, January 19, 2007

Tidurlah Zaki…



Aku menarik Yasin menjauh dari meja. Lewat ekor mata, sesaat aku menangkap reaksi dr. Rudi yang terkejut dengan tindakanku. Tapi ini benar-benar keputusan yang penting. Dan aku tidak ingin Yasin di kelak kemudian hari mengutuk dirinya karena mengambil keputusan ini. Jadi aku berkeyakinan dr. Rudi pasti bisa memahami ketidaksopananku tersebut.


‘Kamu serius menyetujui operasi itu.’ Ucapku setelah berada di ujung ruangan. Yasin tidak segera menjawab. Kelihatan jelas ia sebenarnya tidak terlalu yakin dengan keputusannya tadi. ’Kita bisa kehilangan dia di meja operasi. Resikonya sangat besar. Dr. Rudi bilang chance-nya cuman 70:30.’
’Kalo tidak operasi, apalagi yang bisa kita lakukan, mas.’ Kepala Yasin mendongak menatap aku. Campuran antara lelah, bingung, dan don’t know what to do nampak jelas menghias wajahnya yang keras.
‘Tidak ada.’ Jawabku pelan. Sarat dengan aroma putus asa. ‘Cuman resiko operasi ini terlalu besar, Sin.’ Aku berhenti sejenak karena tidak sanggup untuk meneruskan kalimat berikutnya. ‘Kita bisa kehilangan Zaki malam ini. Bila tidak dioperasi, kemungkinan kita masih bisa melihatnya dalam beberapa hari.’
‘Mas tega melihat Zaki menangis menahan sakit seperti itu.’ Jawaban Yasin sungguh di luar dugaanku. Tidak biasanya ia bisa berpikir benar seperti itu. Sorot matanya tiba-tiba menjadi tajam. ‘Aku tidak tega mas. Aku tidak kuat. Dia masih 40 hari dan musti menanggung derita yang pasti sangat menyakitkan itu. Aku tidak sanggup membayangkan betapa menderitanya dia, mas.’ ’Jadi, kamu tetep setuju untuk melakukan operasi?’ ’Iya mas. Seperti kata dokter tadi, pilihan yang termungkin di antara kemungkinan terburuk.’


Sebentar aku kembali menatap wajah Yasin. Usianya masih muda. 22 tahun. Dan sekarang, ia musti menghadapi masalah, yang aku yakin, ia belum siap sama sekali untuk menjalaninya.

[]

Zaki Zam Zami Kamal. Bayi tampan berusia 45 hari. Ia adalah keponakanku, buah cinta antara Yasin, adikku, dengan Laila, cewek yang masih 1 kampung dengan kami. Zaki terlahir sebagai bayi prematur. Berat waktu dilahirkan hanya sekitar 1,8 kg. Tapi, Zaki adalah bayi yang sangat tampan. Mix wajah tampan ayahnya dan wajah ayu ibunya benar-benar jelas menurun pada dirinya. Meski prematur, Zaki dilahirkan dengan cara normal. Seperti kelahiran-kelahiran lain di kampung kami, seorang bidan dan dukun bayi menemani proses kelahiran Zaki ke dunia ini.
Aku tidak sempat menemani Yasin melewati malam menegangkan itu. Aku baru mengetahui berita kelahiran itu pada siang harinya. Ibu menelponku. Mengabarkan berita gembira ini. Dan beberapa hari setelah mendengar berita itu, aku baru bisa menatap wajah imut keponakanku. Zaki adalah keponakan keempatku. Sebelumnya dua kakakku telah menikah. Yang satu sudah punya 2 anak, sedangkan satunya lagi punya 1 anak.


Sejak kunjunganku pertama itu, aku belum lagi pernah melihat Zaki. Ada beberapa kali aku pulang ke rumah ibu, tapi selalu tidak berkesempatan pergi mengunjungi Zaki. Meski rumahnya hanya terpaut sekitar 1 km dari rumah ibu. Hingga kemudian, suatu siang di hari Minggu, hpku bersuara. Aku sedang berada di bengkel menambal ban motorku saat itu. Terlalu singkat untuk sebuah pesan. Begitu melihat nomor flexi, intuisiku mengatakan itu pastilah ibu yang menelpon. Dan benar saja. Sedetik kemudian, begitu tombol ok aku tekan, suara panik ibu nampak melaju bergemuruh seperti badai. ’Gi, Zaki dibawa ke rumah sakit.’ Aku tidak segera menjawab. Bapak bengkel baru saja menunjukkan ban yang berlubang karena tertusuk paku. Aku menganggukkan kepala ketika bapak bengkel mengangkat ban ke arahku. Menandakan aku sudah mengerti apa yang terjadi dengan ban motorku.
’Zaki?’ aku mengulang kata itu pelan. Kali ini aku beranjak menjauh dari bengkel. Paling tidak agar tidak diganggu dulu dengan tatapan bapak bengkel. ’Iya Zaki. Anaknya Yasin. Keponakanmu.’ Suara ibu nampak terdengar pilu. Ia seperti bisa menangkap kepayahanku yang tidak tahu nama keponakannya sendiri. Waktu menengok bayi itu, dia kan memang belum diberi nama. Dan setelah itu, tidak jua ada pemberitahuan mampir kepadaku tentang nama dia. Jadi, dari mana aku tahu kalau Zaki adalah nama keponakanku. Dalam hati, aku mengutuk diri sendiri atas kelalaian ini.


’Zaki kenapa emangnya bu?’ aku berkata setelah sempat beberapa saat terdiam. ’Ia tidak bisa buang air besar dan buang angin. Perutnya jadi membesar kayak orang kembung gitu.’ Suara ibu nampak terdengar terburu-buru. Setelah menyadari kebodohanku yang ini, aku spontan bertanya, ’Di rumah sakit mana? ’Rumah sakit umum Demak.’ ’Ok bu. Nanti malam aku ke sana.’ Tut.. tut.. tut...

[]

’Ok, deh. Jadi keputusan kamu tetap bulat. Kita menyetujui Zaki untuk dioperasi?’ Aku tidak segera mendapat jawab dari Yasin. Baru beberapa saat kemudian ia mengangguk pelan. ’Meski kita bisa kehilangan dia malam ini?’ ’Iya’ ’Ok, mari kita kembali ke dokter Rudi.’


Dokter Rudi berpostur tinggi besar. Melihat wajahnya yang berseri, usianya mungkin sekitar 35 tahun. Senyum simpul selalu hadir di antara deret gigi putihnya. Dokter Rudi kelihatan masih berbincang dengan Laila ketika kami sudah kembali berada di depannya. Aku baru saja hendak berucap maaf atas kelakuanku yang tiba-tiba pergi tadi, ketika Dokter Rudi telah mendahului berucap. ’Jadi bagaimana?’ Pengalamannya menjadi dokter rupanya telah membuatnya paham dengan kondisi psikis orang-orang yang akan berhadapan dengan meja operasi. Buktinya, tanpa ada yang memberitahu, Dokter Rudi bisa menebak apa pembicaraanku dengan Yasin barusan. Aku pun segera mengesampingkan basa basi yang telah aku persiapkan. ’Iya dok. Lakukan saja operasi jika itu memang yang terbaik.’ Sesaat aku lihat ke arah Yasin dan Laila. Mereka tidak berucap apa-apa. Tapi dari matanya aku bisa merasakan mereka berkata, ’Lakukan yang terbaik, mas.’


’Ok, saya perlu ayah dan ibu dari Zaki untuk menandatangani pernyataan ini.’ Dokter Rudi menyerahkan selembar kertas dan polpen berwarna hitam. Sekilas aku baca surat itu. Surat tentang pernyataan pemberian ijin untuk melakukan operasi. Bergiliran Yasin dan Laila membaca surat itu. Aku hanya menganggukan kepala ketika kemudian mereka melihat ke arahku. Dan malam itu, tepat pukul 10.36, orang tua Zaki telah mengiklaskan Zaki untuk dioperasi. Sebuah pertaruhan yang tidak main-main. Mengingat Zaki baru berusia 40 hari. Tuhan, selamatkan keponakanku. Zaki.

[]

Kerumunan orang itu kian menipis. Hingga kemudian hanya tersisa aku seorang. Aku menatap tanah yang masih basah itu. Sebuah rumah mungil baru saja kami bangun untuk Zaki. Keponakanku tersayang. Tidurlah Zaki. Maafkan paman untuk tidak selalu bisa bersama kamu.

No comments: