Thursday, October 9, 2008

ada peri di tumpukan serbuk kopi

Kawan, aku pikir, penyakit gilaku mulai kambuh.
Kegilaan yang berawal dari simpul syaraf otak yang berhimpitan tak beraturan. Saling menindih. Mencoba untuk saling menjegal. Melenyapkan. Mengapungkan. Menghapus. Merekonstruksi ulang. Sebagian menginginkan wajah itu ada. Tapi sepasukan lain berjuang keras untuk melenyapkannya.
Tidak jelas siapa yang menang dalam pertempuran ini. Dan akibatnya, hampir sepanjang malam ini, aku pusing harus berlarian kesana kemari. Ketika simpuls saraf lupa yang di atas angin, seurat kelegakaan dan persiapan tidur segera aku gelar. Tapi tak berapa lama, pasukan syaraf ingat berhasil menguasai keadaan. Aku pun dipaksa untuk menggulung kembali tenda dan alas tidur yang telah tergelar.
Dan, kawan, percayalah, sepanjang malam ini, aku hanya berpindah dari 2 kegiatan menjengkelkan itu. Seperti tombol on off yang sedang dimainkan oleh bocah nakal kurang kerjaan. Jadinya, beginilah hasilnya, pukul 1:34 aku terbangun, terjebak kembali dalam nostalgia: antara menelpon dia atau tidak.

Kawan, andai kamu penasaran, siapa gerangan lakon dari pertempuran dalam jiwa ini. Siapa pemilik wajah yang telah membuat beribu-ribu armada infantry syaraf berbaris untuk saling menyerang. Berebut menghancurkan.
Siapa pemilik senyum yang kembali membuat aku mengaduh tersungkur dalam dramatisasi kekalahan.
Siapa pemilik jiwa yang karenanya aku harus membuat perjanjian dengan dewa langit paling kuat agar menahan jari tanganku untuk tidak menarikan tuts berkirim sms kepadanya.
Siapakah wanita jahanam sialan memuakkan itu yang gara-gara dia aku harus terhuyung-huyung menuang air ke dalam panci, memutar tombol on, dan meringkuk menunggu air mendidih untuk sekadar membuat kopi. Semata-mata agar ada temen yang menemani curahan hati di malam pukul 1: 38 ini.

Apakah wajah dia begitu mulia? Apakah dia salah satu pelarian dari penduduk surga? Apakah ia putri dari dewa yang sedang menjalani ujian dengan mendamparkan diri di dunia? Ataukah dia hanya sekadar perempuan pencuri yang dengan tega mencokel kulit wajah peri untuk kemudian dipakainya?

Ah, masa bodoh dengan itu semua. Persoalan mendesak sekarang adalah bagaimana aku memperkuat barisan pasukan lupa untuk memperdahsyat serangannya. Ada baiknya aku menjatuhkan bom APC agar otak ini terberai dalam tidur panjang. Atau hujan serbuk kopi yang akan segera menghantam pertahanan mataku. Atau mungkin aku bersiap diri dengan tajam belati. Berlari menebas jarak yang hanya beberapa meter. Menyibak dingin yang mengapung. Mendobrak lurus ke dalam. Menghujamkan sebuah cium sebelum kemudian takjib larut dalam drama pembantaian.
Dan esok harinya, kampung akan tenggelam dalam satu buah cerita saja: seorang wanita terbunuh dengan luka gigit di bibir dan sebuah sobekan lebar di dada.

Ah, apapun itu, kau membuat aku terjaga malam ini.

No comments: