Monday, November 17, 2008

Wanita yang begitu perkasa..

Dingin perlahan melumuri malam yang mulai menipis. Suara gemuruh makhluk-makhuk malam pun sudah mulai menepi. Jauh di ujung timur, langit nampak robek oleh semburat merah yang mulai menggantung. Senyap mulai terusik.

Aku masih terlelap. Tersudut di tengah. Nenek dan adik bungsuku setia mengapit di sebelah kiri dan kanan. Beralaskan kasur yang mulai menua, amben tua itu tetap setia memangku kami. Hampir di setiap malam, kami menggantungkan tubuh lelah di atasnya. Lalu setelah puas bercanda, bercerita, mendongeng, ato sekadar menamati lamat gerak dari tv tua di ujung meja, kami pun tertidur. Hampir selalu seperti itu setiap malam. Terkadang, karena lupa, dan terkadang karena acuh, kami biarkan lampu 15 watt itu tetap menghangati kami.

Dingin yang lama memeluk malam, meninggalkan daun-daun yang menunduk tak kuasa menahan embun. Dengan gerak yang terkesan cuek, embun-embun itu menggelosor menghantam bumi. Senyap makin terlena ketika bumi hanya melenguh menahan dingin yang datang menumpang.

Tak banyak yang kami dapatkan dari kamar ini. Selain amben tua yang mulai melepuh, kasur yang mulai berongga, kami juga punya meja di sudut ruang dan sebuah almari tanpa pintu. Bukan almari yang didesain tanpa menggunakan pintu, tapi karena pintu itu sudah tua, lalu memilih untuk pensiun dengan cara merusakkan dirinya sendiri.
Ada sebuah tv di atas meja. Tv yang dulunya, adikku beli hanya dengan uang lima belas ribu. Lalu tabungnya diambilkan dari tabung tv rusak yang dulu kami punya. Dan dengan sedikit utak-atik, cerobong tabung itu bisa berdamai dengan rangka tv tua itu. Dan beginilah, tiap malam, tiap siang, tiap kali bosan, kami bisa menyaksikan aneka tingkah lewat layar tua itu.

Tepat di sebelah meja, ada kaca yang tergantung. Kepadanyalah kami selalu menyerahkan penghakiman atas percaya diri kami. Ketika di pagi hari, ketika adik hendak berangkat sekolah, ato ketika aku bersiap kerja, kami akan tersenyum puas dan melangkah gagah ketika sang cermin berkata, ‘you’re awesome’. Dan apabila ternyata sang cermin merajuk cibir kepada kami, maka meski sudah tahu akan terlambat, kami akan setia menghabiskan beberapa menit lebih lama di depannya. Hanya untuk sekedar merayu, dengan menyisir kepala, menepuk-nepuk pipi, sambil sedikit cengar-cengir, hingga akhirnya sang cermin luluh dan berkata: ‘selamat, anda sudah cakep pagi ini.’

Di sebelah tv, di bawah kaca, tersisa sebuah ruang menganga. Dulunya kami meletakkan dispenser di sana. Hadiah waktu adikku mengikuti gerak jalan di sekolahnya. Waktu itu yang didapat seharusnya sebuah sepeda gunung. Tapi karena kesalahan prosedur panitia, atau apalah istilah yang digunakan waktu itu, kami harus rela sepeda itu diganti dengan sebuah dispenser. Toh, celutuk adikku waktu itu, antara keduanya masih ada juga hubungannya. ‘setidaknya kalo habis naik sepeda, kita kan haus. Nah, minum air dispenser bisa menghilangkan air tersebut’, analisis sang adik. Sebuah bentuk penghiburan diri yang memprihatikan.

Tidak seperti ruang lain di rumah, lantai kamar ini sudah dikeramik. Sebenarnya ini adalah kamar adikku yang nomer 2. Dia guru di salah satu sma swasta di kota kami. Waktu itu, adikku sampai bela-belain hutang koperasi hanya untuk menambalkan keramik di atas lantai tanah kamarnya. Dia hanya nyengir ketika aku tanya alasan di balik tindakannya. Sekadar tahu, dia termasuk tipe perhitungan, tak melakukan kegiatan tanpa ada keuntungan, jadi agak aneh mengetahui bahwa dia rela berinvestasi untuk sebuah lantai kamar yang gak jelas keuntungannya. Tapi ketika suatu siang dia membawa pacarnya ke rumah, kegelapan di kepalaku terusir juga. Walah, rupanya dia hanya ingin sekadar pamer. Dan tidak ingin, kaki pacarnya yang sok kota itu, terkelupas karena kerasnya tanah liat yang menghampar di sekujur rumah kami.

Fajar segera menjelang. Angin malam yang keras menampar perlahan mulai melemah. Beberapa uap air dan angin malam yang terjebak ke dalam kamar ini, sekuat tenaga mencari celah untuk melarikan diri. Sayup dari ujung kampong, terdengar suara lamat mengalun. Pastinya lek Mudi, bapak berusia 60 tahun, yang dengan segala kasih dan pengabdiannya bersuka rela menjadi pengurus mushola, telah menghidupkan tape melantunkan tilawatil qur’an. Sudah beberapa minggu ini, semenjak rapat taqmir masjid memutuskannya, sebelum adzan subuh, pasti didengarkan suara ayat suci Al Qur’an.

Beberapa warga pada awalnya meributkan kebijakan ini. Mereka pikir, kontemplasi tidur mereka akan terusik dengan lantuan ayat-ayat tadi. Bukan ayat-ayat suci Al Qur’an yang mereka ributkan, tapi suara keras yang keluar dari toa ketika matahari masih mencari kaca mata untuk melihat dunia. Tapi untunglah, perlahan semuanya mulai mereda. Kyai Madun berhasil menyakinkan warga, dalam sebuah pertemuan di mushola, bahwa pahala mendengarkan lantunan ayat suci tersebut, lebih bisa menghangatkan mereka dibanding ketakutan akan lelap tidur yang terusik.
‘Itukan juga bentuk upaya membangunkan sampeyan untuk bersiap menjalankan solat Subuh’, ucap kyai Ahmadun. Ucap kyai Ahmadun selalu lembut. Menyejukkan. Dan meski, terkadang ada yang ingin menyangkalnya, charisma teduh kyai Ahmadun selalu berhasil mengalahkannya. ‘Saya pikir, manfaat tilawatil qur’an menjelang subuh ini lebih banyak dibanding mudharatnya.’

Dan semenjak pertemuan di mushola malam itu, sampai sekarang, tidak pernah terdengar lagi rebut-ribut soal tilawatil di dini hari. Meski tidak semua berbunga hati, tapi denyut nadi kehidupan desa memang lebih terasa sejak diperdengarkan tilawatil. Banyak orang yang pada awalnya merasa terusi, perlahan berganti menjadi pengetahuan, lalu memunculkan pengertian, kesadaran, dan kerelaan untuk kemudian bersiap menunaikan solat subuh tepat pada waktunya. Subhanallah…

Dan dini hari ini, seperti dini hari kemarin, dan kemarin, dan kemarin-kemarinnya lagi, aku pun terbangunkan oleh sayup tilawatil Qur’an itu. Semoga Allah membukakan pintu hatiku, dan seperti dini hari sebelum-sebelumnya, aku pun menanggapi suara itu seperti suara lagu dari radio yang lupa aku matikan. Aku bergerak, tapi bukan untuk bangun. Aku terjaga, tapi bukan untuk berjalan ke mushola. Aku malah memilih untuk kembali mengakrabi bantalku, dan setengah menggerutu, kembali menjemput mimpi yang tadi terlantar entah kemana.

(bersambung….)

No comments: