Monday, November 17, 2008

Blessing in Disguise

Sore datang dengan perlahan. Pedar siang yang menerangi bumi semakin redup tertindih senja yang bergulung-gulung turun. Segerombolan burung bangau masih enggan beranjak dari pematang tambak. Lambung mereka sebenarnya sudah menggelembung. Tapi sepertinya mereka berpikir, satu dua ekor ikan lagi akan masih sanggup berjejalan untuk bekal malam yang dingin.

Sore yang teramat demikian biasa. Sejauh mata memandang, masih nampak 2 alumunium yang dibentuk menjadi tongkat; kawan setiaku hampir 2 bulan ini, dan akan demikian selama 4 bulan ke depan. Kipas yang terus berputar tiap kali jarum aku lontarkan menjauhi angka nol. Meja cokelat separo kumal yang tergolek di tengah ruangan. Terkadang ia seperti pemuda yang kelelahan menanggungkan berbagai beban di atasnya. Ada televise kuno keluaran 80-an, dispenser yang isinya sudah hampir seminggu kosong, dan kotak cokelat bekas tempat roti yang entah sedari kapan telah aku habiskan. Sperai putih yang memeluk meja itu, sebagai pembatas punggung meja dengan benda-benda di atasnya, juga sudah lama ditinggalkan oleh keputihannya. Rice cooker yang tergolek di bawah meja pun masih setia dengan kerlip lampu indicator berwarna kuningnya. Tempat yang bisa menanak nasi itu aku beli pada bulan Ramadhan yang lalu. Sahur yang berlangsung di penghujung malam, dan dingin yang terkadang tidak bisa membuat manusia bangun seperti yang diinginkan, membuat nenek merasa benda ajaib ini akan banyak membantu.

‘Seandainya terlambat bangun, paling tidak kita hanya cukup membuat lauk saja. Kan nasih sudah ada di mejik jer itu,’ demikian argumentasi hebat nenek. Perempuan tua itu memang luar biasa. Ia lebih dari seorang nenek. Dedikasi dan kesabarannya terentang luas melebihi samudra dunia. Semoga Allah memberi aku kesempatan untuk membahagiakan beliau.

Meja belajar berpelitur itu juga setia di samping tempat tidurku. Meja itu adalah kenangan dari almarhum ayah. Waktu itu aku masih berseragam putih abu. Ketika melihat televise, aku melihat bahwa gaya belajar lesehan di lantai sepertinya demikian nyaman. Dan setelah berbincang dengan lek Maman, tukang kayu handal di kampungku, ayah menghadiahi aku meja belajar itu. Sebagai balasannya, aku selalu berperingkat 1 di kelasku. Apabila seorang anak gadis, tentunya meja belajar itu telah tumbuh dewasa. Dan sekarang, meja belajar itu aku gunakan untuk menaruh laptop kesayanganku. Cangkir besar tempat kopi dan kaleng cemilan juga selalu menenami meja itu. Sungguh sebuah perkawanan yang indah.

Dan tak jauh dari tubuhku sekarang, di ujung tempat tidur, terdiam dengan anggun tas hitam kesayanganku, Eiger. Aku selalu senang memandangi tas itu. Bahkan ketika aku tidak ada urusan dengannya, aku pun menyempatkan diri untuk menatapnya. Bentuknya yang indah, dengan sandaran empuk di belakangnya, membuatku selalu rindu untuk menyandangnya. Sebelum kecelakaan itu, ia selalu menemaniku kemana aku pergi. Ketika tergoncang di kereta sewaktu ke Bandung; ketika meliuk di atas sepeda motor dalam perjalanan ke Klaten, atau sewaktu melepas penat dengan mengunjungi Gedong Songo. Dan sekarang, ketika aku tidak bisa kemana-mana, tas Eiger hitam itu pun masih selalu bersamaku.

Waktu memang demikian cepat melesat. Kepakannya yang terentang konstan, berjalan berputar seperti roda pedati yang tiada pernah berhenti. Dan lagi, ketika mataku terantuk pada tongkat alumunium itu, kembali aku menghela nafas. Ada bintik rasa tidak berterima menyusup licik ke dalam hatiku. Mengapa diantara sekian banyak orang, diantara sekian banyak kecelakaan, harus aku yang dipilih untuk menanggungkan ini. Mengapa kakiku yang harus bersinggungan dengan truk itu. Mengapa juga kantuk musti datang menyerang di pagi buta itu. Dan mengapa juga aku musti kurang tidur di malam-malam sebelumnya hingga akhirnya melahirkan peristiwa di pagi itu.

Hidup memang aneh. Atau gila, barangkali. Loncatan-loncatan nasib yang dibungkus takdir kerap mengepung tanpa sebuah pola yang konstan. Mereka hadir seperti anomaly yang, pada suatu saat, ketika kita masih punya semangat untuk percaya, akan membentuk sebuah rangkaian cerita indah. Seorang teman pernah bilang bahwa: all you need is to believe that everthing happens for good reason. Tapi, darimana sudut keindahan itu terlihat ketika kaki ini terenggut patah. Bagaimana dunia akan mewartakan keindahannya ketika hari-hari belakangan ini hanya dihabiskan menemani kamar dan kasur ini.

Saat seperti ini, mendengar derap langkah nenek, mengamati kerut tua makin mengakrabinya, dan mendengar setiap derail cerita yang tertata rapi dari ingatan tuanya, adalah rembesan hujan yang masih mengalir di tengah keringnya hati. Dan sesekali, melihat adik kecilku tumbuh, melihatnya menata seragam sekolah di pagi hari, adalah sebentuk hadiah dari terengguhnya pijakan kaki kiri.

… untuk melihat itu semua, ternyata, semesta harus mematahkan kaki kiriku telebih dulu. Untuk membuatku memperlambat gerak. Untuk membuatku lebih lama mengeja arti dan makna hidup ini.

No comments: