Wednesday, January 27, 2010

Rindu. Malam. Kedamaian

Meski tidak terlalu rapat, gelap mulai menyulami malam. Udara bergerak lambat, terbebani oleh basah. Pucuk-pucuk daun waru di sepanjang jalan hanya mampu melambai layu. Menanggung lelah, mungkin. Atau, bisa juga, sedikit sebal dengan malam yang terlalu dini berasyik masyuk dengan sunyi.

Usai membalas anggukan mas penjaga pintu, aku mulai menjadi bagian dari kesunyian. Hanya saja, di jejalan dari kantor menuju tempat parkir, sepi tidak hadir dalam wujud suram menghitam. Ia lebih mirip gadis yang belajar dandan. Lampu-lampu mengapit sisi jalan, menyepuh pipinya. Menghadirkan cipratan warna kuning merona. Lurus aku menapaki bahu jalan, beberapa kaca gedung terlihat tetap menyala, menemani tiap petak langkahku mendekati tempat parkir.

‘Mas,’ bermula dari kelebat sebuah motor, sebuah suara menyapa. Tak ada siapa. Hanya tersisa aku di sini. Pastilah suara itu menyeru padaku. Aku menghentikan langkah. Mencoba mengenali sosok di atas sepeda motor yang juga berbalik kembali menujuku. Dari jarak ini, beberapa tapak lagi aku tiba di tempat parkir.

Senyum itu datang di saat aku belum jua mampu mengenalinya. Ketika bayangnya mulai mewujud, ia melepaskan genggaman di setang sepeda motornya. Tangannya terjulur. Senyumnya masih tetap terjaga.

‘Baru pulang, mas?’ wujud dia mulai menghadirkan makna. Tetapi, tetap saja, aku tidak mampu mengingat namanya. Seragam dan senyum itu yang mendekatkanku pada bayang identitas dirinya.

‘Iya. Banyak kerjaan.’

‘Masuk malam nih?’ balasku. Memoriku belum utuh. Meski bayangnya mulai mewujud, aku tak jua mampu mengambil satu nama untuk menyebutnya.

‘Lagi piket, mas. Persiapan menghadapi 28.’

28? Seragam petugas pengaman? Gedung DPR?

Simpuls otakku menata tiga deret kata yang seketika hadir tersebut. Merangkainya. Tak berapa lama, menyuguhkan sebuah makna.

‘Antisipasi demo, ya?’

‘Iya mas. Semoga tidak terjadi apa-apa.’

Detik itu, aku sudah mengingat sosoknya. Ia adalah petugas pengamanan dalam gedung Nusantara I DPR RI. Kami pernah berbincang. Di suatu sore. Di ruang kerjaku. Melihatnya terkantuk sendirian di kursi jaga, aku menawarinya kopi. Ternyata, ia banyak bicara juga.

‘Tidak kuliah?’ Aku ingat, ia pernah bercerita tentang mimpinya menyelesaikan kuliah.

‘Hari ini tidak ada jadwal, mas. Tapi besok mulai ujian semester. Ini juga bawa buku buat belajar.’ Ia menunduk. Tangannya menggapai menyembulkan tas plastik yang merimbun oleh gerombolan buku.

Aku tersenyum. Terkagum oleh hasrat belajarnya. Meski, pekerjaannya membuat ia kerap kewalahan mengatur jadwal, ia tak lantas mematikan percik semangatnya. Sekali lagi, berkelebat tutur dia tentang hasrat dan cita-citanya. Menjadi tentara. Bekerja di lingkungan DPR RI. Dan, apabila ada kesempatan, menjadi sarjana.

‘Saya ingin terus belajar, mas. Ingin terus berkembang,’ ucapnya sore dulu. ‘Saya tidak ingin seperti teman-teman yang menjadi kehilangan minat untuk menambah pengetahuan.’

‘Sering-sering aja main kemari,' demikian aku mengakhiri bincang sore itu. Meski berada tak berbilang jauh, tetapi, sekat-sekat di sini membuat tiap penghuni terasa jauh. Benar saja, aku tidak lagi menjumpainya sejak sore itu. Petugas pengamanan dalam tidak pernah menetap. Mereka berpindah dari lantai ke lantai. Beberapa, aku sempat mengenali mereka. Tetapi, ketika sapaan mulai saling mengalir, esok hari tidak lagi aku dapati mereka menduduki tempat jaga di lantaiku berada.

Kesunyian malam rupanya kembali memunculkan dia dari endapan lamat-lamat bayang memori jiwa. Begitu banyak bayang tercetak setiap hari. Dan selalu, aku tertatih dalam urusan mengingat nama. Memegang bayang wajah sepertinya lebih mudah dari sekadar mengurutkan beberapa potong huruf membentuk nama.

‘Semoga tidak terjadi apa-apa mas tanggal 28.’

‘Insyaallah. Semoga dijauhkan dari kerusuhan dan bahaya.’

‘Amin, mas.’

‘Tetap semangat belajar, ya.’

Tidak terlalu jelas, tetapi ia kelihatan tersipu. Wajahnya mengguratkan senyum. Kepalanya terangguk pelan. Irama tubuh itu, bagiku, lebih dari cukup untuk mengguratkan jawaban ‘iya’.

Gelap berbaris makin rapat. Udara kian melaju lambat terbebani basah. Usai melambai berpisah, aku meneruskan langkah menuju tempat parkir.

Aku berderap melaju pulang. Malam membujur memenuhi pekarangan panjang. Di antara rona-rona lampu yang menyepuh jalan menuju pintu keluar, berderet beberapa tenda dengan atap lesu melambai terseret angin. Sekelompok polisi berserak menduduki rerumputan dan bahu jalan. Beberapa menatapi langit. Sebagian saling bertukar kata, memainkan bidak catur. Atau sekadar menghayutkan petik gitar menemani irama-irama lagu yang sayup terdengar.

1 bulan sudah 4 tenda polisi itu berdiam di kompleks gedung DPR. Jiwa-jiwa terkurung seragam itu pastilah merindukan keluarga, kekasih, atau belahan hati yang sudah sekian lama mereka tinggalkan. Entah sampai kapan rindu itu hanya menggelantungi laju angin malam.

Semoga kekacauan ini segera menghilang di ujung kedamaian. Semoga hati-hati yang terpisah dapat segera disatukan. Dan semoga, keberkahan dan kemuliaan dilimpahkan untuk negeri tercinta ini.

1 comment:

Anonymous said...

Nice post and this fill someone in on helped me alot in my college assignement. Thanks you for your information.