Thursday, February 18, 2010

RPM Konten Multimedia: Harmonisasi berujung Tirani

Menteri Tifatul, seperti Percy Jackson dalam serial Percy Jackson & The Olympians, sedang suka bermain petir. Setelah beberapa waktu lalu melemparkan RPP Penyadapan, Tifatul kembali mengayunkan petir melalui rencana penerbitan Peraturan Menteri tentang Konten Multimedia. Uji publik RPM Konten Multimedia menghadirkan banyak kecaman. Kebebasan berpendapat, atas nama formulasi tunggal harmoni kemaslahatan, sedang menuju lembah pengekangan. Dalam negeri yang mengklaim menganut demokrasi, haruskah kebebasan selalu dipertentangkan dan dikejar-kejar untuk dimasukkan ke dalam bakul otoritas kekuasaan?

Cacat Kelahiran
Setidaknya, ada dua hal yang bisa digunakan untuk melihat legal tidaknya keberadaan RPM Konten Multimedia ini. Pertama adalah dari segi landasan hukum keberadaan, dan kedua dari segi substansi muatan. Hirarki peraturan perundangan, seperti diatur dalam pasal 7 UU 10 tahun 2004, tidak mengenal adanya Peraturan Menteri. Meski demikian, tidak lantas Peraturan Menteri hilang dari hirarki hukum positif. Pasal 7 dan UU 10 tahun 2004, apabila dibaca berdasarkan interpretasi dan logika hukum, tidak bersifat limitatif. Setiap pejabat negara, dimungkinkan untuk membentuk peraturan perundangan dengan kewenangan atributif atau kewenangan delegatif/derivatif. Dengan payung kewenangan atributif, menteri dapat mengeluarkan Peraturan Menteri berdasarkan kekuasaan delegasi yang diamanatkan oleh peraturan hukum yang lebih tinggi, seperti Undang-Undang. Di samping kewenangan atributif langsung dari Undang-Undang, kemunculan Peraturan Menteri juga dapat berasal dari sub delegate legislation, Undang-Undang memerintahkan kepada pemerintah, dan kemudian pemerintah mendelegasikan kewenangan tersebut kepada menteri.

Mencermati konsideran yang digunakan dalam penyusunan RPM Konten Multimedia, tidak ditemui pasal Undang-undang atau Peraturan Pemerintah yang dapat digunakan sebagai cantolan hukum kelahiran RPM tersebut. Tidak ada pasal dalam UU Penyiaran, UU Pers, ataupun UU ITE yang memerintahkan kepada menteri, atau bahkan delegasi langsung kepada pemerintah, untuk menerbitkan aturan turunan tentang Konten Multimedia. Jelas terlihat, menteri Tifatul sedang melakukan akrobatik kewenangan di sini. Seperti Percy Jackson yang masih gagap mengendalikan kekuatan petir yang tiba-tiba ia punya, Tifatul pun tak kalah kerepotan mengendalikan kekuatan yang mendadak ia punya. Sang Menteri masih kagok, ia belum terbiasa bermain petir.

Substansi RPM
Hal pertama yang sangat dilematis mengenai RMP Konten Multimedia adalah: apakah persoalan mendasar mengenai hak asasi manusia untuk berpendapat, berekspresi akan diatur dan dibatasi oleh peraturan sekelas Peraturan Menteri? Pasal 28F UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, berhak memperoleh, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Pasal 28 UUD 1945 terang benderang mengatur bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Akibat tidak tepat dari segi wujud, pembatasan hak asasi manusia oleh Peraturan Menteri, jelas akan berbenturan dengan kebebasan berpendapat yang secara tegas diatur dalam UU Pers dan UU Penyiaran. Dua Undang-undang tersebut, secara ironi justru dijadikan konsideran kelahiran RPM Konten Multimedia. Hukum dasar perundangan, bahwa perundangan lebih tinggi mengalahkan perundangan lebih rendah, membuat Peraturan Menteri tak akan mempunyai daya ketika diadu dengan Undang-Undang dalam judicial review oleh Mahkamah Agung.

Terlepas dari lemahnya alasan hukum keberadaan RPM Konten Multimedia, hal paling mendasar yang patut disayangkan dari kemunculan RPM ini adalah masih adanya pemikiran untuk mengambil otoritas kebebasan individu oleh negara. Meski tidak selalu bergandeng tangan, demokrasi, paham yang menjunjung kedaulatan rakyat, sangat berkait erat dengan penghormatan atas kebebasan individu. Di negara yang menganut demokrasi, kebebasan individu mendapatkan pengakuan dan dijamin sepenuhnya oleh konstitusi.

Negara seharusnya tidak terlalu jauh turut campur mengatur urusan pribadi warga negara. Ada pembatasan yang jelas mengenai apa yang diatur oleh negara dan wilayah mana yang menjadi milik masyarakat. Demokrasi yang telah dewasa mempercayai bahwa tiap pribadi warga masyarakatnya mampu memilih nilai yang terbaik bagi kemuliaan dirinya sendiri. Apabila masyarakat dipaksa terjerumus ke dalam mediokritas kolektif, maka nilai-nilai pembentuk peradabatan seperti kreatifitas, spontanitas, ataupun daya imajinasi akan terkebiri. Proses pendewasaan akan mandek. Masyarakat menjadi bayi yang selalu disuapi mengenai apa yang terbaik. Dengan dalih kebebasan positif demi tercapainya suatu tatanan ideal yang selaras dan harmonis, negara justru terjebak ke dalam despotisme dan tirani.

Tidak mudah memang untuk merumuskan batas kebebasan. Akan tetapi, dalam demokrasi, kebebasan individu akan menemukan batasnya apabila ia sudah mengancam kebebasan orang lain. Dan, dalam rangka menuju masyarakat yang dewasa, satu dua tiga kali memilih sesuatu yang salah, adalah lebih baik sebagai proses pembelajaran, dibandingkan dengan dicocok hidungnya untuk diarahkan memilih yang telah dipilih oleh otoritas negeri. Masyarakat yang dewasa adalah masyarakat yang lahir dari proses belajar. Individu yang tumbuh dalam suasana penuh dengan larangan, tidak akan pernah tumbuh menjadi dewasa. Sesuatu yang dilarang, dalam segala bentuknya, hanya akan makin menumbuhkan rasa penasaran dan keinginan untuk melanggarnya.

Dualisme liberalisme
RPM Konten Multimedia, dalam spektrum yang lebih luas, menunjukkan dualisme pengelolaan negara oleh pemerintah. Di satu sisi, dalam dunia yang telah menjelma menjadi kampung global, pemerintah melakukan liberalisme di sektor ekonomi dan perdagangan. Sektor yang mengurusi hajat hidup orang banyak, dengan alasan memacu anak negeri menjadi lebih tangguh dan mandiri, dibuka bebas bercampur baur dengan komoditi luar negeri. Sejak Januari 2010, dengan berlakunya CAFTA Agreement, pojok pasar di seluruh negeri tak jauh beda dengan sudut pasar di China, Bangkok, atau Thailand. Keterbukaan pasar, dengan segala konsekuensi dan harga yang musti dibayar, cukup terbukti mampu mendorong perekonomian.

Negara terbukti tak berdaya melawan tuntutan dunia untuk masuk ke dalam perdagangan bebas. Lalu, atas dasar apa, pejabata sekelas menteri berani menerbitkan peraturan yang dimaksudkan memutus komunikasi masyarakat ke dalam jejaring global? Perdagangan dan industri memerlukan dukungan infrastruktur berat seperti jalan, listrik, pelabuhan, bandara, dan konstruksi material lain. Sedangkan komunikasi global, atau internet, hanya memerlukan sambungan data yang, dalam segala hal, lebih mudah diwujudkan dibandingkan infrastruktur penunjang perdagangan. Dengan adanya pasal yang dimaksudkan untuk menjerat pengelola layanan konten multimedia, akankah negara mempunyai daya ketika harus bertarung melawan Google, Wordpress, Blogspot, atau penyedia layanan lain yang secara legal tidak berada dalam otoritas hukum Indonesia?

Jalan menuju surga tidak selamanya dibangun atas dasar niatan baik. Demikian bunyi sebuah diktum. Harmoni kedamaian masyarakat tidak akan lantas terbangun dengan pembatasan konten multimedia. Pengambilan hak individu oleh negara, atas nama apapun, hanya akan melahirkan apatisme dan menarik negara kembali ke era tradisional dan kegelapan. Kemajuan peradabatan tidak dibangun oleh serangkaian peraturan berlabel ‘tidak’, tetapi pemberian kepercayaan kepada masyarakat disertai dengan penegakkan hukum yang konsisten adalah jalan keluarnya.
Apabila dalam perjalanannya menjadi dewasa ternyata dijumpai penyimpangan atau kesalahan, ada lembaga peradilan, dewan pers, komisi Ombusman, atau kode etik jurnalistik, yang secara konstitusi sah untuk menindak. Pembuatan aturan dan badan baru, hanya akan semakin membawa negara ini ke dalam labirin birokrasi yang makin ruwet tiada berujung.

Masyarakat telah semakin dewasa. Keberhasilan melewati transisi demokrasi, proses pemilu yang berjalan aman, dan rasionalitas yang tetap terjaga ketika melewati kisruh antara lembaga tinggi negeri, menunjukkan tingkat masyarakat yang semakin matang. Tak seharusnya pemerintah meremehkan kedewasaan masyarakat negeri ini. Sebagai negara hukum, mari kembali kepada konstitusi sebagai sumber perundangan tertinggi. Hak mengeluarkan pendapat adalah hak asasi yang tidak boleh dihilangkan dengan alasan apapun juga. Dan apabila harus dibatas, kemuliaan kedudukan hak asasi, hanya pantas dipagari dalam peraturan dalam bentuk undang-undang.

Dalam sebuah artikelnya, Rizal Mallareng memulai dengan pertanyaan: kapan saya bisa berkata bahwa saya orang bebas? Jawaban atas pertanyaan sederhana ini bisa mengubah arah sejarah. Semoga menteri Tifatul dapat memahami bahwa kebebasan manusia membuatnya memiliki banyak keinginan. Serangan bertubi kebebasan positif atas kebebasan negatif, terbukti tidak mampu menurunkan derajat kebebasan negatif sebagai sebuah falsafah kebebasan. Pengingkaran terhadap kebebasan untuk memilih, dan percaya berlebihan terhadap formula tunggal untuk mengejar harmoni, justru akan mengingkari fitrah manusia itu sendiri. Semoga juga sang menteri, seperti halnya Percy Jackson, dapat bertindak arif sehingga upaya membangun peradaban di negeri ini tidak berujung pada despotisme dan tirani.

No comments: