Thursday, February 4, 2010

Jibril Penjual Cetot


Dia bukanlah pernik penting. Dalam tata panggung senayan, dia ibarat kedip. Sekilas. Sesaat langsung amblas. Sedemikian cepat hingga nyaris tak terlihat. Tak ada yang peduli bahwa dia ada. Pernah, 4 hari aku tidak menemukannya, semua tetap mengalun baik-baik saja. Tak ada teriak kehilangan. Tak ada yang peduli untuk mempertanyakan. Ketiadaannya sama tidak pentingnya dengan keberadaannya.

Ia muncul di setiap pagi. Selalu di tempat yang sama. Di ujung tikungan depan Pujasera. Di bawah bulatan rambu bergambarkan garis panah melengkung ke bawah. Bersebelahan dengan pot besar. Tertunduk beriringan dengan penjual jamu. Dan, selalu, bersetia dengan 2 bakul meringkuk di depannya. Ibu Kosasih, demikian kemudian aku mengenalnya.

Ibu Kosasih adalah penjual jajan pasar. Setiap pagi, saat mobil dan motor berkelebat tiada henti di depannya, ia sigap membungkus getuk, cetot, dan aneka jajan khas Jawa lainnya. Jemarinya terampil meramu aneka warna jajan pasar tersebut menjadi satu porsi. Ia pun membebaskan pembeli untuk memilih jajan yang disukai. Setelah jelas yang diminta, ia akan sigap mewadahinya. Bukan dalam bungkusan hijau daun pisang, tetapi dalam wadah plastik berbentuk cangkang. Tak mahal, satu porsi cukup dibayar seharga tiga ribu rupiah.

Ibu Kosasih, mungkin, dalam tata panggung Senayan, tak lebih dari sekedar kedip. Tapi bagiku, ia adalah penawar rindu akan kampung halaman. Kehadiran jajan pasarnya menyuguhkan romantisme yang memampatkan waktu, mendekatkanku dengan kehangatan kampung halaman. Dahulu di waktu kecil, ibu selalu membawa oleh-oleh tersebut dari pasar. Teringat bagaimana kami, aku dan kakak serta adik, berlarian. Bergelut diantara tawa untuk menjadi yang pertama mendapatkan aneka jajan terbungkus daun pisang.

Cetot, getuk, bukanlah sekedar makanan. Bagiku, mereka adalah sebuah penanda. Sebuah warta yang menerbitkan kerinduan akan rasa hangat romantisme masa lalu.

Ibu Kosasih mungkin hanya kedip tak terlihat. Tapi, ia adalah Jibril-ku. Beliau dikirim Tuhan untuk mendekatkan dua duniaku. Teruslah berjualan, ibu. Tiap pagi, aku akan berjongkok di depanmu.

2 comments:

Unknown said...

owalaaaah! tiap pagi jajannya di bu Kosasih tho... :D

Anonymous said...

Well I acquiesce in but I think the post should acquire more info then it has.