Monday, February 15, 2010

Valentine, Milik Siapa?

1
Dua hari terakhir, di sepanjang jalan Rawa Belong, seperti halnya di tempat lain, warna Pink sedang berkuasa. Bagi yang mempercayai, cinta, saat itu, sedang menemukan perwujudannya. Empat belas Februari, sekali lagi bagi yang merayakan, adalah waktu dimana cinta diwadahkan kembali dalam indah perayaannya.

Seperti produk yang telah menempuh daur hidup, cinta perlu disegarkan kembali. Seperti gubuk yang telah lapuk, komitmen dan hasrat perlu digelorakan lagi. Dan bagi yang mempercayai seremoni, momentum Valentine, adalah titik dalam konstruksi kalimat yang menghadirkan saat tepat untuk melakukan jeda. Mengamati kembali saat yang telah terlewat. Meneguhkan kembali kehangatan yang, mungkin, sempat terkoyak. Valentine, bagi yang merayakannya, adalah cawan yang menawarkan vitalitas cinta dan rasa.

2
Adakah Anda merayakan valentine? Atau, percayakah anda akan ritual selebrasi cinta tiap tanggal 14 Februari? Atau, Anda ada di baris mereka yang termasuk menghujatnya?

3
Valentine, seperti halnya produk budaya lain, selalu menyisakan ruang kontroversi. Kehadirannya disangkal, seperti halnya juga kedatangannya dirindukan. Kiranya, tak ada yang tidak membutuhkan kasih sayang. Keteduhan dan rasa sejuk cinta, tentu saja, dirindukan oleh setiap orang. Tetapi, ketika selebrasi cinta dan sayang itu dipatenkan dan dikomoditikan dalam ritual hari Valentine, banyak yang kemudian tidak mensepakatinya.

‘Valentine tidak perlu dirayakan.’
‘Aku biasa bersayang-sayangan kok tiap hari. Tidak perlu menunggu hari Valentine.’
‘Itu kan bukan budaya kita.’
‘Valentine? Itukan perayaan terhadap kematian St. Valentin. Masak kita memperingatinya?’
‘Budayaku tidak mengajarkan hal itu, kok.’

Dan, berbagai komentar lain tentang penolakan terhadap perayaan cinta di 14 Februari. Bahkan, di beberapa kota, Valentine tidak sekadar dilawan dengan retorika. Koran ramai memberitakan, di kota x, pelajar berdemo menolak hari Valentine. Ia, Valentine, tidak hanya ditolak, tapi juga dihujat. Bagi kumpulan ini, Valentine tidak hanya dipinggirkan, tetapi juga dimusnahkan.

Apakah, memang musti demikian Valentine diperlakukan?

4
Malam minggu Kemarin, aku tidak merayakan Valentine. Bukan karena aku menolaknya, atau menganggapnya tidak sesuai dengan budaya bangsa, tetapi, karena memang tidak ada yang diajak tuk merayakan. Andai ada belahan jiwa, mungkin, aku akan melewatkan malam itu dengan bersulang anggur putih, menikmati daging ayam, sambil berdendang mendengarkan suara alam di sebuah tenda di hamparan putih pasir pantai.

Aku memandangmu ketika para dewa sedang bertaruh untuk menjadi yang pertama agar mampu menepikan hamparan lentik rambutmu yang berderap terjuntai menutupi lentik-lentik tatap teduh cahaya matamu..

Aku mendapati hangat senyummu ketika dua dewa terakhir masih saja bertempur untuk hanya sekadar dapat merasakan hangat ruap aroma tubuh dan pancaran bening kulimu..


Hm.. sepertinya, rangkaian nada itu tak terlalu buruk untuk sedikit menggelorakan rasa di malam Valentine. Hanya saja, malam itu, aku tidak merayakan valentine.

5
Valentine bukanlah budaya kita. Itu memang benar. Valentine, tertebak dari katanya, menjadi muncul untuk mengabadikan perwujudan cinta Santo Valentine. Kisah cinta yang menyentuh puncak-puncak penghayatan, dengan kepenuhan jiwa dan rasa seorang pecinta, membuat Santo Valentino rela menanggungkan segala rasa demi kesetiaan terhadap kekasihnya. Heroisme selalu menyajikan legenda. Dan legenda, seperti halnya kemuliaan lain, selalu mendapatkan caranya sendiri untuk tetap abadi bertutur kepada generasi berikutnya.

Cinta Santo Valentine, mungkin, tidak lebih heroik dari kegilaan cinta Majnun kepada Laila. Atau juga bentuk bunuh diri Romeo demi menyandingkan Juliette. Dan, apabila kenapa kemudian, Valentine yang terpilih untuk melegenda, ini tak lebih dari bentuk keberhasilan komunikasi bangsa Barat. Seperti halnya komoditi import lain, Barat berhasil menjual kisah Valentine dalam perwujudkan seremoni hingga melahirkan tanggal 14 sebagai hari kasih sayang.

Valentine, jelas, bukan produk kita, bangsa Indonesia. Tetapi, apakah kemudian kita lantas menolak dan menghujatnya? Mungkin, kita perlu sedikit lebih arif. Apabila alasan ini yang kita pakai untuk mendiskreditkan hari Valentine, siapa yang dapat bilang bahwa Fb, Twitter, McD, Pizza, Blue Jeans, Sanyo, Toyota, Honda, adalah budaya Indonesia? Terlebih, siapa yang berani berkata bahwa pemilu, demokrasi, parlemen, adalah budaya bangsa Indonesia?

Lalu, lantaskah kita menolak dan menghujat Fb, Twitter, YM atau Mac Book Air hanya karena ia bukan produk Indonesia? Nah, lho.

Valentine, Mac Book Air, Acerh, Fb, Friendster, memang varian yang berbeda. Hanya, apabila alasannya adalah produk kita dan bukan produk kita, maka penolakan dan penghujatan Valentine, di satu sisi, dan pemujaan Fb dan Twitter, di sisi lain, menunjukkan ketidakkonsistensian kita. Apabila parameter yang dipakai adalah budaya Indonesia, maka tidak hanya Valentine yang ditolak dan dihujat, semua yang tidak bersumber, diciptakan, dan digali dari nilai-nilai luhur bangsa, atas dasar apapun, tidak layak diterima dalam peri kehidupan masyarakat kita.

Tetapi, adakah Fb dan Twitter ditolak? Adakah Mc Donalds, KFC dilarang berdiri? Adakah Levis, Cardinal, Versace, Armani, dilarang membungkus kulit pribumi?

Dalam dunia yang telah menyempit menjadi kampung global, pengkotakan antara kita dan yang bukan kita, sungguh tiada relevan lagi. Ketika arus informasi demikian mudah menyusup ke dalam tiap-tiap rumah penduduk negeri, klaim terhadap kemurniaan dan kemuliaan pribadi sungguh teramat sulit untuk dipenuhi.

Globalisasi membuat batas negara mengambang. Negara tak lagi hadir dalam sebuah lingkaran mampat tanpa lubang. Benteng negara telah runtuh. Ambrol tiada sisa. Pada titik ini, tak lagi ada klaim terhadap kemurniaan budaya. Budaya, dalam berbagai tingkatan, mengalami proses asimilasi. Negara tak lebih menjadi sebuah mangkuk besar. Di dalamnya mencampur setiap budaya dari segala macam peradaban. Dan, filter terakhir dari pertentangan budaya ini, bukanlah otoritas negara, tetapi pemaknaan pribadi akan nilai-nilai mana yang akan dipakai untuk menghiasi diri.

Dalam dunia yang menyempit menjadi kampung global, otonomi negara menjadi tiada. Otonomi luruh kepada satuan masyarakat terkecil, individu. Penguasaan diri pribadilah yang kemudian menentukan mana budaya yang sesuai dengan nilai, keyakinan, dan gaya hidup, dan mana budaya yang tidak dianggap sesuai dengan identitas dirinya.

Di sini, penolakan terhadap Valentine, bukan diletakkan pada konteks: ia bukan budaya kita, tetapi lebih pada karena alasan: maaf, aku tidak merayakannya. Klaim terhadap budaya, tidak menjadi kekuasaan negara atau masyarakat, tetapi telah menjadi hak otonom tiap pribadi warga negara. Manusia universal, seperti pandangan Hegel, adalah manusia manusia yang bebas, manusia yang mampu memilih apa yang terbaik untuk diri pribadinya.

Anda merayakan Valentine? Maaf, itu bukan budaya kita.’ Atau:
Anda merayakan Valentine? Maaf, saya tidak merayakannya. Itu bukan nilai-nilai yang saya yakini.

(bersambung)

2 comments:

ocha said...

ini obrolan kita tempo hari bukan sih? aku sampe sentimen sendiri ngebahas soal ini...tapi aku masih teguh pada pendirianku, valentine bukan budayaku :P *ngeyel dan ga mau ngalah*

Gie said...

iya.. baru sempet bahas 1 alasan. masih beberapa lagi alasan yang perlu diulas, diuji pertentangannya. tapi, kapan ya nulisnya.. hehe..