Wednesday, May 12, 2010

Kesadaran yang Tersandera

Betapa tidak mudah untuk beranjak dari kubangan dosa. Meski amis telah genap melamuri kujur, tetap saja, hasrat untuk mendosa selalu ada.

Rapatnya bilangan dosa tidak serta merta membuat jiwa merapuh. Tidak jua menarik cahaya langit turun bertambah dekat. Dosa yang makin menderas, hanya melahirkan lubang hitam yang semakin membesar. Sebuah lubang gravitasi untuk terus mengikat kita dalam percikan dosa. Lagi. Kembali. Dan lagi.

Aku bukannya tidak telah berupaya. Nyaris satu minggu aku keringkan bibir ini dari bercak rasa dia. Tujuh hari memanjang seperti siksaan tanpa henti. Bagaimana mungkin ikan dijauhkan dari air. Bagaimana juga bibir ini dipaksa terberai dari rintik-rintik rasa yang selalu mematik gelora membasahi sekujur nafsu raga. Aku pun melepuh. Tak sanggup bertahan di bilangan hari kedelapan.

Aku mengajaknya bertemu. Bibir yang mengering pun menjadi mengembun oleh tetes nafsu. Kembali. Dan kembali seperti itu. Berulang. Dan selalu berulang setiap waktu.

Kesadaran, ternyata hanya seperti tamu yang sesaat berkunjung datang. Ia tak lebih dari segelas air yang mencoba menghapus dahaga diantara terpa garang panas padang gersang. Tatkala ia ada, langit menjadi merapat. Ia menghadir teduh. Dekat menghangati tubuh.

Tetapi, kala nafsu mulai menampakkan deret giginya yang berbaris rapat, kesadaran seperti tetes air yang menggelepar diantara terpa terik panas siang. Ia menguap. Perlahan mulai menghilang. Kesadaran, bahkan tanpa sempat berpamit pulang, acap menghilang ketika ketuk nafsu mulai menuntut. Betapa aku berupaya menahannya, betapa telah aku kencangkan tali hatiku mengikat talinya, kesadaran kerap tak cukup punya kuasa.

Kesadaranku, seringkali, amblas menghilang bahwa ketika terbit nafsu baru menerbitkan bayang dirinya di sudut lipat jiwa. Seperti tikus busuk membaui nyalak taring kucing, dihadapan nafsu, kesadaranku mengingsut ke pojok jiwa. Hanya mampu meratap. Menangis lirih ketika nafsu menggelar tikar, mendirikan tenda, berkemah berpesta pora meletupkan bibir, jari, dan keseluruhan sudut-sudut ragaku.

Ia dapat saja berontak. Berteriak. Meradang menerjang. Berperang tanpa peduli akan hasil pertempuran. Tetapi, tidak. Kesadaranku justru menguncup di hadapan seringai nafsu.

Kemarin aku kalah. Hari ini pun kalah. Bila seperti ini, selamanya pun akan merintih kalah. Lalu, haruskah aku mencari kesadaran baru?

No comments: