Tuesday, May 25, 2010

Ironi Kursi

Melihatnya hanya menggeletak, ada sedih yang tersayat. Ia harusnya membekap tubuh berbalut aroma wangi, terbungkus rupa-rupa busana adi karya. Tapi, lihatlah, ia hanya mampu memakukkan tangannya. Bersebelahan dengan tangan-tangan kursi di sekelilingnya yang membatu tersiram dingin angin sore.

Tragis. Ironi yang menguncup hingga menyentuh puncak-puncak kelam anomali kesungguhan pengabdian.

Membekap kursi itu bukanlah perkara mudah. Ibarat demit, ia menghendaki pemujaan dengan bau sesaji anyir mengalirkan aroma duniawi. Jalan menujunya pun teramat terjal. Perlu keberanian, kesungguhan, semangat juang. Dan juga, pekat terselubung di sana, aroma keculasan, kerakusan, dan pemujaan terhadap berhala-berhala pemulus jalan. Sekadar untuk membangun jalan, menghabiskan waktu bertahun. Hingga tak terhitung bila kita menghitung habis hingga ritual menghias pagar, menaruh tanaman, dan melumurinya dengan rupa-rupa cat penambah aroma elok.

Mereka yang memujanya, memang tidak menanggungkan gaman. Tetapi, darah kerap memuncrat karena sengketanya. Api gampang meletup. Nanar menjadi mudah disebarkan. Kesetiaan pun menjadi tak lebih dari barang lapuk.

Manusia tak pernah kuasa mencintai apa yang telah menjadi miliknya. Sore ini, di antara deret kursi yang membeku menanti hangat tubuh dan aroma wangi busana tuannya, mataku sayu mengeja hukum yang masih saja ampuh tersebut. Meski dunia makin menua, dogma yang telah membungkuk tertindih bilangan umur uzur dunia tersebut, tetap tak pernah sepi dari para pemujanya.

Mereka membunuh untuknya. Lalu mereka mengabaikannya. Tentu, akan tiba masa, dimana darah dan kesenangan duniawi kembali mengucur demi pemujaan untuk mendapatkannya kembali.

No comments: