Wednesday, October 29, 2008

Paradoks Seorang Puteri

Wajahnya begitu sumringah. Ketika namanya selesai disebut, dengan langkah gemulai, hasil latihan selama mengikuti kontes, ia melangkah masuk ke studio. Tinggi. Langsing. Dan tentu aja, cantik. Maklum saja, ia adalah Puteri Indonesia 2007. Mau tahu namanya? Puteri Raemawasti. Luar biasa. Waktu belum resmi menjadi puteri Indonesia, dia sudah menjadi seorang puteri. Mungkin, hanya rekaan sih, ketika ibunya hamil, ia berdoa agar anaknya menjadi seorang puteri. Dan doa yang disimpan oleh langit itu, akhirnya menjadi kenyataan ketika putrinya benar-benar menjadi seorang Puteri.

Malam itu, dengan host idola saya, Tukul Arwana, sang puteri berbicara mengenai sumpah pemuda. Betapa mempesona. Dengan anting menjurai menjamah pundak, kalung yang menjerat leher membungkuk menapaki dada, ia menggerakkan bibir merah polesan lipstik merapalkan sejarah dan harapan sumpah pemuda. Kalimatnya lancar mengalir. Nafasnya teratur. Meski sesekali tersengal. Sumpah pemuda yang ketika dibangku sekolah hanya lembar-lembar kertas membosankan, menjadi demikian indah ketika dilantunkan oleh seorang puteri Indonesia.

Tapi, rupanya, malam itu, sang puteri tidak hanya menghadirkan keindahan. Ada paradoks yang sangat merusak pemandangan indah itu. Seorang puteri, seperti halnya manusia lain, rupanya tidak bisa lepas dari penyakit kronis krisis identitas kebangsaan. Tutur katanya yang rapi ketika mengeja arti sumpah pemuda, wajahnya yang semakin berkilau mempesona ketika berbincang mengenai romantisme persatuan dan kesatuan, mendadak hanya menghadirkan ngilu ketika ia melontarkan kalimat di bawah ini:

… banyak pemuda Indonesia yang ter-influenze oleh budaya asing yang bisa merusak generasi muda…


Lihat pilihan kata yang digunakan: influenze. Bahasa Inggris, bahasa Internasional. Luar biasa. Sungguh terdengar cerdas. Berpendidikan. Tidak sembarang orang bisa berbincang dengan bahasa dari negaranya David Beckham ini.

Puteri, malam itu, kamu membuat aku tercengang. Kagum. Dan mengutuk menggerutu: kenapa paradoks ini harus lahir dari seorang puteri, representasi agung bangsa yang mewakili jutaan identitas, harapan, semangat, impian rakyat Indonesia. Pribadi yang dipundaknya, pernah tersampir identitas agung bangsa Indonesia, yang pernah di suatu kesempatan, seluruh diri bangsa, terwakili dalam jenjang langkahnya ketika mengikuti sebuah kontes kecantikan berlabel miss-missan.

Sungguh terkesan intelek, cerdas, ketika kamu selipkan kata influenze dalam deret kalimat yang kamu gunakan. Tapi, yang membuat aku bingung, kenapa musti harus memilih kalimat itu? Terlebih, malam itu, dengan segala keanggunanmu, dengan segala representasimu, dikau sedang kami percaya untuk berbicang mengenai identitas bangsa, tentang kebanggaan kami sebagai bangsa Indonesia, dengan Sabang Meraukenya, dengan bahasa Indonesianya, dengan budaya adi luhungnya. Tapi, kenapa kamu hancurkan hati kami hanya dengan beberapa kali menaruh kata-kata intelek itu diantara kata-kata Indonesia kebanggaan kita? Puteri, kenapa engkau khianati kepercayaan kami?

Kembalilah, Puteri. Berlarilah kembali kepada kami. Hati kami menjadi miris ketika engkau malah mengkhianati kami. Kami begitu bangsa dengan kecantikan kamu. Dengan keanggunan kamu yang meremas hati. Dan meski sebentar saja, meski hanya malam ini, pesonakanlah kami dengan keanggunan dan kebanggaan sejati kamu sebagai puteri negeri ini: Puteri Indonesia 2007.

No comments: