Friday, November 14, 2008

Buku Sekolah Elektronik: Disayang atau Ditendang?

Sekitar Desember 2007, angin segar berhembus dari gedung Depdiknas Pusat. Persoalan mahalnya buku pendidikan, satu diantara sekian masalah yang melingkar dunia pendidikan Indonesia, ‘seolah’ telah berhasil diputuskan. Pihak Diknas akan membeli hak cipta buku dari penerbit dan penulis, lalu memajang buku tersebut di internet. Untuk memudahkan pengkodean, proyek ambisius inipun diberi nama Buku Sekolah Elektronik (BSE). Dalam logika sederhana, demikian yang dianut para petinggi Diknas, buku-buku yang open source tersebut bisa diunduh oleh siapa saja. Hasil ajaibnya, semua orang pada akhirnya akan dapat memiliki buku sekolah tanpa harus membayar. Tuntutan buku gratis yang terus didengungkan masyarakat, masih dalam bayangan petinggi Diknas, akan terselesaikan. Tapi ternyata, dan demikianlah selalu, realitas tidaklah semulus dan secantik bayangan.

Langkah awal dari proyek ini dimulai pada Mei 2006. Pusat Perbukuan bergandengan tangan dengan BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) getol menyatroni kota-kota di Indonesia untuk memberikan sosialisasi penilaian buku ajar. Diknas tidak menghendaki buku-buku yang dipajang di etalase situsnya adalah buku yang tergolong rubbish, oleh sebab itu sekumpulan instrument dan standar minimal kelayakan buku pun disusun. Hasilnya, melalui kerja marathon yang, mungkin, melelahkan dan menyenangkan, pada tahun anggaran 2008, Diknas telah membeli hak cipta buku pelajaran sejumlah 250 buku. Dan rencananya, pada tahun anggaran 2009, diknas akan membeli lagi hak cipta sebanyak 300 buku.

Setelah buku-buku open source berhasil dikumpulkan, langkah berikutnya adalah mempersiapkan rak untuk memajang buku tersebut. Dan setelah tertunda dan tertunda, akhirnya pada tanggal 20 Agustus 2008, situs Buku Elektronik Sekolah (BSE) secara resmi diluncurkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Buku gratis telah ada. Rak pajangan telah dibuat dan ditata dengan manis. Selesai sudahkah persoalan seputar kemahalan buku pelajaran? Tidak. Justru, di sinilah masalah sebenarnya mulai bermunculan. Masalah yang sepertinya di luar perkiraan para think thank kebijakan BSE. Pertama, sosialisasi BSE yang sangat terkesan jauh api dari panggang. Meski sudah secara resmi diluncurkan, banyak pelaku pendidikan di negeri ini rupanya belum ngeh dengan keberadaan BSE. Kita tidak usah jauh-jauh menanyakan ke pedalaman Sumatera atau daerah pinggiran utara Pulau Jawa, banyak kepala sekolah bonafide di kota besar yang ironisnya tidak mengetahui adanya BSE. Logika sederhana, jika sekolah elite di kota besar saja tidak tahu, apalagi sekolah nun jauh di pelosok pedalaman sana. Dan apabila para pengguna saja tidak tahu, bagaimana program ini dapat terlaksana dengan sukses?
Dalam hal ini, akan sangat bijaksana apabila Diknas menggerakkan unit-unit dinas yang ada di daerah untuk mengintensifkan sosialisasi. Keberadaan Widyaiswara dan instansi terkait lain semestinya juga dioptimalkan untuk mengkomunikasikan apa dan bagaimana BSE.

Kedua, dan ini yang ironis, proses pengunduhan buku-buku di situs BSE ternyata sama sekali tidak mudah. Dengan koneksi Internet berkecepatan 250 MB pun, untuk download 1 judul buku diperlukan waktu lebih dari 3 jam. Lalu bagaimana jika didownload dengan sambungan dial up? Di situs BSE sendiri sebenarnya sudah tersedia layanan baca online. Tampilannya juga cukup manis karena menggunakan animasi flash pageflip. Tapi ya itu tadi, proses membacanya juga memakan waktu yang relative lama. Lalu buat apa anggaran sebesar milyaran rupiah digelontorkan untuk mendesain dan mempercantik situs pajangan jika untuk memetiknya saja diperlukan upaya yang sangat ekstra?
Beruntunglah banyak hati mulia di kalangan netter, hingga akhirnya banyak bermunculan server minor yang menawarkan bantuan mendowload file BSE dengan ukuran yang telah diperkecil tapi dengan kualitas yang relative sama.

Ketiga, terminology GRATIS. Masyarakat yang telah mendengar proyek BSE, sangat berharap banyak pada buku yang disebut gratis ini. Bayangan mengeluarkan uang sekian ratus ribu setahun untuk membeli buku ajar sontak sirna dengan janji buku gratis. Tapi lagi-lagi, buku gratis rupanya masih tertahan di angkasa. Untuk menghadirkan buku yang disebut gratis itu ada di hadapan, ternyata diperlukan pertolongan rupiah. Masyarakat musti membayar untuk bisa konek internet, masyarakat juga musti membeli computer atau laptop untuk dapat membaca buku yang, semoga, berhasil diunduh tersebut. Dan karena computer dan laptop masih tergolong langka, file tersebut paling mungkin adalah digandakan dengan dicetak atau difoto kopi. Beberapa guru di sekolah bahkan harus berkeliling ke berbagai penerbit untuk mencari harga cetak yang tidak melebihi harga jual maksimal yang ditetapkan Menteri. Untuk memfoto kopi juga sangat mahal. Bahkan jauh di atas harga maksimal yang ditentukan oleh Diknas. Pertanyaan sederhana adalah, lalu dimana gratisnya?

Keempat, para petinggi Diknas sepertinya lupa bahwa tidak semua daerah dan sekolah di Indonesia sudah tersedia jaringan internet. Logikanya adalah, buat apa disediain makanan berharga mahal, apabila kita tidak berdaya untuk memasukkan ke mulut kita? Yang terjadi justru ironi dan sakit hati. Indonesia adalah Negara yang besar. Kebesarannya juga ditunjukkan dengan cakupan wilayah yang terbentang maha dari Sabang sampai Merauke. Tingkat pembangunan yang tidak merata mengakibatkan infrastruktur yang tersebar di seantero penjuru negeri juga tidak sama. Bagi banyak daerah pedalaman, internet merupakan barang asing yang mendengarnya saja mungkin belum pernah.
Diknas pun kemudian menjadi bulan-bulanan para netter. Ketidakpekaan dan ketidakpedulian pada tidak meratanya infrastruktur pendidikan ini juga membuka aib bobroknya birokrasi selama ini. Dan menyadari pihaknya dalam posisi diserang, Menteri Pendidikan pun memilik bersikap offensive. Entah mendapat bisikan dari mana, dalam pernyataan terbarunya (Kompas, ….) Mendiknas menyebut bahwa kebijakan BSE bukan ditujukan kepada masyarakat, tetapi kepada perusahaan. Logika yang dipakai, dengan harga jual yang telah ditentukan, BSE memang boleh digandakan dan dijual oleh siapa saja asal harga tidak melebihi batas yang telah ditetapkan, maka harga buku yang beredar tidak akan terlalu mahal. Tapi benarkah demikian?

Akan sangat bijaksana apabila pengadaan BSE ini dilakukan subsidi silang. Sekolah dengan kondisi keuangan baik, infrastruktur lengkap, dapat mengadakan BSE dengan cara mereka sendiri. Sementara untuk daerah yang kondisi sekolahnya masih mengenaskan, masalah BSE ini dapat ditangani oleh Dinas Pendidikan Kabupaten setempat. Dengan dana BOS yang masih dikucurkan, Dinas Kabupaten dapat bekerja sama dengan percetakan daerah atau percetakan swasta untuk mencetak buku dalam kisaran harga yang telah ditetapkan. Biaya yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten tentunya akan sangat jauh di bawah biaya yang dulu dikeluarkan untuk mengadakan buku secara langsung dari penerbit.

Kelima, nasib dunia kepenulisan buku pelajaran Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum, selama ini banyak guru sekolah yang juga berprofesi sebagai penulis buku ajar. Di samping dapat meningkatkan ilmu, memperoleh kredit poin untuk kenaikan pangkat, guru yang juga penulis tersebut juga mendapatkan royalty. Dan sekarang, dengan hak cipta bukunya dibeli untuk waktu 15 tahun, apakah para penulis tersebut juga harus berhenti berkarya? Laju ilmu pengetahuan dan dunia yang berderap cepat, apakah mungkin dapat dijelaskan oleh buku yang selama 15 tahun tidak pernah mengalami proses revisi? Kira-kira bagaimana cermin generasi penerus bangsa nanti apabila literature yang menemani mereka belajar hanya berisi kumpulan-kumpulan data dan fakta yang sudah tidak otentik lagi?
Dengan brainstorming buku gratis yang selalu didengungkan, tentu saja masyarakat akan malas untuk mencari buku pendamping pelajaran. Akibatnya, Karena tidak ada bacaan pembanding, maka fakta-fakta kuno itupun akan terus berloncatan di kelas-kelas sekolah putra-putri Indonesia.

Untuk mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan kondisi dunia yang terus berubah, akan sangat bijaksana apabila pemerintah juga mulai memikirkan keberadaan buku pendamping buku-buku BSE. Sejujurnya, upaya ke arah ini sudah dimulai dengan pengadaan buku untuk perpustakaan yang dibiayai oleh Dana Alokasi Khusus (DAK). Tapi, melihat buku-buku yang beredar untuk DAK, penulis jadi miris apakah kualitas perpustakaan sekolah dapat meningkat. Banyak buku untuk DAK yang disusun dengan semangat Bandung Bodowongso hingga akibatnya kualitas dari buku tersebut sangat dipertanyakan.

Keenam, ketidaksesuaian buku yang dipakai guru dengan buku yang dipunyai siswa. Dengan semangat pluralisme, buku-buku yang ada di etalase BSE terdiri dari berbagai macam. Untuk satu bidang studi dalam 1 tingkat pendidikan bisa terdapat lebih dari 4 judul buku. PKn SD tingkat 1 misalnya. Ada sekitar 5 judul buku dengan pengarang yang berbeda. Masalah yang timbul adalah, seringkali pihak sekolah menggunakan buku karangan penulis A, sementara orang tua murid telah dengan sukses mendownload buku karangan penulis B. buku yang telah diprint dan dijilid manis itu pun akhirnya tidak terpakai karena sang murid dipaksa menggunakan buku yang sama dengan buku yang dipakai guru. Kita tidak bisa menyalahkan guru karena memang kebijakan ini dilematis. Dibebaskan mengunduh dan mencetak sendiri, masih sangat tidak mungkin. Dipakai cara kolektif agar ongkos cetak bisa diakali, ada satu dua orang tua murid yang telah memberi buku BSE berbeda pada anaknya.

Akan sangat baik apabila pihak sekolah atau guru tidak memaksakan siswa untuk menggunakan jenis buku tertentu. Apabila sekolah tersebut sudah menyedikan buku gratis BSE melalui dana BOS, misalnya, biarkan saja siswa memiliki buku BSE jenis yang lain. Keragaman literature yang dipakai justru akan memperkaya dan memperindah proses pembelajaran. Toh semua buku BSE sudah distandardisasi dan sesuai dengan indicator kelulusan yang nanti dipakai dalam ujian nasional.

Ketujuh, ini yang emosional, nasib industri penerbit buku pelajaran Indonesia. Dengan buku yang telah dibeli hak ciptanya selama 15 tahun, logikanya, perusahaan tidak akan melakukan proses produksi buku selama kurun waktu tersebut. Karena tidak ada proses produksi, lalu darimana perusahaan memperoleh pemasukan untuk menghidupi karyawannya. Seorang pemilik perusahaan penerbitan bahkan sampai stress memikirkan hal ini. Meski setelah berminggu-minggu semedi, akhirnya ia harus tetap merumahkan para karyawannya. Data IKAPI menunjukkan hingga tahun 2007 terdapat 400 penerbit buku pelajaran di Indonesia. Kalau setiap penerbit terpaksa merumahkan 50 karyawannya, berarti ada sekitar 20.000 pengangguran baru. Berapa anak yang terancam kelaparan, anak yang putus sekolah, rumah tangga berantakan, dan rencana pernikahan yang terbatalkan karenanya?

Menghadirkan buku gratis untuk memenuhi hajat pendidikan orang banyak merupakan sebuah cita-cita yang mulia. Tapi kemuliaan pada tataran niat ini akan hanya menjadi dinding yang penuh dengan lumuran dosa apabila dalam mencapainya lebih banyak mudhorot daripada manfaatnya.
Penilaian buku ajar 2009 sudah diambang mata. Usia pemerintahan SBY-JK pun tinggal menyisakan 1 tahun lagi. Dengan 1 tahun pengalaman BSE, dan dengan itikad baik untuk mewujudkan pendidikan gratis bagi semua, tentunya masih banyak perbaikan yang bisa dilakukan pada tahun anggaran 2009. kebijakan BSE musti tetap diteruskan. Dan dengan segala potensi dan kemampuan kita, mari bersama-sama menyumbang pikiran untuk menutup lubang-lubang persoalan yang terurai tadi. Mari berikan yang terbaik untuk para penerus negeri.


Sugiarno
Praktisi dan pengamat perbukuan, tinggal di Semarang

No comments: