Thursday, January 29, 2009

Matatari

Aku kembali melihat peremuan itu. Tetap saja ia muncul dengan balutan aura yang sama. Cantik. Fresh. Mempesona. Menarik hati dan tangan untuk menjulur memetiknya. Dengan letup bibir yang tertata menggoda, ia menjawab manja setiap pertanyaan yang merambati layar laptop Tukul Arwana. Sesekali matanya mengejap. Tawanya yang renyah pun acap tersaji keluar, menambah pesona dan sempurna semampai raganya.

Ketika akhirnya ia berkesempatan mendendangkan lagu kesukaannya, Inikah Cinta yang dipopulerkan oleh ME, gelak kilau ratu pesta segera saja tergelar. Tariannya demikian ringan. Tangannya bergerak seirama dengan hentakan kaki. Tubuhnya sesekali bergetar menebar goyang menggoda. Dan di atas leher jenjang bertaut untai kalung memikat, mata dan bibirnya tiada henti menebar bius merenggut kesadaran jiwa setiap mata yang melihatnya.

Aku teramat ingin mengabadikan detil gerak itu. Hanya saja, aku tidak melihatnya lewat laptop. Televisiku tidak cukup canggih untuk dapat merekam momen tersebut. Jadilah mataku berkontraksi 3 x lebih kuat. Seperti camera 8 MP dengan 15 x zoom, retina itu menangkap tiap detil frame gerakan Cut Tari, berjumpalitan mengirimkannya ke sensor otak, yang kemudian mempekerjakan berjuta electron untuk membuka tabir memori ingatan.

Cut Tari memang mempesona. Masih teringat jelas, bagaimana aku dulu kerap menghidupkan televise ruang kantor tepat menjelang pukul 12.00. Betapa aku tertawan untuk mengecap tiap goyang badan Tari tiap ia usai membawakan acara infotainment Insert Siang. Sesaat setelah salam penutup diucapkan, ketika rambat teks tim redaksi mulai merambati monitor, musik penutup akan mulai berdentum. Saat itulah, di balik meja siarnya, dengan kaki terbuka yang terjulur menggoda menyembul di balik meja, dengan gaun yang selalu tampil membuka, bibir ranum basah menggoda, kerlingan mata yang tiada henti mengejap, ia akan menggoyangkan bahu dan tangannya. Hingga akhirnya, keindahan itu akan ditutup dengan derail tawanya yang membuncah ketika pasangan penyiarnya cukup mampu mengimbangi gerakan liarnya.

Ah, Tari, meski sekarang aku melihatmu tampil di waktu malam, tapi cahayamu tetap saja benderang. Dunia punya cahaya bernama matahari. Dan, layar kaca, punya kilaunya sendiri berlabel matatari.

No comments: