Monday, February 2, 2009

The Brave One

Setelah sebuah peristiwa buruk menerpa, masihkah kita akan menjadi pribadi yang sama. Ataukah, seseorang asing, makhluk yang tidak pernah kita sadari sedari lama berdiam dalam diri, akan bangkit, dan mengambil alih kesadaran kita. Ia memakai tangan, kaki, mata, kepala kita untuk melakukan apa yang menjadi keinginannya. Hingga akhirnya, ia akan menguasai diri kita.

Erica Bain, diperankan dengan sangat apik oleh Jodie Foster, hanya dapat menutupi wajah dan tubuh dengan tangannya ketika besi, tangan, dan kaki penjahat jalanan terus menghujaminya. Tak ada yang dapat ia lakukan selain melolong, meminta ampun, dan melakukan perlawanan semampunya. Sementara tak jauh darinya, David, sang kekasih, berada dalam kondisi yang jauh lebih mengenaskan darinya. Di antara salak Boy, anjing mereka yang terkapar terkena tendangan, para penjahat jalanan tersebut terus berpesta pora menyiksa sepasang kekasih tersebut.

Terbangun dari tidak sadar selama 3 minggu di rumah sakit, Erica harus mendapati kenyataan bahwa sang kekasih tidak terselamatkan. David meninggal ketika mereka tengah berbunga menyiapkan segala hal menuju pesta perkawinannya.

Tak banyak yang dapat kembali bangkit setelah sebuah peristiwa buruk. Tapi Erica melakukannya. Ia bangkit kembali. Meski dengan sebuah kenyataan pahit, ia tidak dapat kembali mendapati dirinya yang dulu. Erica yang berhati lembut, yang tidak berani keluyuran sendiri, yang menyimpan takut di hatinya, telah terkubur mati bersama dengan timbunan tanah yang menguruk tubuh David, kekasihnya. Erica yang meski kembali berjalan ke EKW, stasiun radio tempatnya bekerja, adalah Erica yang tidak lagi mengenal rasa takut. Erica sekarang adalah Erica yang selalu bertemankan dengan pistol caliber 9 mm di tas gantung hitamnya. Erica yang dengan tangan gemetar meledakkan kepala lelaki brengsek yang menyiksa kekasihnya. Erica yang kemudian dengan dingin merobohkan dua preman yang menanyaianya apakah dia pernah bercinta dengan pisau. Tangan yang dulu gemetar memegang pistol itu, sekarang makin tepat mengarahkan sasarannya. New York tidak mengetahui keberadaan makhluk asing dalam tubuh Erica. Mereka, lewat para jurnalis, hanya mengenalnya dengan julukan ‘hakim jalanan.’

Misi dendam Erica akhirnya tertuntaskan. Mereka yang menyiksa ia dan David diketemukan polisi. Ketika diminta untuk mengidentifikasi, ia sengaja berbohong dengan tidak mengatakan mengenal penjahat yang menyiksa dia dan David. Di antara bibirnya yang terkantum menahan getar dendam, ia telah menyiapkan sebuah penghakiman jalanan. Dalam sebuah lorong di keremangan malam, makhluk asing dalam tubuh Erica menemukan puncak pestanya ketika dengan sebuah teriakan garang, pistol legal pinjaman Detektif Mercer meledakkan kepala penjahat jalanan.

Dendam telah tuntas. Akankah semua akan kembali baik-baik saja? Erica telah melangkah demikian jauh. Ia tidak mampu kembali. Peristiwa pahit itu telah mengubah diri dan hidupnya. Ketidakmampuannya menerima kenyataan, ketidakberdayaannya untuk kemudian memutuskan meneruskan balas dendam, telah membuatnya menyerahkan diri dan kesadaran pada makhluk asing yang berdiam di tubuhnya.

Hingga kemudian, setelah semuanya usai, ia tidak dapat kembali mengenali jalan pulang. Tidak ada lagi jalan untuk kembali menjadi seperti yang dulu. Apa yang ada dulu telah menjadi orang lain. Sesuatu yang berada di tempat lain. Makhluk itu, orang lain itu, kini menguasainya.

Teramat benar, selalu ada makhluk asing dalam diri kita. Ia akan terbangun, ketika diri kita sekarang, tidak lagi cukup mampu mengkrabi realita. Sekali kita menyerah, maka tubuh kita akan menjadi tempat berpesta makhluk itu, orang lain itu.

Atau akankah ada The Brave One seri 2 dimana akan akan tercipta sebuah pengecualian, bahwa, masih ada yang dapat kembali setelah peristiwa buruk yang terjadi. Pemainnya? Bisa saja diri Anda sendiri.

No comments: