Sunday, February 8, 2009

De Javu

Tak cukup lama kita bersitatap. Mungkin, sekitar 6 jam. Aku tahu selama itu karena kita menghabiskan 2 voucher. Dalam malam yang mendekati puncak, kita pun tidak sepenuhnya bercakap. Hanya deret kata yang datang dan pergi menyapa lewat layar monitor. Meski kita duduk berhadap. Tapi, ah, entah mengapa, rasanya lebih asyik bila percakapan itu kita lakukan lewat lompatan huruf.

Aku terkesan dengan keramahan kamu. Sebuah kesan yang kemudian mengental, mengantung di sudut jiwa. Memantul-mantul menabrak ketenangan batinku. Dengan seyum yang manis, kamu tawarkan bantuan membantu menancapkan stop kontak. Tidak terlalu istimewa, memang. Tapi keramahan itu, begitu mengusik jiwaku. Hingga kemudian, dengan beberapa tatap, aku sering mencuri pandang ke arahmu. Ah, betapa kebaikan selalu menghadirkan kesan yang demikian menawan.

Lalu demikianlah, selalu tercipta keberanian begitu keindahan telah memanggil. Aku pun kemudian mendapatkan alamat YM kamu. Walau sungguh, sampai sekarang, aku belum tahu darimana aku dapat keberanian itu. Absolutely, it’s not me, not my style. Sampai sekarang, aku masih mempercayai, bahwa aku penganut mahzab slow but sure. Aku bukanlah tipe offensive. Tapi, entahlah. Malam itu, ketika keheningan semakin menyembul seiring pengunjung yang menipis, aku seperti kesebelasan Barcelona yang demikian elegan memamerkan formasi 4-3-3. Eextremely offensive.

Mendadak, aku merasa demikian dekat dengan kamu. Beberapa saat lamanya aku tidak mengetahui darimana asal muasal perasaan ini. Hingga kemudian, setelah lebih utuh mengamati gerak-gerik kamu, aku tersadarkan, kamu begitu mirip dengan orang dari masa laluku. Just like de javu. Perasaan yang dulu pernah mengental, yang kemudian mencari, sontak mengental lagi begitu mendapati kondisi yang serupa.

Betapa teramat benar kata seorang teman, kenangan masa lalu, ibarat sebuah cermin yang retak. Dan dengan segala daya, dengan segala alasan, kita selalu membuat cermin itu tampil utuh. Begitu melihat tingkah kamu, cermin yang retak itu pun tersambung utuh kembali. Ah, tidak disangka, romansa dapat menjadi demikian menggoda.

3 malam berlalu sejak saat itu..

Aku menjadi mudah merindukan bayang kamu. Wajar memang. Hingga kemudian aku tersadarkan. Aku tidaklah menyukai kamu sebagai diri kamu. Ada dia dalam perwujudan diri kamu. Biarlah aku melepas bayang dia terlebih dahulu, baru kemudian aku hadir kembali untuk meraih cinta kamu.

Apabila nanti aku tidak membalas sms kamu, tidak mengirim pulang kata-kata yang kamu kirim di YM, lebih memilih membiarkan telepon berdering seharian daripada mengangkatnya, itu bukan karena aku tidak peduli. Karena, sungguh, aku demikian peduli. Bukan juga karena aku tidak mau, betapa sungguh aku menantikannya.

Semua itu, hanya karena, aku ingin mencintai kamu sebagai diri kamu sendiri. Maukah kamu menunggu hingga aku dapat menyembuhkan diriku? Lepas dari bayang dia dan berlari sepenuhnya dalam pelukan kamu?

Maukah kamu menunggu?

No comments: