Friday, March 19, 2010

Fragmen Berbalut Anyir

Mencermati kepingan foto itu, terkadang, terbentik dendam. Fragmen demi fragmen kesakitan tempo dulu, seolah kembali rapi berjajar. Kenangan yang telah amblas, berderak menggoncang kembali. Ketenangan yang terbina sekian tahun, dengan segala pengorbanan, amblas tiad bersisa. Dendam mengambang. Memanggil anak pinak kesumat penuntutan rasa balas. Demi sebentuk imbas. Demi pemenuhan sebuah lingkaran setan berlabel pembalasan.

Kenangan, memang, ibarat repihan hewan purba yang berjuta tahun telah rubuh. Ia mengendap di dasar jiwa. Mengaliri sukma. Luruh memutari metabolisme menumpang aliran pembuluh darah. Meski jarang naik ke permukaan, sejatinya, kenangan selalu berenang dalam lautan pikir manusia. Ia hanya mengendap. Atau terpinggirkan oleh deru gelombang persoalan yang sekarang sedang mengemuka. Tetapi, saat pikiran sedang rata, kala laut jiwa datar tiada pengawal, kenangan akan kembali beriak datang. Ia laksana ombak yang bersetia. Ia tak memerlukan mentari untuk datang. Seperti halnya ia tak membutuhkan rembulan untuk berkemas menghilang. Kenangan, dengan segala aromanya, telah menjadi bayang yang menjangkiti seluruh gerak pemiliknya.

Mendapati kepingan foto itu, kenangan bergulung tahun lalu kembali menggenang. Baunya, meski telah terdiam beberapa lama, ternyata tetap saja sama. Sengir. Berenda mendekati busuk. Waktu dan jiwaku gagal sudah mengurai bau anyir itu berdamai menghadirkan wangi. Jangankan wangi, tiada berbau pun tak sanggup jiwa ini melakukannya. Bau anyir foto itu demikian kuat membekap. Ia tak sekalipun mengendur, meski beragam doa mengguyur, meski aneka foto baru terlayang menumpukinya. Foto itu, ya foto itu, tetap saja menyimpan aroma anyir. Aroma dendam. Aroma yang menuntut pembalasan.

Tak mudah melupakan penghinaan. Juga pelecehan kemanusiaan. Betapapun kerap diri menyuci, fragmen itu kerap saja menyembul. Beragam hal bergilir menjadi penyebabnya. Lalu, ketika diri tak lagi kuasa berdamai, ketika bau anyir dendam sudah menguap menuntut pemenuhan, akankah bau anyir darah yang akan menjadi penyucinya? Haruskah anyir dibersihkan juga oleh anyir? Haruskah hina berbalas dengan hina? Haruskah mata digenapkan oleh mata?

Dendam memang mendatangkan kenikmatan. Ia adalah penjaga setia yang tak akan membiarkan kita terlelap sebelum terlampiaskan. Ia adalah kayu bakar yang tak pernah lelah menerbitkan bara untuk menghanguskan. Ia adalah topeng jelita yang tak akan pernah melepaskan kecupan sebelum ritual balas rampung dituntaskan. Dendam tidak mengenal jalan pulang. Ia adalah pengelana yang tiada mengenal ujung. Mengikutinya, bersiaplah, untuk mendaki tanpa pernah menurun. Untuk mencebur tanpa pernah mengeringkan diri.

Bau anyir dari kelebatan foto itu adalah pertanda keberadaan dendam. Cukuplah aku menenggak anyir penghinaan itu. Cukuplah aku menggelandang menanggungkan aroma anyir itu mengendam di dalam jiwa. Tak akan aku tambah anyir itu dengan busuk dendam tiada berkesudahan. Anyir kenangan foto itu bukanlah berasal dariku. Aku hanya menanggungnya. Sedang, apabila mengalir anyir dari dendam, itulah anyir dari busuk aromaku. Meski aku menggelandang menggandeng anyir, setidaknya, Tuhan dan ia tahu, anyir ini adalah ludah seseorang yang aku tanggungkan. Jiwaku tidak menerbitkan aroma ini.

Kepingan fragmen foto yang hadir di sore ini, itulah ufuk yang menerbitkan semburat anyir.

No comments: