Friday, March 5, 2010

Matikanlah daripada Menggelandang

1
Seperti layar, tak terlihat setitik pun huruf atau sekadar pendek coretan di pikiranku. Kosong. Melompong. Hampa. Seperti tuts piano yang terdiam. Rupanya elok sungguh. Tetapi, tetap, tidak menghasilkan bunyi nada. Meski lirih satu not sekalipun.

2
Semuanya baik-baik saja. Itu apabila kamu akan berucap bahwa mungkin ada sesuatu yang mengganggu pikiran atau perasaan. Everything is all right. Keseimbangan itu tetap ada. Kesinambungan waktu tetap terjaga. Pintu kantor tetap membuka. Kasur di rumah masih menanti setia. Dan, tak jua ada pertempuran yang meledakkan jiwa maupun pikiran.

Seperti hamparan air, semua terbaring tenang. Tak ada riak. Tak tersaji percik gelembung. Apalagi amuk bongkahan ombak.

3
Tapi, sungguh, aku tidak merasa hidup sekarang. Saat ini. Hidungku menghirup. Mata mengedip. Jantung tetap berdegup. Hanya, tak ada rembesan hasrat yang meletup. Aku telah mati. Raga yang berjalan tak lebih dari onggok petasan gagal dinyalakan. Ia terberai. Tegak berdiri, memang. Tapi dengan sumbu yang telah hilang. Atau, jika tersisa sedikit, ia sudah tak dapat dinyalakan.

Lalu, apa guna mesin keren bila tak mampu dinyalakan. Apa guna Ferrari Lambhorgini apabila ia mogok untuk dilesakkan. Apa juga guna bibir seksi bila ia tak dapat dicumbui..

4
Aku, mungkin juga, telah mati dalam kehidupanku. Dan, mati sebelum kematian, hidup tanpa kehidupan, tidak kah itu lebih tragis dari kematian itu sendiri. Jasad yang menggelandang tanpa letup hasrat, organ yang bekerja hanya demi menopang raga tanpa makna, haruskah ia tetap dipertahakankan keberadaannya?

5
Matikanlah aku apabila itu dapat menemukan kehidupanku kembali. Menghilang untuk kembali datang, mungkin, lebih elok daripada tetap menggelandang.

6
Tapi, maaf, aku tidak ingin menandatangani kesepakatan dengan setan..

No comments: