Monday, April 19, 2010

Amuk

Membaca Tempo, aku runtuh di angka 34.

Seorang lelaki tergeletak. Tengkurap. Delapan pemuda membentuk pagar mengelilingnya. Lelaki pertama, berkopiah putih, bercelana jins dan bersandal, memegang tongkat kayu yang tergambar menempel di betis lelaki tersebut.

Di sebelahnya, lelaki kedua, berkaos merah menutupi kepala, bertelanjang kaki dengan celana jins rombeng, memegang belati yang terbuka dari sarungnya. Entah belati itu baru terhunus atau akan memasuki warangkanya. Gambar itu terlalu gelap. Aku tak dapat menangkap warna matanya yang tajam menatap tubuh malang tergeletak itu.

Lelaki ketiga, berkaos merah, bersandal jepit dengan celana hitam tiga perempat, mengayun tongkat dengan posisi bersiap menghajar. Pandanganku kabur menangkap entah itu benar tongkat atau parang. Hanya yang terlihat jelas, warna merah menempel di beberapa bagian tongkat atau parang yang ia ayun.

Tepat di sebelahnya, berjejar tapak kaki, adalah lelaki keempat. Ia bercukur pendek. Tubuhnya berbalut jaket cokelat. Bercelana biru dan bersepatu kantor. Kembali, tak jelas apa benda yang ada di tangan kanannya. Hanya, kuda-kudanya membentuk formasi perang. Menatap bentuk bibirnya, mengingatkan pada ekspresi Bruce Lee ketika menghajar musuh-musuhnya.

Di sebelah lelaki kelima, lelaki keenam, membungkus kepalanya dengan helm putih. Bercelana panjang warna biru, ia terlihat baru selesai mengayunkan tongkat yang erat berada di genggaman.

Lelaki ketujuh, tidak terlihat bagaimana rupanya. Aku hanya mendapati ia mengayunkan tangan bersiap menghajar. Entah melempar batu atau menyabitkan tongkat atau parang. Tidak jelas apa yang ia pegang. Hanya, yang begitu jelas, sesuatu berada di genggamannya. Lelaki kedelapan adalah seorang bocah. Tidak telihat wajahnya memang. Tetapi, sekali pandang pun, jelas terbaca masih muda bilangan usianya. Berkaos putih, bercelana biru, bocah itu terlihat memburu mengayunkan tongkat

Di sekitar tubuh malang tergeletak tersebut, bercecer potongan kayu. Terlihat potongan itu adalah dari tongkat milik lelaki pertama. Potongan yang tercipta dari hasil proses menghajar. Potongan kayu yang bersebelahan dengan cipratan darah.

Aku benar-benar berhenti di halaman 34 itu. Betapa tidak berimbangnya tingkah polah ketujuh lelaki itu dengan badan tergeletak tak berdaya sang lelaki malang berseragam. Mereka tetap berada dalam posisi menyerang, menghajar, meski jelas terlihat, tak ada daya dari lelaki malang tersebut. Apa yang dapat diperbuat oleh tubuh yang telah membujur tiada daya?

Lelaki malang itu memakai sepatu laras hitam. Berseragam cokelat. Topi menutupi kepalanya yang rebah melantai di aspal membara. Sebuah jam hitam melingkar di pergelangan tangannya. Entah apa yang dirasa jam itu. Ketika ia merasai denyut nadi yang kian melemah dari pemilik lengan tempatnya melingkar. Denyut yang berlari dari deras menuju pelan, lalu perlahan, hingga akhirnya membentuk rata ketika nyawa telah pergi meninggalkan raga.

Kematian adalah awal sebuah perjalanan. Tetapi, perjalanan macam apa yang diawali oleh derita siksa tiada terkira semacam itu?

Runtuh di halaman 34, aku bergumul dengan sebuah tanya: masihkah kita layak disebut manusia?

No comments: