Saturday, April 3, 2010

Suci Diri

Untuk membuktikan kesuciannya, Sinta melakukan obong diri. Api yang mendidih, menggunung menjilat, tak menciutkan nyalinya. Andai ia suci, seperti teguh keyakinannya, Dewata pasti akan mendinginkan api tersebut. Seperti Ibrahim yang merasakan hangat di rahim api, demikian juga Sinta akhirnya mengalaminya. Penyucian diri, seperti halnya diajarkan oleh Nabi dan para ksatria, memang selalu dilakukan dengan pengorbanan.

Di era sekarang, penyucian diri, ternyata, tetap ada. Hanya, ia tidak lagi dilakukan dengan pengorbanan, tetapi dengan cara yang sungguh teramat nyaman, hal-hal yang mematik kesenangan.

Tengoklah panggung Senayan pada waktu mementaskan lakon ‘Goro-Goro Century.’ Century yang dianggap penuh skandal, yang seharusnya menebarkan bau anyir, justru menjadi wewangi penyuci bagi sebagian kalangan. Lihatlah bagaimana anggota dewan berebut ‘jimat Century’. Dalam konteks penyucian diri, Century tidak lagi berujud bank. Century telah dijelmakan menjadi sumur yang penuh berisi wewangian penyuci diri.

Maka, tak usah heran apabila kemudian anggota dewan saling sikut untuk mengayun gayung mengaduk air Century. Semakin keras mereka berteriak, maka dalam sangkaannya, semakin deras ia mengguyurkan air penyuci diri. Teriakan demi teriakan atas nama ‘pencarian kebenaran’, sebenarnya, tak lebih dari sekadar acara rebutan gayung dan panggung untuk menyucikan diri.

Bilangan hari pekat mencatat bagaimana panjang deret dosa para politisi. Apabila dirajut menjadi alas kaki, sungguh, dosa politisi tak lagi mewujud dalam rupa sandal. Andai pun dosa-dosa itu diraum menjadi benang, maka ia akan menenggelamkan politisi dalam kelam baju kebusukan. Bagi orang-orang yang sadar dan menyadari dirinya penuh berkalang noda dan dosa, maka kesempatan penyucian ibarat guyuran galon air di padang Mahsyar.

Ketika mereka berteriak menggemakan ‘kebenaran yang disangkakan’, sejatinya, mereka sedang mengharap dosa mereka tersembunyikan. Dosa dan pahala, iblis dan malaikat, dalam lakon politisi, hanyalah masalah kesempatan kemunculan.

Perhatikanlah bagaimana mereka berteriak lantang meneriakkan ‘kesucian’. Simak pula bagaimana mereka selalu menyeret dogma ‘kepentingan rakyat’ demi menyusun konstruksi penyucian. Tidak saja sebagai jimat penyucian, Century pun diubah menjadi pupur dan gincu pemanis rupa.

Hanya saja, mereka, politisi yang kerap berteriak, ternyata tak menyadari, bahwa penyucian mereka ini hanyalah sia-sia.

Penyucian diri, seperti diajarkan nabi dan para satria, haruslah ditempuh dengan penderitaan dan pengorbanan, bukan dengan umpatan dan pengangkangan klaim ‘kebenaran’. Penyucian diri dengan menggunakan caci maki, penghujatan kepada pihak yang disangkakan, hanya akan mengeruk kubur mereka sendiri. Seperti lembah yang menggema, pada akhirnya, lemparan kotoran yang dilakukan demi penyucian diri, justru berbalik lebih keras menampar.

Alam selalu punya cara untuk mengajarkan bijak dan mawas diri. Tidak perlu hiruk pikuk. Tidak jua deru sedu caci maki. Catatan Malaikat rapi tiada meninggalkan celah. Gusti tidak pernah jua tertidur. Hingga kemudian, panggung yang disangkakan akan menjadi penyucian diri, tak lebih dari selembar kain kusam yang ketika semakin diakrabi, menyembulkan larit demi larit anyir bau dosa nista keburukan mereka sendiri.

‘Goro-Goro Century’ mementaskan kenyataan: mereka yang mencaci, berteriak berlagak suci, ternyata lebih kotor dari yang dilempari teriak dan hujatan. Para politisi pemain ‘Goro-goro Century’, yang pentas di Senayan nyaris selama 3 bulan, ternyata hanya kumpulan lidi kotor yang mencoba menyucikan ruang. Perhatikan Misbakhun yang terciprat L/C bodong. Panda Nababan dan Tjahyo Kumolo yang mengidap anyir suap pemilihan Deputi BI, Mirandha Gultom. Setya Novanto dan Idrus Marham yang terendus di antara kutu impor korupsi pengadaan beras dari Vietnam.

Suluh panggung dunia, akhirnya, menerbitkan terang. Tokoh yang bertopeng terkuak sudah. Siapa maling, siapa juragan jelas sudah. Dunia selalu punya cara untuk memperlihatkan kesucian seseorang. Bau wangi tidak terlahir dari teriakan dan klaim ‘pemilik kebenaran’. Aroma wangi lahir dari ketulusan tekad, jalan lurus yang setia disisir, dan kepatuhan abadi terhadap nilai-nilai agung kemanusiaan.

Menjadi suci adalah mimpi setiap insan. Tetapi, apabila manusia masih dalam tataran tidak suci, bukan dengan teriak, hujat, hasut, dan caci yang dapat menjadi media penyucian diri. Kesucian diri hanya terlahir lewat penyucian yang dilakukan dengan menempuh penderitaan dan pengorbanan. Seperti dulu berlaku untuk Sinta, sampai kapanpun, demikian halnya berlaku untuk kita semua, umat manusia.


gambar diambil dari sini

No comments: