Tuesday, June 1, 2010

Coincidence..

Sejak melihatnya pertama kali, ketika bos memperkenalkannya sebagai sekretaris baru, aku tahu: aku telah jatuh hati padanya. Ia tak banyak berucap siang itu, hanya tergopoh menghampiri kami yang melingkari meja rapat, menunduk, menyodorkan note. Bos mengangguk. Dan kemudian, memperkenalkannya kepada kami semua. Kamu ingin tahu namanya? Ratna.

Lalu, aku semakin sering berjumpa dengannya. Bersebelah di dalam lift. Berjejer ketika menapaki lorong menuju ruang. Atau saling memandang, meski sesaat, ketika sama-sama terperangkap sedang memfotokopi dokumen. Aku mulai memperhatikannya. Aku mulai mengkarabi matanya. Aku mulai terbiasa dengan bau tubuhnya. Dan, aku mulai mengagumi hal-hal kecil yang melingkupi kehadiran dirinya.

Bayang dia menjadi rajin mengikuti kemana aku pergi. Berputar dalam ingatanku, memeluk menggelantungi hatiku. Cara dia tersenyum. Renyahnya tawanya yang meletup. Kebiasaan dia membasahi bibir sebelum berucap. Bahkan, aku seperti terus melihat bekas luka berbentuk hati yang memeluk lekuk indah bagian atas bahunya. Dimana-mana. Dalam setiap benda yang aku jumpa. Dan, yang paling membuat hatiku selalu meletup dalam remah rasa tak terjemahkan, rambut-rambut indahnya yang memberai mendampingi poni indah yang menutupkeningnya. Seperti kaset dalam player kehidupan, bagian berisi ia tertawa dengan rambut indah menggantung itu selalu kuputar berulang. Dimanapun. Kapanpun.

Ia memang cantik. Tidak, lebih dari cantik. Ia sangatlah indah. Demikian indah. Sungguh, demikian indah. Terutama saat ia mengikat rambutnya membentuk ekor kuda.

Pernah di suatu pesta, ia memakai gaun dengan bagian bahu yang membuka. Ketika berbincang dengannya di ujung pesta, dengan gelas minum di tangan, demikian indah aku merasa saat kami berbincang. Aku tenggelam dalam bulat indah matanya. Kesadaranku tertawan oleh lambai-lambai rambut lembutnya. Rambut belakangnya disanggul membentuk mahkota. Bagian depannya terberai membentuk poni. Beberapa helai di sisi kiri dan kanan seperti melarikan diri, terjuntai menghiasai wajah manisnya. Sempurna bertahta melapisi kilau lembut leher jenjangnya.

God, demikian ingin menariknya ke sudut. Menggenggam bahu ranum itu, berenang menyeberangi mata teduhnya, mendaki rambutnya yang memberai, menemani lidah yang selalu membasahi bibirnya. Merasai keseluruhan kehadiran dirinya.

Perjumpaan berikutnya, aku semakin tertawan oleh pesonanya. Tingkahnya demikian impulsif. Lihatlah ketika ia menantangku saat menikmati lembut taman kota. Mengeja kata ‘penis’, ia berkata bahwa suara berikutnya harus lebih keras dari suara terakhir yang terdengar. Aku menolak. Tapi melihat tatap matanya, senyum memintanya, luruh sudah hatiku. Dan kami pun saling menyahut. Kencang semakin kencang. Hingga kemudian aku harus menutupkan tanganku ke bibirnya karena suara kami sudah membuncah menutupi cakrawala. Taman kota sedang ramai sore itu. Dapat kamu bayangkan, bagaiaman tatap mereka melihat kami mengeja kata itu seperti sepasang kekasih sedang gila. Bukannya tersipu, ia hanya tertawa berderai ketika mendapati tatap mata pengunjung taman.

Atau, simaklah yang ini. Hari itu kami berkunjung ke IKEA, toko furniture franchise. Tatanan perabot yang ditata sedekat mungkin dengan suasana rumah, membuat imajinasinya melayang menyerupai nona dan tuan sedang berada di rumah. Kami pun berbicang akrab di meja makan. Tertawa sambil mendemonstrasikan shower di ruang mandi. Hingga puncaknya, ia mengajakku berlari menuju ke ruang tidur. Melemparkan tubuhnya. Menarikku agar merambati kaki menapaki kepalanya.

Dadaku menggelegak. Dan, saat aku menyembul di antara dadanya, bersiap mendekati telinganya, aku justru membisikkan sesuatu yang meletup tawa renyahnya meledak berderai: aku tak tahu bagaimana cara m emberitahumu, tapi ada sekeluarga Cina sedang melihat kita. Ketika ia mendongak, benar saja, sekeluarga Cina yang juga sedang berkunjung ke IKEA tergopoh melihat pemandangan tak biasa di depannya.

Kebetulan. Aku pikir, itulah yang mempertemukan dan mendekatkanku dengan dia. Kebetulan yang tak sering berulang. Mungkin ia masih jauh dari konsepsi soulmate, belahan jiwa, atau metafor-metafor muluk lain tentang pasangan jiwa, tetapi, untuk Ratna, aku tak ingin kebetulan ini hanya mengada sekadar kebetulan. Alam telah menghadirkan. Dan sekarang, waktuku untuk mewujudkannya menjadi indah kenyataan.

Ia memang indah. Dan keindahan yang tertangkap hati ini, telah lebih dari sekadar alasan apapun untuk membulatkan tekad menghabiskan hidup bersamanya. Meski aku tahu, ia sendiri masih gamang untuk mengeja dan melingkupkan diri dalam balut temali label cinta.

2 comments:

Unknown said...
This comment has been removed by the author.
Unknown said...

ini dari film 500 Days of Summer bukan sih?? ;))