Monday, June 21, 2010

Darahku dan Darahmu

Setelah masa berbilang, merentang hingga mengecupi bilangan sekian, mungkinkah malam ini letup itu akan mewujud?

Setelah deret-deret hasrat yang berbaris membentuk jejak hingga menjulang merupa undakan mengukir kenangan, akankah bulan malam ini menjadi paku yang menghentikan desir jiwa yang sekian terlontar mengembara mencari rupa?

Sekian lama dada mengembang memancangkan tonggak-tonggak pancang menjerat dengung rasa yang merupa dengkur ombak, akankah rintik gerimis malam ini menjadi baik-bait mantra memberai kukuh lipat jiwa tersebut?

Langit memang telah meramal akan datangnya malam dimana terdengar lenguh yang bersimpah peluh dan darah. Hanya, apakah warta yang tergantung sekian puluh tahun di antara pucuk-pucuk awan yang menjaga pintu langit itu akan turun ke bumi dan merupakan wujudnya malam ini?

Terlebih, apakah memang benar, bahwa taring dirinya yang kecil sekelumit gigi kelinci, merupakan jawab atas ramalan akan tajam cakar naga yang digambarkan mampu merobek dada dan merenggut keseluruhan jiwa ini? Lihatlah. Bahkan untuk mencakar merobek kancingku pun dia tidak sanggup.

Lalu, kenapa juga musti malam ini?

Kenapa tidak malam kemarin, ketika sinar-sinar temaram kamar presidensial suite memenjara raga kami?

Atau, beberapa minggu lalu, saat tubuh kami mengambang di antara kedap kabin pesawat yang menumbuhkan sayap di punggung-punggung ini? Andai di malam itu bercak ini meletup, tidakkah indah, atau mungkin begitu indah, ketika suara pagut yang tercipta merupa hujan yang mencurah dan membungkus seluruh telinga yang ada di bumi?

Lalu, kenapa harus malam ini?

Biarlah tanya-tanya itu menggantung meranum dalam tangkai-tangkai dahan pohon cinta kita. Tak mengapa juga bila tiada pula mengapung jawab atas kail-kail prasangka yang menancapi laut teduh hamparan cinta kita.

Satu yang aku tahu, tak pernah terbit sesal, apabila memang darahku harus mengalir bercampur dengan darahmu. Malam ini.

No comments: