Monday, June 14, 2010

Malam itu... (2)

Masih aku baui aroma rambut itu. Hingga sekarang, bahkan, berpuluh jam sejak tubuhku memahati tubuhnya. Aroma kulitnya pun masih pekat membungkus ragaku. Meski peluk tangannya tidak mengada bersamaku sekarang, sungguh, hangat yang tercipta dari kalungan manja tangannya, seperti bayang yang tak pernah mau beranjak hilang.


Malam itu, diantara dentum musik yang sesekali memantuli air pantai Ancol, duduk berdampingan, aku mengeja rasa bersamanya. Setelah bersorak menatapi layar raksasa bergambarkan aneka kaki berlarian mengejar bola, aku mengajaknya beranjak menjauhi kursi-kursi cafe tepi pantai itu. Jembatan yang memanjang menghilang di kedalaman pantai, seperti tangan yang kemudian merengkuh kami menapaki ketenangan bibir pantai. Dingin yang segera menyergap, menjadikan alasanku melepas jaket, untuk menutupi raga indahmu tidak melepuh oleh remas nakal udara pantai.

Lalu, menggandengmu, aku melangkah menapaki nada-nada rasa yang begitu indah dimainkan oleh tangan-tangan malam.

Entah berapa kali aku menenggelamkan wajah meresapi semerbak harum rambutmu. Seolah tak kuasa aku merenggut kepalaku menjauh. Ia begitu ingin menetap disana. Menyusupkan dirinya dalam belai-belai lembut tiap-tiap helai rambut indahmu.

Malam yang menanggungkan gelap pun tak cukup mampu untuk menghanguskan senyummu. Seolah, wajahmu tidak hanya memantulkan cahaya rembulan. Wajahmu, sungguh, adalah sumber cahaya itu sendiri. Hingga bersamamu, malam itu, aku tak lagi menanggungkan takut akan gelap. Seberapa dalam aku mendaki, bersama cahaya yang menaungi wajahmu, malam tak akan kuasa menyesatkan diriku.

Hingga kemudian, aku terus menggandeng tanganmu. Melangkah semakin dalam. Menapaki tangga-tangga malam. Hingga tak lagi terdengar dentum musik hingar bingar di tepi pantai. Dalam tangga rasa kesekian, tak lagi terdengar suara apapun, hanya desah nafas dan letup jantung hatimu. Saat itulah, aku melepas genggam tanganmu. Jariku menapai undak-undak bahumu. Menyusup di antara derai harum rambutmu. Hingga menyembulkan diri menyangga bahu-bahu ranum ragamu.

Jauh di atas kedalaman malam, hanya terbungkus senyap, dalam keheningan yang mengambang menelan aneka rupa suara, hatiku pun bersejajar dengan hatimu. Entah berapa lama aku rengkuh ragamu. Entah juga berapa lama mereka terpejam merasai tiap degup yang berdetak berbarengan. Hingga tanpa sadar, ketika mata jiwa dan mata raga membuka, kecap-kecap bibirmu mengambang pekat di antara celah bibirku.

Lalu, gelap makin merapatkan raga kita. Detak bunyi jiwa pun merupa gamelan mengiringi prosesi persandingan batinku dan batinmu. Meski masih banyak lagi undak yang musti didaki, tetapi, damai malam itu, cukup menerbitkan bara sedikit mengusir dingin yang sekian waktu menggigil di ceruk-ceruk lembah hati.

Aku masih merasai desir itu. Aku masih merasai dekap itu. Seperti halnya aku masih menyimpan kecap suara ciuman malam itu.

No comments: