Wednesday, June 9, 2010

Mall..

‘Jangan temukan aku di mall,’ demikian ia berucap sewaktu aku telepon. Meski beberapa tanya menggantung, aku biarkan mereka mereda. Pastilah ia punya alasan. Mungkin ia menanggungkan sebentuk dendam.

‘Aku benci mall.’ Aku tetap mendiam. Ia pun mulai menjawab runtutan tanya yang tak sempat aku lontarkan.

‘Dulu, aku menemukannya pertama kali di mall. Ia berlagak seperti tersesat. Meski aku tahu, ia kerap menyasar betisku yang membuka.’

Ia memang pernah bercerita tentang lara yang selalu ia bawa-bawa. Luka yang tak pernah ia ungkap darimana ataupun oleh siapa. Merasa cukup mengenalnya, aku pun tak pernah memaksa ia untuk berdendang mengenai sebentuk lara yang membelatung di hatinya.

‘Meski sekian tahun bersama, diantara banyak gores kenangan indah di berbagai tempat, aku selalu tidak dapat melupakan asal tempat kami berjumpa. Sejak hari perpisahan itu, aku tak pernah lagi menginjakkan kakiku ke mall. Bahkan, sekadar mendengar ucap mall pun, perutku menjadi kram menanggung nyeri pilu.’

Batinku mendesir. Aku merasa telah cukup mengeja lara. Bahkan, lembar-lembar hidupku pun penuh dengan aneka tindih cerita bertema derita. Entah didendangkan oleh hatiku sendiri. Atau luka-luka yang mampir dari aneka cerita, kumpulan berita, ataupun titipan luka dari orang-orang sekitarku. Tapi, luka yang mengakar jauh hingga hanya menyempit pada titik perjumpaan, sepertinya hanya padanya aku baru menjumpainya.

Melihat rentang waktu yang tersulam, aku dapat mengira, pastilah, demikian dalam luka yang ia letupkan.

‘Makanya, cari tempat lain. Jangan pernah berusaha menemukan aku di mall’.

Beberapa lama bersama, cukup untuk mengetahui bahwa mendebatnya sama saja dengan mendengungkan terompet perang. Bukan persoalan menang ato kalah. Tetapi, mengundang perang adalah menggoreskan kuas dalam kanvas jiwa. Sekali tergores, atas alasan apapun, akan tetap tercipta bekas di sana. Bekas yang mudah terpanggil datang.

‘Jadi, gak mau di mall nih?’ demikian ucapku.

‘Kan..?’

‘Kan apa?’

‘Aku tak mau di mall. Dan tak juga mau mendengar ejaan berbunyi mall.’

Tergagap juga. Aku tak nyangka lukanya sedemikian dalam. Bahkan ia pun mengingkari serpihan huruf tereja ‘mall’.

Meski bingung, aku tak kuasa untuk bergumam juga, ‘Kalau benci mall, tak mau mendengar mall, mengapa jua dari tadi ia keras mengeja mengulang mall?’

‘Lalu, ketemu dimana nih?’

Tak lagi kuasa aku menemukan sebuah tempat. Bila tidak berupa mall, semua tempat pasti menyerupai mall. Hingga kemudian, aku menemukan sebuah tempat. Tak ada mall di sana. Hanya rimbun dedaun menghembus semilir rasa. Tak lagi menanggung bingung, aku pun berucap pasti.

‘Kalau gitu, datanglah saja ke hatiku. Kita bertemu disana.’

No comments: